Sejak tahun lalu, 'Beauty and the Beast' memang telah diprediksi akan menjadi salah satu film yang paling diminati di 2017 ini. Selain fakta bahwa kisah 'Beauty and the Beast' sangat populer sejak dulu, faktor kehadiran Emma Watson dan pemeran papan atas lainnya juga berpengaruh besar.
Ya belum lagi mengingat promosi mereka yang terbilang cukup gencar. Rasanya wajar saja jika 'Beauty and the Beast' akhirnya mendapat ganjaran yang setimpal, yaitu dengan pendapatan 350 juta dollar dari seluruh dunia. Yang membuatnya lebih istimewa, angka sebesar itu diraih hanya dalam satu minggu pertama sejak perilisannya. Dari Amerika Serikat saja, mereka telah mengantongi sekitar 170 juta dollar. Ya, bahkan angka itu telah melewati budget mereka yang diperkirakan mencapai 160 juta. Hasil itu belum ditambah dengan pendapatan dari negara lain. Seperti Cina dan Korea Selatan yang mampu menambah sekitar 25 juta dollar. Di Eropa pun 'Beauty and the Beast' juga sukses merebut perhatian banyak penonton. Seperti Inggris dengan 11,9 juta, dari Jerman 10,7 juta, dan Italia yang juga menyumbang 7,6 juta Dollar. Bahkan kabarnya di Rusia pun, Beauty and the Beast juga meraup banyak penonton. Meskipun mereka sempat mempermasalahkan karakter gay yang ada di film. Menakjubkan memang, karena harus diingat bahwa film ini belum dirilis di beberapa negara. Ya, dan angka 350 juta tersebut hanya dari minggu pertama. Sumber: Variety - Kutu Kasur
0 Comments
Sutradara: Theodore Melfi
Penulis: Allison Schroeder Pemain: Taraji P. Henson, Octavia Spencer, Janelle Monáe Genre: Drama Periode Durasi: 127 Menit Tunggu dulu, biar saya perjelas. Film yang menceritakan tentang perjuangan wanita kulit hitam NASA di tengah kuatnya perlakukan rasisme pada tahun 1961 ditambah situasi panas persaingan Amerika dan Russia ini berdasarkan kisah nyata? Saya sudah bisa mencium bau Oscar di sini! Sayangnya, film ini tidak memenangkan satupun Piala dari tiga nominasi, Best Picture, Best Supporting Actress, dan Best Adapted Screenplay. Adegan dibuka dengan seorang wanita bernama Katherine Goble (Taraji P. Henson) dengan dua orang temannya Dorothy Vaughan (Octavia Spencer) dan Mary Jackson (Janelle Monae), yang tengah menuju kantor NASA. Konflik "kecil" pun sudah dimulai dari awal film saat mereka diberhentikan oleh polisi. Katherine pun mengalami berbagai pelakuan rasisme dari teman-teman kerjanya. Walau begitu, tidak semua orang memiliki perlakuan yang sama terhadap Katherine. Bos Katherine, Al Harrison (Kevin Costner), yang awalnya sempat ragu dengan kemampuannya, akhirnya mengakui kalau dia adalah salah satu engineer terbaiknya. Dari adegan awal film pun saya sudah mulai bisa membaca bagaimana cerita berjalan. Walaupun perjuangan mereka dipenuhi dengan beberapa "konflik", namun mereka berhasil membuktikan bahwa karakter seseorang bukan ditentukan dari warna kulitnya tapi dari bagaimana kontribusi seseorang kepada seluruh masyarakat. Perspektif yang seimbang pun digambarkan dengan begitu baik dalam film ini. Tidak ada orang yang benar-benar jahat atau baik. Ditambah dengan perkembangan dan porsi yang seimbang untuk masing-masing karakter, membuat film ini begitu hidup. Tidak semua orang ingin berlaku rasis, tetapi karena adanya sistem yang sudah mengatur semuanya, mereka jadi terpaksa mengikuti. Walaupun ending film terkesan klise, tapi masih dikaji dengan baik. Selesai film ini, saya langsung bergumam "Mungkinkah Indonesia bisa mencontoh Amerika? Melupakan segala macam perbedaan demi mencapai tujuan bersama agar lebih baik lagi?" Rating: 8/10 - Kutu Kamar Sutradara: Lucky Kuswandi
Penulis: Fathan Todjon, Lucky Kuswandi Pemain: Sheryl Sheinafia, Refal Hady, Marissa Anita, Joko Anwar, Ayu Dyah Pasha Genre: Drama, Romance Durasi: 112 Menit Kode Rating: R13+ (Remaja 13 tahun ke atas) “Wahai Galih, duhai Ratna. Tiada petaka merenggut kasihmu.” Penggalan lirik lagu di atas pertama kali terdengar dari ibu saya, yang sesekali menyanyikan lagu Galih dan Ratna. Lagu itu pun akhirnya membekas di otak hingga kini. Padahal ibu saya lebih sering melantunkan lagu-lagunya Vina Panduwinata. Namun selain lagu Burung Camar, Galih dan Ratna menjadi salah satu lagu “jadul” favorit saya sampai saat ini. Saat itu, saya tak tahu menahu tentang Galih dan Ratna. Ya hanya sebatas judul lagu saja. Namun lama kelamaan, saya mulai mengetahui bahwa lagu itu dibuat untuk film Gita Cinta dari SMA (1979). Sebuah film tentang dua remaja SMA yang diambil dari novel karya Eddy Iskandar. Kini tokoh Galih dan Ratna hadir kembali di tahun 2017. Tentu ada rasa penasaran tentang bagaimana jadinya jika mereka dibuat di era modern seperti sekarang. Bisa dibilang garis besar cerita Galih dan Ratna masih sama dengan apa yang hadir di film terdahulunya. Hanya saja Lucky Kuswandi menyesuaikannya dengan kondisi masa kini. Dan usahanya pun membuahkan hasil yang tak mengecewakan. Karena nyatanya hal itu dilakukan dengan rapi dan baik. Karakter Galih maupun Ratna dibangun secara perlahan dari awal film. Hal ini dilakukan dengan cara memberi gambaran latar belakang masing-masing tokoh. Sedikit demi sedikit diceritakan bagaimana konflik yang hadir di keluarga mereka masing-masing. Sesuatu yang berbeda jika boleh saya membandingkan dengan film aslinya. Karena di Gita Cinta dari SMA, konflik keluarga baru hadir di tengah-tengah film. Langkah itu pun yang akhirnya membuat konflik utama di film ini terasa begitu kuat dan solid. Ya karena kembali lagi ke awal, bahwa di dalam diri Galih dan Ratna pun telah memiliki permasalahan sendiri. Jadi, latar belakang merekalah yang pada akhirnya akan membentuk konflik utama di film ini. Satu hal yang menarik dari film ini adalah pemilihan kaset sebagai salah satu senjata utama. Seperti yang kita tahu, saat ini kaset sudah menjadi barang kuno yang hampir tak terpakai sama sekali. Penggunaan unsur kaset juga membuat karakter Galih menjadi unik. Seolah mendukung Galih menjadi orang proletar yang “menolak” teknologi. Elemen kaset tersebut juga menjadi salah satu cara yang dilakukan Lucky Kuswandi untuk menebalkan kesan nostalgia dalam film. Keren sih, menurut saya. Karena sineas ini ingin membawa kembali tokoh ikonik pada zaman dulu, dan sekaligus mengangkat sesuatu yang hampir punah, dalam waktu yang bersamaan. Selain itu keberanian sang sineas untuk mengganti isu tentang cinta yang terbentu perbedaan suku juga harus diapresiasi. Padahal di Gita Cinta dari SMA, hal itu adalah sesuatu yang krusial. Film ini pun pada akhirnya menghadirkan permasalahan eksistensi dan cita-cita remaja di masa sekarang. Suatu hal yang merfleksikan kondisi para anak muda di era modern. Namun terlepas dari itu semua, film ini juga memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya adalah dari minimnya dialog antara Galih dan Ratna. Sebenarnya ya tidak sedikit banget gitu, hanya saja saya memang berharap di film drama seperti ini akan ada dialog yang padat. Karena biasanya dialog bisa dijadikan senjata ampuh untuk menutupi “kesederhanaan” plot cerita. Akibatnya, ada beberapa momen yang kesannya kurang kuat. Padahal Sheryl dan Refal menurut saya menampilkan performa yang baik. Para pemeran pendukung juga akhirnya tak memiliki banyak waktu untuk membangun karakter mereka. Selain itu, dari unsur tentang musik juga kurang. Padahal Galih dan Ratna banyak menghabiskan waktu untuk membicarakan tentang kaset. Minat Ratna dengan musik juga kurang dieksplorasi lagi, padahal dia berniat untuk sekolah musik. Secara keseluruhan, Galih dan Ratna adalah salah satu film drama yang tak mengecewakan. Mulai dari performa para aktor hingga ke penulisan skrip, saya rasa film ini memang unggul, apalagi jika dibandingkan dengan film remaja lainnya. Untuk menjadi sesuatu yang fenomenal seperti dulu, bisa saja sebenarnya tetapi memang sulit. Karena boleh dibilang bahwa tokoh Galih dan Ratna sendiri telah tergeser ketika Ada Apa dengan Cinta hadir. Selain itu, pemberian CD tracklist ketika membeli tiket film ini juga menjadi daya tarik tersendiri. Ya itu juga membuat saya teringat masa kecil. Ketika ibu saya lebih sering melantunkan lagu Galih dan Ratna ketimbang menonton sinetron dan main Facebook. Hehe. Oh ya, film Galih dan Ratna adalah sebuah kesempatan untuk kalian yang ingin menghabiskan waktu bersama orang tua. Ya jarang-jarang kan ada film baru yang bisa menarik perhatian dua generasi yang berbeda. Rating: 7/10 -Kutu Kasur Hampir 4 tahun sejak Simon Pegg dan Nick Frost berperan bersama dalam konklusi Cornetto Trilogy arahan Edgar Wright, The World's End. Banyak fans yang merindukan keduanya kembali bersama dalam proyek film atau juga serial.
Dalam sebuah wawancara dengan Inverse Entertainment, Nick Frost mengungkap bahwa dirinya sedang mengerjakan proyek baru bersama Simon Pegg. “Simon and I are working on something. We’re trying to do something a bit special at the moment. It’s a work in progress, and we may have some more information on it later in the year.” “I think I’d [want] to do something in the sci-fi world. Something a bit ghost hunter-y, or a bit Monster of the Week in a comedy. With two guys and a girl, it’s like the X-Files, but they’re not affiliated with any government agency.” Frost juga berbicara tentang di mana dia dan Pegg sekarang menemukan diri mereka dalam karier. Serta bagaimana usia dan pengalaman telah mengubah cara dia melihat proses kreatif. “We’re not Judd Apatow, we’re not J.J. Abrams, so there are still people who say, ‘I’d like to see this.’ You’re still made to jump through hoops. Everyone has a job to do and everyone has an opinion on everything." "Writing Paul, Simon and I would always have a knee-jerk reaction to someone giving a note about something and think, “What do you f***ing know?” I think as you get older and you mature more, you realize, you know what? Listen to that note. It could be f***ing great, it could be worthwhile.” Dengan kesibukan jadwal masing-masing, nampaknya proyek baru ini lebih mungkin sebagai sebuah film, dengan arahan Edgar Wright tentunya. Sumber & Foto: Screen Rant - Kutu Butara Masih dalam kesempatan yang sama, producer Game of Thrones mengatakan bahwa pelantun tembang 'Shape of You' tersebut merupakan penyanyi kesukaan Maisie Williams, dan akan melibatkannya sebagai bintang tamu, “For years we were trying to get Ed Sheeran on the show to surprise Maisie and this year we finally did it,”
Dalam beberapa season lalu, GoT memang telah melibatkan banyak musisi sebagai cameo, sebut saja Gary Lightbody dari Snow Patrol, Will Champion dari Coldplay, Sigur Rós, dan Mastodon. Weiss mengatakan, “A lot of [music artists] say they would like to [be on the show], and then we tell them [shooting a scene] is so boring, 'You’re gonna hate this — you’re going to be sitting around three days for 12 hours a day.'" Menarik untuk menantikan kehadiran Ed Sheeran di season 7 nanti. Jadi apa ya si Ed? Squire barunya Sansa, mungkin? Sumber: EW - Kutu Butara |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|