Kreator: Brian Yorkey
Pemeran: Dylan Minnette, Katherine Langford, Christian Navarro, Alisha Boe, Brandon Flynn Genre: Drama, Thriller Jumlah Episode: 13 Episode Saya terhitung jarang melakukan review pada sebuah serial. Ketika melakukannya pun, saya lebih memilih untuk merangkum keseluruhan season dalam satu tulisan dibanding membedah tiap episode. Kenapa? Karena saya lebih memilih melihat serial sebagai suatu keutuhan. Sebuah serial terbiasa memiliki sutradara dan penulis yang berbeda untuk setiap episodenya, sehingga akan terlampau detail dan membosankan bila saya harus membahas satu per satu. Awalnya saya akan mencoba membahas sedikit satu per satu episode 13 Reasons Why. Namun rasanya Kawan Kutu harus mendapat pengalaman seperti yang saya rasakan, dan tetap menebak seperti "apa dan siapa" yang ada di episode selanjutnya. Serial produksi Netflix ini, yang awalnya akan diangkat ke layar lebar dengan mendapuk Selena Gomez (akhirnya duduk di kursi eksekutif produser) untuk memerankan Hannah, dirilis pada 31 Maret lalu. Serial ini diangkat dari novel dengan judul sama karya Jay Asher, yang kemudian diadaptasi oleh Brian Yorkey. Di sini saya hanya akan memberi gambaran besar tentang cerita serial ini. 13 Reasons Why mengisahkan tentang Hannah Baker, seorang siswi SMA yang secara tragis ditemukan tewas di bathtub rumahnya. Ia kehabisan darah, setelah mengiris nadi di kedua tangannya. Namun meninggalnya Hannah menyisakan misteri, terlebih ia meninggalkan "warisan" berupa 7 buah kaset tape berisi rekaman suaranya yang menjabarkan 13 alasan mengapa ia bunuh diri. Saya mengawali serial ini dengan perasaan seperti akan berkunjung ke Dufan. Kemudian diakhiri dengan perasaan seperti habis menghadiri pemakaman. 13 Reasons Why dimulai dengan episode yang "cukup ringan". Namun kemudian kita akan dibawa untuk melangkah jauh lebih dalam ke sisi yang lebih gelap. Kita akan dibawa menyelam ke sebuah cerita tentang seorang korban bullying, di mana ia menjalani hari-hari yang teramat berat dalam kehidupannya. Seolah setiap nafas yang ia tarik adalah sebuah kutukan. Kita pun akan diajak untuk melihat dunia dari kacamata remaja usia SMA. Ya seperti pada umumnya, mereka haus akan pembuktian diri, rasa ingin diakui, dan rasa ingin selamat sendiri. Masa-masa di mana tiap individu mencoba mencari jati diri. Masa di mana semua hal dicoba untuk mendapat pengakuan dari lingkungan kita. Dalam masa tersebut, tentu beberapa orang merasa bahwa itu adalah salah satu masa terbaik dalam hidupnya. Begitu pun sebaliknya, sebagian orang merasa masa-masa itu adalah keadaan paling rapuh bagi dirinya. Isu tersebutlah yang coba diangkat dari serial ini. Dibalik misteri yang membalut di setiap episode, akting yang luar biasa dalam diri masing-masing pemeran, dan gaya cerita suspense yang membuat kita menumpuk tanda tanya, terdapat sebuah "kotak pandora" yang coba disampaikan di dalam 13 Reasons Why. Secara alur, film ini menggunakan alur yang bercampur. Kita diajak melihat kisah Hannah melalui dua sudut pandang. Di satu sisi sebagai Hannah yang menuturkan cerita, juga sebagai Clay yang turut menelusuri fakta dari isi seluruh kaset tersebut. Tempo cerita berjalan lambat dan cukup detail, mengajak kita menelusuri sedikit demi sedikit fakta yang mengiris hati dan perasaan kita yang menyaksikan serial ini. Akting dari Dylan Minnette (Clay Jensen), Katherine Langford (Hannah Baker), Christian Navarro (Tony Padilla), Alisha Boe (Jessica Davis), Brandon Flynn (Justin Foley), Justin Prentice (Bryce Walker), Miles Heizer (Alex Standall), Ross Butler (Zach Dempsey), Devin Druid (Tyler Down), Amy Hargreaves (Lainie Jensen), Derek Luke (Kevin Porter), dan Kate Walsh (Olivia Baker) membuat serial ini terasa natural dan kita seolah dibuat menyaksikan sebuah realita yang benar-benar terjadi. Scoring oleh Eskmo pun turut membantu setiap episode memiliki warnanya tersendiri. 13 Reasons Why memiliki 6 sutradara berbeda untuk 13 episodenya, dengan gaya penuturan dan keunikan masing-masing. Namun hal itu tak mempengaruhi konsistensi serial ini yang tetap bertahan pada nuansa yang depressing. Meskipun ada beberapa episode yang sedikit "kehilangan arah" dalam beberapa adegan, serta kurang halusnya preposisi perpindahan alur yang terkadang membuat bingung. Hal itu tidak langsung membuat serial ini kehilangan sentuhannya. 13 Reasons Why menjadi salah satu sajian yang cukup meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Karena bukan hanya sekadar sebuah hiburan, tetapi serial ini seolah menjadi sebuah kritik sosial, dan sebuah peringatan akan dampak ekstrim dari bullying. Selain itu, 13 Reasons Why juga seolah mengajak kita untuk lebih peka terhadap tanda-tanda dari seseorang yang memiliki kecenderungan suicidal. Episode demi episode menceritakan secara detail pengalaman Hannah dengan lingkungannya, teman-temannya, "cinta terpendamnya", hingga rasa traumanya. Kita diajak untuk menyaksikan proses bagaimana rusaknya mental seseorang akibat bullying. Bahkan dari beberapa sumber yang saya dapatkan, tim produksi menyediakan "dog therapy" dalam proses pembuatan dan produksi. Karena bahkan dalam prosesnya pun, serial ini terbilang "depressing" bahkan untuk para pemerannya. Dampak dari serial ini pun cukup "mengejutkan" di Brazil, di mana setelah perilisan serial ini, suicide hotlines mengalami peningkatan sambungan hingga 100%. 13 Reasons Why mencoba membuka mata kita semua, bahwa di manapun, di belahan bumi ini, bullying bukanlah hal yang dapat kita lakukan terhadap orang lain. Menyaksikan ini membuat saya mencoba merefleksikan diri saya sendiri. Menghadirkan rasa bersalah tersendiri terhadap hal-hal yang mungkin saya lakukan. Segala hal yang berdampak buruk terhadap psikologis orang lain hanya untuk alasan "bercanda" dan "hiburan". Karena apapun alasannya, bukanlah hal yang tepat mengorbankan perasaan orang lain hanya untuk kepuasan kita semata. 13 Reasons Why merupakan serial yang menguras sisi sentimentil dari diri kita. Seolah serial ini adalah perwujudan Dementor dari serial Harry Potter, yang dapat menyerap setiap kebahagiaan, cahaya, dan "jiwa" kita ketika menyaksikannya. A beatiful, yet depressing masterpiece. Rating: 8,8/10 *Catatan: A must watch series. Terutama untuk kita yang merasa bahwa menjadikan seseorang "alat bercanda" adalah hal yang wajar. - Kutu Klimis
0 Comments
Sutradara: F. Gary Gray
Penulis: Chris Morgan Pemeran: Vin Diesel, Dwayne Johnson, Jason Statham, Michelle Rodriguez, Tyrese Gibson, Chris Bridges Genre: Action, Drama, Crime. Durasi: 136 Minutes Lebih dari satu dekade lalu, saya pernah menghadiri farewell party teman sekolah saya. Sahabat masa kecil saya bisa dibilang. Ia tumbuh di keluarga tentara, di mana ayahnya selalu berpindah-pindah tugas hampir ke seluruh pelosok Nusantara. Kala itu Ia mengundang seluruh teman sekelas untuk datang ke rumahnya, kami semua yang biasa melihat satu sama lain berkubang lumpur di lapangan, hari itu berdandan dengan rapi. Saya pribadi pernah menjalani fase di mana saya kurang nyaman mengenakan kemeja kecuali seragam sekolah, namun khusus hari itu saya akhirnya rela mengenakan kemeja demi terlihat rapi. Kala itu kami semua diliputi suasana haru. Saya saat itu tinggal di desa (bila kampung terkesan terlalu "kasar"), di mana ketika ada perpisahan, yang ada di pikiran kami adalah "hilang". Tidak akan bertemu lagi. We really seize the moment that day, trying to spent it as great as we can, bahkan ayahnya sempat mengajak beberapa anak, termasuk saya, berkeliling menggunakan mobil dinasnya. That was a really fine day. Kemudian saya menghabiskan sabtu dan minggu dengan banyak melamun dan menyimpan rasa kehilangan yang cukup besar. Mungkin bila saat itu saya sudah tahu lagu Gloomy Sunday pasti akan saya putar seharian, tanpa peduli mitos dibaliknya. Dua hari yang biasanya saya lalui dengan gembira karena dapat bermain Super Nintendo itu akhirnya saya lewatkan dengan tidur-tiduran dan melamun. Kemudian di hari senin saya menemukan "si yang punya hajat, yang mengadakan farewell party, yang katanya mau pindah", sudah duduk manis di kelas dengan sisiran klimisnya. Bedebah. "Bapa urang teu jadi dipindahkeun, ngke we ceunah da euweueh keneh nu ngagantina di dieu", katanya waktu itu. Intinya "Bokap gue engak jadi pindah, nyet". Saya pun seketika merasa menjadi korban pelecehan dan pembodohan. Antiklimaks. Begitu mungkin satu kata yang bisa saya gunakan untuk menggambarkan situasi tersebut. Sama halnya dengan saga Fast and Furious, di mana pada installment terakhirnya mereka menyematkan tagline "One Last Ride" mengacu kepada meninggalnya Paul Walker. Saat itu saya cukup mengamini bahwa ending Furious 7 (2015) adalah salah satu yang cukup memorable. Beberapa bulan kemudian, saya sedikit terbelalak ketika franchise ini mengumumkan bahwa mereka akan memiliki paling sedikit tiga film lagi hingga tahun 2019 nanti. One last ride, my ass! Sejujurnya film ini tidak jelek. Hell, ada dua orang pemenang Oscar yang turut berpartisipasi dalam sosok Charlize Theron dan Helen Mirren. Ditambah jajaran bintang jempolan yang sudah terikat bersama dalam saga ini sejak 2001 silam. Ditambah dengan sutrdara F. Gary Gray, yang sebelumnya cukup sukses menggarap Straight Outta Compton (2015) dan berpengalaman dalam film heist, The Italian Job (2003). Namun bagi saya film ini sudah terlalu melenceng dari jalurnya. Karena saga ini dimulai dengan menitik beratkan pada kisah street racer, kini lebih mengarah pada aksi heist menggunakan mobil-mobil mewah. Tidak ada yang salah memang, hanya terkesan dipaksakan. Patut diketahui, perubahan tema ini terjadi karena adanya perubahan sponsor film, sehingga ide cerita pun harus diubah haluannya. Sebenarnya film dimulai dengan awalan yang cukup solid. Namun seiring berjalannya waktu, film ini mengalami fluktuasi yang cukup menjemukan. Ada beberapa lompatan plot yang sedikit membuat motif dari suatu adegan terkesan kurang kuat. Motif dari Dom sendiri untuk "membelot" bagi saya agak kurang didalami. Alur cerita sudah bisa saya tebak saat 20 menit film berlangsung. Hal itu membuat 110 menit sisanya hanya menjadi sebuah sajian "Bom Bom Car" versi para sultan, dengan menghancurkan ratusan mobil yang harganya lebih mahal bahkan dari biaya persalinan ketika saya lahir. Bahkan twist yang coba dihadirkan tidak terlalu berhasil, karena terlalu banyak hint yang dapat disusun menjadi jawaban di sepanjang film. Kecuali Kawan Kutu bolak-balik ke toilet, "memanfaatkan gelapnya bioskop" dengan pasangan, atau sempat tertidur, saya yakin kalian pun akan sadar akan dengan berbagai petunjuk tersebut. Baik dari adegan, maupun dialog dari para pemeran. Beberapa detail pun cukup luput untuk diperhatikan. Seperti lingkungan sekeliling termasuk para pedestrian kurang terlihat natural. Seolah-olah aksi kejar-kejaran menggunakan mobil mewah yang menghancurkan fasilitas kota adalah hal yang biasa terjadi di sana. Namun dari sisi action, film ini memang tidak tanggung-tanggung. Selain banyak mobil-mobil super yang menjadi korban, banyaknya ledakan dan adegan perkelahian yang intens memang cukup membuat penonton terhibur. Suasana film yang dihadirkan pun cukup pas, serta scoring untuk musik latarnya juga cukup membantu dalam meningkatkan tensi adegan. Pada akhirnya, sama seperti kejadian masa kecil saya. Meskipun antiklimaks, saya tentunya tetap senang bahwa teman saya tidak jadi pindah. Seperti halnya dengan Fast & Furious, meskipun bagi saya film ini sudah saatnya melihat finish line mereka, kisah Dom, Letty, Tej, Hobbs, Roman, dan Ramsey tetaplah sebuah film yang cukup menghibur. Serta tentunya film ini akan tetap menjadi film dengan pengeluaran besar dan pendapatan yang juga besar. Karena bagaimanapun, Fast Furious akan selalu menjadi magnet bagi penonton untuk datang ke bioskop. So, even if the cast itself said "enough is enough" in their head, well, no one can deny "Uncle Ben" in their pocket. Rating: 6/10 P.s: Durasi yang terlampau lama, beberapa adegan yang dipaksakan, serta adanya beberapa cerita yang terburu-buru, kurang membuat film ini menjadi memorable bagi saya. - Kutu Klimis Produser: Mark Hudis, Barry Sonnenfeld
Pemeran: Neil Patrick Harris, Patrick Warburton, Malina Weissman, Louis Hyness, dan K. Todd Freeman Genre: Drama, Adventure, Family Jumlah Episode: 8 Episode “Look away, look away. This show will wreck your evening, your whole life and your day. Every single episode is nothing but dismay.” Di atas adalah lirik dari lagu pembuka serial yang hadir pada 13 Januari lalu. A Series of Unfortunate Event adalah sebuah adaptasi dari seri novel yang ditulis oleh Daniel Handler, atau yang juga dikenal dengan alias Lemony Snicket. Yang membuat unik adalah Snicket sendiri hadir dalam buku-bukunya, dan ia bertindak sebagai narator. Hal itu pun tak luput untuk diangkat, di mana serial ini berjalan dari sudut pandang sang narator, Lemony Snicket. A Series of Unfortunate Event bercerita tentang tiga anak-anak Baudelaire, Violet (Malina Weissman), Klaus (Louis Hynes), dan Sunny (Presley Smith). Mungkin banyak Kawan Kutu yang tak asing dengan karya Lemony Snicket. Lagipula judul A Series of Unfortunate Event sendiri pernah diangkat ke layar lebar pada 2004. Film tersebut dibintangi oleh Jim Carrey dan juga Meryl Streep, Kawan Kutu ada yang pernah menontonnya? Seperti yang tertera dalam judulnya, ketiga anak Baudelaire mengalami serangkaian kejadian yang kurang beruntung. Diawali dari berita bahwa orang tua mereka tewas karena rumahnya terbakar. Lalu ketiga anak yatim piatu ini harus diserahkan kepada guardian atau wali yang sah sebagai pengganti orang tua mereka. Oh ya, diceritakan bahwa keluarga Baudelaire adalah salah satu yang memiliki martabat tinggi. Mereka begitu terkenal dan menjadi salah satu keluarga terpandang yang ada. Maka dari itu ada banyak orang yang mengincar harta kekayaan keluarga ini. Ya, salah satunya adalah Count Olaf (Neil Patrcik Harris). Selain dari jalan ceritanya, salah satu yang paling saya suka dalam film ini adalah bagaimana para produser begitu memperhatikan berbagai detail dalam eksekusinya. Salah satu contohnya adalah pengembangan dari tiap karakter. Hal itu tak hanya berlaku untuk para karakter tetap saja, melainkan juga pada karakter pendukung. Ya, termasuk karakter yang hanya tampil di satu episode saja. Nuansa yang dibangun terbilang konsisten sepanjang delapan episode. Mulai dari suasanya yang “menyedihkan”, hingga rasa optimis yang selalu muncul di kala situasi semakin berbahaya. Namun yang paling tak terduga adalah banyaknya komedi yang disisipkan di berbagai adegan. Komedinya pun beragam bentuknya, mulai dari dialog hingga gestur para pemerannya. Bisa dibilang, serial ini cocok untuk kalian yang senang dengan film-film sejenis karya Tim Burton. Ya tipikal visual dengan elemen-elemen yang sedikit banyak jauh dari realita. Oh ya, jangan dulu terpengaruh oleh lagu pembukanya, karena menurut saya serial ini sangat menghibur dan mudah dinikmati. Sebagai informasi, A Series of Unfortunate Event nyatanya terdiri dari 13 buku. Nah di season pertama ini, materi yang digunakan baru dari empat buku. Jadi tenang saja untuk Kawan Kutu yang belum menontonnya, karena perjalanan Baudelaire masih panjang. Selain itu, Netflix juga telah mengumumkan untuk season keduanya di tahun depan. Rating: 8/10 -Kutu Kasur Sutradara: Daniel Espinosa
Penulis: Rett Rheese dan Paul Wernick Pemeran: Jake Gylenhall, Ryan Reynolds, Rebecca Ferguson Genre: Science-Fiction, Horor Durasi: 103 Menit Bagaimana cara membuat film sains fiksi horor? Rumusnya sederhana, sekelompok ilmuwan menemukan atau merekayasa mahluk hidup, lalu mahluk hidup itu menjadi monster, kemudian sang monster membunuh ilmuwan satu per satu, dan akhirnya hanya satu orang yang selamat. Saya sudah berkali-kali melihat film dengan genre yang sama dan menggunakan rumus untuk plot di atas. Sehingga saya merasa jenuh dan terkadan bosan. Dalam film ini, saya pun sempat merasakan hal yang sama. Life bercerita tentang sekelompok astronaut dan ilmuwan di luar angkasa yang menemukan organisme asing dari planet Mars. Namun ternyata organisme itu berubah menjadi mahluk mengerikan dan meneror seluruh astronaut dan ilmuwan tersebut. Plot pun terasa dijalankan begitu cepat dan terburu-buru sehingga pengenalan karakter masing-masing seolah dangkal dan tidak bernyawa. Akibatnya kita tidak bisa merasa simpatik bila terjadi sesuatu pada mereka. Film ini ditulis oleh penulis yang sama dari film Zombieland (2009) dan Deadpool (2016), Rhet Reese dan Paul Wernick. Keduanya pun gagal membawa atmosfer yang sama seperti dalam film mereka sebelumnya. Adanya Ryan Reynolds dan Jake Gylenhaal pun seolah tidak mampu menyelamatkan film ini dari klise khas sains fiksi horror. Ditambah lagi dengan Ryan Reynolds yang seolah kembali memerankan karater yang sama dalam film Deadpool, "wise-cracking-funny-guy". Saya khawatir bila karakter Deadpool sudah melekat dalam Ryan, penonton hanya bisa melihat dia sebagai "Eh ada Deadpool!", sehingga peran tersebut akan terus melekat padanya. Walaupun sempat mengecawakan, ending yang dihadirkan cukup menarik dan mengejutkan. Hal itu menurut saya berhasil menyelamatkan film ini. Oh iya, sempat ada teori dari fans kalo ini merupakan prekuel dari film Venom, musuh bebuyutan dari Spider-Man. Terlepas dari benar atau tidak, akan terlihat keren karena keduanya memiliki banyak persamaan. Rating: 6/10 - Kutu Kamar Sutradara: Jordan Peele
Penulis: Jordan Peele Pemeran: Daniel Kaluuya, Allison Williams, Bradley Whitford, Caleb Landry Jones, dan Stephen Root, Genre: Komedi, Horor, Psychological Thriller Durasi: 109 Menit Apa yang kita lakukan saat merasa ada sesuatu yang salah? Marah? Curhat di Instagram dan berharap cerita kita di blow up Lambe Turah? Demo berjilid-jilid tanpa kenal lelah? Banyak tentunya cara yang dapat kita lakukan, dan Jordan Peele memiliki caranya tersendiri. Sebelum kita mulai, mari kita sedikit lebih mengenal sosok personal di balik film Get Out ini. Jordan Peele memiliki latar belakang seorang komedian dan lebih dikenal sebagai co-star dalam acara Kay & Peele, sebuah sketsa komedi. Pria African-American kelahiran 38 tahun lalu ini merupakan personal yang menyuarakan ketidaknyamanannya mengenai isu rasial di Amerika dengan cara yang cukup brilian. Sebelum menelurkan Get Out, Peele pun diketahui pernah menampilkan sebuah sketsa komedi yang menyinggung isu interrasial dalam serial Mad TV. Setelah menyuarakan kegelisahannya melalui sketsa komedi, Peele kemudian menapaki babak baru dalam kritik-berbalut-kotak-kado-nya. Get Out merupakan sebuah langkah tinggi dan penuh risiko yang ditempuh oleh Peele. Merangkap kerja sebagai penulis, sutradara, serta produser, Peele bermain di area yang bagi saya merupakan war zone. Salah sedikit bukan tidak mungkin Get Out akan menjadi kuburannya sendiri. Mengangkat isu yang sudah mendarah daging semenjak politik Apertheid diperkenalkan, Peele seolah sadar ia tidak dapat melakukannya dengan cara "mainstream". Bagi saya, Get Out merupakan suatu mahakarya dari Jordan Peele. Ternyata dalam durasi 109 menit Peele membuktikan bahwa ia mampu "messing with the line" tanpa menimbulkan sebuah gejolak. Film yang menyematkan genre komedi, horror, dan psychological thriller ini justru memiliki elemen cerita yang begitu beragam. Naskah yang disusun sendiri oleh Peele seolah memiliki rohnya. Percakapan antar karakter dalam film tersebut seolah mengalir apa adanya. Elemen-elemen komedi yang diselipkan pun masuk dengan porsi yang pas. Dengan kentalnya nuansa satir yang cukup gelap di film ini, Get Out bagi saya merupakan sebuah penggambaran tentang racial paranoia yang dapat merangkum zeitgeist dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh film lain. Berjalan dengan tempo yang cukup lambat, Get Out seolah mencoba untuk menyampaikam cerita dengan perlahan. Namun tiap adegan memiliki kesinambungan yang dijahit cukup rapat oleh Peele untuk tidak meninggalkan lubang. Akting dari Daniel Kaluuya, Allison Williams, Bradley Whitford, Caleb Landry Jones, Stephen Root, Lakeith Stanfield, dan Catherine Keener membuat film ini begitu hidup. Saya pun cukup mengacungi jempol untuk casting para pemeran, karena tidak adanya nama yang amat bersinar. Sehingga fokus penonton tidak akan pada satu karakter, tetapi pada keseluruhan jalan cerita. Sepanjang film kita akan disuguhkan nuansa creepy yang "creepy". Karena saya merasa kengerian yang bukan hanya sekadar ngeri kala melihat sesuatu yang seram, tetapi kengerian yang bertahan lama karena suasana yang dihadirkan oleh jalinan ceritanya. Penonton pun akan dibawa pada suasana "ini asli ada yang gak beres sih" sepanjang cerita dengan tebaran petunjuk yang diberikan sepanjang durasi. Bahkan hingga credit scene. Scoring dari film ini pun dilakukan dengan cukup detail dan mampu menambah suasana mencekam. Lagu tema pembuka berjudul "Sikiliza Kwa Wahenga" bukan hanya sekadar lagu yang numpang tenar. Lagu tersebut diminta khusus oleh Peele kepada Michael Abel, sang komposer. Sikiliza Kwa Wahenga sendiri merupakan frasa dalam bahasa Swahili yang dapat diartikan menjadi "Listen to Your Ancestors". Liriknya pun dapat diartikan "something bad coming, run!" Peele mengatakan bahwa dia menempatkan lagu ini di awal sebagai pesan terselubung kepada Chris, sang karakter utama. Dengan seluruh detail dan fakta tersebut, Get Out akhirnya mengantarkan Peele untuk mengukir sejarah sebagai sutradara African-American pertama yang mampu mencetak 100 juta dollar dalam debut filmnya. Sebuah pencapaian yang tidak dapat dikesampingkan bukan? Get Out bukan sekadar film horor atau thriller yang kemudian akan memberikan kita sebuah sekuel, prekuel, atau spin-off latar belakang sang antagonis. Lebih dari itu, Get Out menyimpan suatu pesan kelam, dan sebuah kritik atas ketidaknyamanan yang secara nyata terjadi di Amerika sana. A solid masterpice to voice your concern. Watch it and feel those creepy ambience by yourself. Rating: 8,8/10 - Kutu Klimis |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|