Terrence Malick, salah satu sutradara generasi 'New Hollywood', kali ini kembali dengan sesuatu yang baru, film dokumenter. Ya, 'Voyage of Time' adalah pengalaman pertamanya menyutradarai sebuah dokumenter. Film ini akan membahas tentang alam semesta, menjelaskan semua, mulai dari tercipta hingga hancur nanti. Lebih tepatnya akan membahas segala hal yang terjadi sebagai "persiapan" dunia yang kita tinggali kini. "An examination of the birth and death of known universe", singkatnya. Untuk para penggemar Malick, tentu proyek ini akan menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Pasalnya, Malick sendiri menyatakan bahwa film ini adalah salah satu impian terbesarnya, dan telah merencanakannya sejak 1970-an. Namun proyek yang awalnya berjudul 'Q' tersebut gagal terpenuhi dan beberapa elemen dan footage digunakan untuk 'The Tree of Life'. 'Voyage of Time' memiliki dua versi. Pertama versi IMAX 40 menit dengan Brad Pitt sebagai narator dan kedua adalah edisi "35 mm feature-length" dengan suara narasi Cate Blanchett. Versi Blanchett adalah yang dipilih untuk tampil di Venice, September nanti. Film ini akan dirilis ke pasaran pada 7 Oktober mendatang. - Kutu Kasur
1 Comment
Diangkat dari film pendek berjudul sama yang sempat viral hingga ditonton oleh puluhan juta pasang mata di You Tube, David Sandberg berkesempatan memperpanjang karyanya dari 2,5 menit durasi, menjadi sebuah film utuh dengan durasi 81 menit. Tayangan yang mulanya hanya sebuah film pendek untuk sebuah festival, berubah menjadi sebuah sensasi baru yang menambah daftar perfilman horor modern dengan warna klasik. Premis yang ditawarkan sederhana, namun dibalut dengan skenario yang cukup solid karya Eric Heisserer. Suasana setting lokasi dibuat se-"kelam" dan se-gelap mungkin seakan gelapnya lampu teater belum cukup untuk menghadirkan rasa ngeri. Elemen jumpscare yang menjadi salah satu elemen "wajib" film horor, diberi penempatan dan porsi yang pas, sehingga membuat penonton setelahnya seolah memiliki rasa paranoid tersendiri akan gelap. Build up adegan dilakukan dengan baik, sehingga (bila meminjam istilah Stand Up Comedy) sebelum punchline berupa kemunculan sang "makhluk utama", penonton sudah merasakan kengeriannya, sehingga ketika jumpscare tersebut "diluncurkan", penonton akan mengalami sensasi terkejut dan ngeri yang cukup maksimal. Scoring pun dilakukan dengan cukup apik sehingga mampu membalut adegan dengan rapi dan membantu build up secara maksimal. Patut kita berikan apresiasi karena faktanya, film ini merupakan debut sang sutradara, David Sandberg, yang mendapatkan "ilmu" sutradara dari tutorial yang ada di YouTube. Fakta lain yaitu bahwa film pendek Lights Out, sebelum diadaptasi menjadi film panjang, tidak berhasil menang pada festival film yang disponsori oleh salah satu web horor, Bloody Disgusting. Sehingga film ini, bagi saya pribadi, patut untuk diperhitungkan.
Dari segi acting, Teresa Palmer dan Gabriel Bateman mampu membawakan peran dengan cukup baik, dan mampu membawa histeria penonton. Sayangnya susunan solid skenario mengenai penempatan setting serta adegan, tidak dibarengi dengan jalan cerita serta karakterisasi pemeran yang solid. Sehingga film ini seolah hanya menjual jumpscare dan teriakan, meskipun memang itu elemen utama yang dicari dari film horor. Secara keseluruhan film ini cukup recommended untuk disaksikan. Elemen kengerian sederhana yang dihadirkan, akan membuat penonton berpikir ulang untuk mematikan lampu di manapun ia berada setelah menyaksikan film ini. 7,5/10 adalah skor yang ingin saya berikan. Namun sayangnya plot dan beberapa detail karakter kurang diperhatikan sehingga skor akhir adalah 6,8/10. Namun film ini tetap menjadi film yang cukup meninggalkan kesan bagi penonton, dan wajib disaksikan apabila The Conjuring atau Insidious merupakan beberapa film horror yang Kawan-Kutu gandrungi. P.S: Jangan nonton sendirian, terutama bila bangku teater hampir terisi penuh. Bukan, bukan bakal disamperin hantunya, tapi pegel, gabisa selonjoran ke depan atau senderan ke samping. Overall: 6,8/10 - Kutu Klimis Debut perdana penyutradaraan Aktor Bradley Cooper akan dimulai dalam film yang berjudul A Star is Born. Lady Gaga pun dipilih sebagai pemeran utama dalam film remake ketiga dari film klasik William A Wellman yang dirilis pada 1937.
Bradley sudah lama tertarik untuk mengembangkan film A Star Is Born dimana ia juga bertugas sebagai pemain, produser dan penulis naskah. Cooper juga sempat mempertimbangkan Beyonce sebagai pemeran utama wanitanya. Menariknya, Lady Gaga juga berkolaborasi dengan1 Bradley untuk membuat soundtrack dan menyanyikannya dalam film. A Star is Born akan mulai syuting pada awal 2017. -Kutu Kamar Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan wawancara seorang pelawak senior (dan termasuk on his way to become a legend bagi saya), yaitu Komeng. Dalam wawancaranya, ia menjawab serta menceritakan perihal perjalanan panjang kariernya sebagai pelawak. Ada satu pertanyaan dan jawaban yang cukup mengena di benak saya, yaitu ketika sang interviewer kurang lebih menanyakan, "Apa sih bang rahasianya bisa terus eksis di persaingan yang semakin ketat? Tipsnya apa?", lalu Komeng menjawab dengan nada khasnya dan memberi beberapa tips yang membuat saya mengapresiasi. Tetapi jawaban berikutnya lah yang membuat saya kagum. Ia kurang lebih mengatakan, "Kalau mau jadi apa-apa itu fokus, jangan udah jadi, pindah. Udah jadi, pindah".
Dua kata kemudian saya simpulkan dari situ, dedikasi dan konsistensi. Tidak mudah memang untuk tetap konsisten pada satu jalur ketika banyak peluang terbuka, dan tidak mudah untuk tetap berdedikasi ketika kita melompat-lompat dari satu hal kepada hal yang lain. Lalu dimana kaitan wawancara Bang Komeng tersebut dengan film ini? Ya, ada di dua kata yang saya simpulkan. Seperti kita ketahui, Deddy Corbuzier lebih dulu dikenal sebagai seorang mentalist, yang malang melintang di dunia magic di Indonesia. Ia berdedikasi di hampir 1/2 usia saya sekarang (mungkin). Tapi kemudian ia memutuskan untuk "menghentikan" konsistensinya dan "pindah" ke dunia presenter. Setelah mengukuhkan namanya sebagai salah satu presenter kondang, ia kemudian kembali mencoba hal lain. Mungkin tidak (atau belum) pindah, tapi tentu hal tersebut kembali "memberi cabang" akan konsistensinya. Berawal dari (mungkin) iseng-iseng, Deddy membuat 3 buah film pendek yang diunggah ke YouTube, bertajuk Triangle dengan tajuk masing-masing The Red Side, The Golden Side, dan Hitman Mission. Untuk ukuran film YouTube, saya benar-benar mengapresiasi karya tersebut, meskipun tidak disertai dengan script dan kemampuan akting yang mumpuni. Namun adegan-adegan yang ditampilkan cukup baik dan terlihat natural. Fakta bahwa Deddy ternyata seseorang yang haus untuk berkarya, membuat saya memberikan pemakluman tambahan, terlebih ketika mengetahui bahwa adegan-adegan tersebut (entah kebanyakan atau keseluruhan) diambil menggunakan kamera ponsel. Kala itu saya sempat bergumam, "Widih serius pake kamera HP? Zedep jugak". Tentunya bukan perkara mudah membuat sebuah film dengan menggunakan kamera ponsel. Dibutuhkan teknik serta skill khusus agar pengambilan gambar tetap mampu dinikmati layaknya menggunakan kamera biasa, dan kala itu saya amini 3 film tersebut patut diacungi jempol. Kala itu Deddy begitu bangga dan mengatakan bahwa ia mendapat dukungan penuh dari seluruh tim nya. Dukungan tersebut salah satunya-dan cukup vital-dalam hal budgeting. Karena menurut pernyataannya kala itu, semua yang dilakukan dalam film tersebut adalah "gratis". Kru dan pemain tidak mendapat bayaran sepeser pun. Selain itu Deddy pun menyampaikan bahwa mereka benar-benar mengambil risiko yang tinggi. Karena melakukannya tanpa stunt, serta tidak dilengkapi dengan asuransi, karena tidak ada asuransi yang mau menanggung. Di satu sisi terlihat dedikasi, tapi di sisi lain terdengar amatir dan kurang profesional, hal yang juga memunculkan kritik dari Gareth Evans, sutradara The Raid. Meskipun begitu, ketiga film Triangle di YouTube mendapat apresiasi yang cukup tinggi, dengan jumlah view hingga mencapai 1 juta. Kala itu (kalau saya tidak salah) Deddy sempat merendah ketika ditanya apakah film ini akan diangkat ke layar lebar dengan kurang lebih mengatakan ia tidak/belum terpikirkan untuk mengangkat ke layar lebar, karena akan ada tanggung jawab lebih, terutama pada penonton yang sudah mengeluarkan uang. Cerita pun berakhir. Tapi tanggal 18 Agustus lalu, Triangle kembali "menelurkan" kisahnya dengan tajuk The Dark Side. Deddy duduk langsung di kursi sutradara, dan melibatkan cukup banyak aktor senior di perfilman Indonesia (yang katanya lagi-lagi "memberikan support"). Setelah sekitar 90 menit menyaksikan versi layar lebar, apresiasi saya akan versi YouTube runtuh seketika. Cukup disayangkan karena bagi saya premisnya lumayan menarik. Namun ketika berbicara mengenai film layar lebar yang dikomersilkan, maka kita akan berharap sebuah karya yang digarap dengan "serius" dan "total". Tapi saya tidak mendapatkannya dari film tersebut, terlepas perilisan behind the scene yang menunjukkan "pengorbanan" kru dan pemain. Baru 15 detik film berjalan, saya sudah merutuk kenapa menyaksikannya di hari Jumat, bukan di hari "nomat". Tone film begitu gelap, literally. Membuatnya seolah berlomba adu gelap dengan lampu studio. Script yang disusun amat tidak rapi, banyak lubang dalam plot. Konsistensi alur cerita tidak terjaga. Pergantian adegan entah dengan maksud apa, menggunakan cara menghentikan adegan untuk kemudian melakukan freeze di ujungnya dan diganti menjadi efek seperti dalam aplikasi Prisma. Product placement (satu-satunya mungkin) begitu terasa, dan ditempatkan dengan cara yang tidak lebih baik dari sinetron Madun. Akting para pemain yang dalam behind the scenes terlihat "begitu berkorban", tidak tergambarkan dalam filmnya. Banyak extras yang kaku dan tidak tahu harus melakukan apa, akting dari pemeran utama pun terlihat terlalu banyak "improvisasi" sehingga terkesan menjadi adegan "seenak jidat". Adegan pertarungan pun kurang mendapat angle pengambilan gambar yang baik, serta digarap dengan koreografi yang monoton. Sehingga menyaksikan beberapa adegan pertarungannya, seolah melihat anak SD baru pertama berlatih karate. Scoring yang diberikan pun seolah hanya mencari-efek-suara.mp3 di Google untuk ditempelkan dengan "asal" di film. Tanpa bermaksud "kasar", bagi saya Triangle versi layar lebar tak ubahnya seperti sebuah drama untuk tugas akhir Bahasa Indonesia. Semua digarap seolah terkesan terburu-buru, dan tidak serius (meskipun faktanya mungkin tidak begitu). Bahkan drama tugas akhir mungkin persiapannya lebih matang. Saya ingin memberi pemakluman bahwa ini adalah film pertama Deddy, wajar bila tidak maksimal. Namun kemudian, saya teringat bahwa sebelumnya saya menyaksikan Lights Out, yang memiliki perjalanan cerita hampir sama, berawal dari YouTube. Cukup banyak yang mengapresiasi film ini dengan cara memuji, tapi bagi saya apresiasi adalah ketika kita bisa menyampaikan apa yang sebenarnya. Terlepas itu pujian atau kritikan. Karena ketika film sampai di bioskop, itu akan mengorbankan materi dan waktu penonton. And for me, this movies is a total trainwreck, and over promoted. Ending film yang mengharuskan penonton untuk membeli novelnya untuk tahu seperti apa ending aslinya, membuat saya semakin antipati. Namun kemampuan akting Babe dan (surprisingly) Chika, cukup saya apresiasi. Adegan ending yang cukup artistik pun saya acungi jempol, tapi untuk keseluruhan film? Bahkan sejujurnya saya lebih memilih menonton reaksi penonton lain ketika menyaksikan tiap adegan. Inilah bukti "dedikasi" dan "konsistensi" merupakan hal yang harus kita jaga ketika mendalami sesuatu. p.s: Bila dalam beberapa waktu ke depan ada seorang yang dibentak-bentak Deddy, mungkin itu saya. :') Overall: 2,5/10 - Kutu Klimis [News] The Walking Dead Actor Andrew Lincoln Stopped by Airport Customs Because of Negan Cliffhanger22/8/2016 Andrew Lincoln yang berperan sebagai Rick Grimes dalam The Walking Dead, diwawancarai oleh Entertainment Weekly mengenai pengaruh 'cliffhanger ending' season 6 terhadap kehidupannya. Ia bahkan menuturkan, dirinya kesulitan melalui 'airport security' tanpa ditanya "Who did Negan kill?".
"[I get asked] every time I leave my house. Every time I go through customs" "Every time they are checking my belt going through the security, everybody's going, 'Please tell me. Just tell me. Just whisper, who is it? Is it you? Why are you in England at the moment? What are you doing here? Why are you not working or filming?' and all of that. It's hilarious. Absolutely insane." Momen terakhir season 6 memperlihatkan 11 karakter dari grup Rick yang dikelilingi oleh The Saviours, dimana sang leader (Negan), memukul salah seorang hingga tewas dengan tongkat baseballnya yang diberi nama Lucille. Executive Producer dan Sutradara, Greg Nicotero menyatakan bahwa 'opening scene' season 7 akan mengungkap identitas karakter yang tak beruntung tersebut. The Walking Dead sendiri akan kembali pada 23 Oktober 2016. Sumber: independent.co.uk - Kutu Butara |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|