Mengenal Lebih Dekat Bastian Tito, Penulis Cerita Silat Terpanjang dan Terlama di Indonesia22/4/2017 Bila Jepang memiliki Karate dan Judo, Korea Selatan dengan Taekwondonya, dan Cina punya Kung Fu, maka Indonesia memiliki satu seni bela diri yang tak kalah mahsyur bernama Pencak Silat. Seni bela diri silat secara luas dikenal di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
Kini, bela diri asli Indonesia ini telah diangkat ke layar kaca maupun layar lebar, sebut saja acara televisi tahun 90-an yang terkenal semisal Wiro Sableng dan Si Buta Dari Gua Hantu. Film layar lebar bercitarasa internasional seperti The Raid pun mengangkat tema silat, membanggakan bukan? Bicara tentang silat, tak afdol rasanya bila tak membicarakan Bastian Tito. Ayah dari Vino G. Bastian ini merupakan salah satu penulis yang berdedikasi di dunia silat Indonesia. Sebab karyanya yang amat populer yakni Wiro Sableng, memang mengangkat seni bela diri yang kini telah memiliki banyak aliran di Indonesia. Bastian Tito merupakan penulis cerita silat terpanjang dan terlama sepanjang sejarah. Pria yang lahir pada 23 Agustus 1945 ini memulai kisah pendekar silat Wiro Sableng sejak tahun 1967 dan kisah buku yang ditulisnya ini masih berlanjut hingga tamat pada tahun 2006, saat sang penulis wafat. Wiro Sableng bisa dibilang sebagai buku silat tersukses, buku ini telah diangkat ke layar lebar pada tahun 1988-1989 dan disinetronkan dari tahun 1994 hingga 2002. Sebanyak 185 judul buku telah diterbitkan selama 39 tahun penulisan. Tak sedikit pula yang berhasil memecahkan rekor terjual hampir satu juta kopi, salah satunya adalah Guci Setan yang terjual 924.078 eksemplar pada tahun 1994. Wiro Sableng disukai penggemar karena karakter tokoh utama yang unik, nyeleneh, dan seiring waktu bertumbuh menjadi karakter yang bijaksana. Belum lagi karakter lain seperti sang guru Sinto Gendeng atau love interest Wiro Sableng, yakni Bidadari Angin Timur. Terciptanya karakter unik ini tak luput dari observasi dan riset yang dilakukan oleh Bastian Tito sebelum menulis judul baru Wiro Sableng. Tokoh Wiro Sableng sendiri merupakan seorang pendekar silat yang memiliki tato angka 212 dengan senjata andalan Kapak Naga Geni. Wiro digembleng oleh seorang guru silat bernama Sinto Gendeng. Usai menimba ilmu silat dari Sinto Gendeng, Wiro menggunakannya untuk membela kebajikan dan memusnahkan kebathilan. Serial Wiro Sableng yang ditayangkan pada tahun 90-an menjadi salah satu serial populer dan digemari pemirsa. Berbekal popularitas buku serta serial TV, Wiro Sableng akan diangkat kembali ke layar lebar melalui kerjasama rumah produksi LifeLike Pictures (Pintu Terlarang, Tabula Rasa) dengan Fox International Productions, melalui arahan Angga Dwimas Sasongko. Karakter Wiro akan diperankan oleh anak sang penulis yang tidak lain adalah Vino G. Bastian. Semoga, film Wiro Sableng nanti mampu sukses dan dikenal dunia. Dan kita semua tak serta merta lupa, bahwa Indonesia pernah memiliki penulis cerita silat yang luar biasa bernama, Bastian Tito. Sumber: kapanlagi, rappler - Kutu Butara
0 Comments
Tahun 2016 lalu, nama Indonesia menjadi harum pada salah satu festival film terbesar dunia. Film Prenjak (In the Year of Monkey) karya sutradara Wregas Bhanuteja, terpilih sebagai film pendek terbaik di Semaine de la Critique 2016, Cannes. Prenjak berhasil memenangkan Le Prix Découverte Leica Cine untuk film pendek terbaik. Dipilih dari 10 film yang diputar dalam kompetisi, hasil penyaringan 1500 film pendek yang dikirim ke panitia festival.
Prenjak sendiri berkisah soal Diah (Rosa Sinegar) yang sedang membutuhkan uang. Ia mendatangi Jarwo (Yohanes Budyambara) untuk menawarkan batang-batang korek api dengan harga tinggi, demi dipakai untuk melihat kemaluan Diah. Meraih kemenangan di Festival sekaliber Cannes tentunya bukan perkara mudah dan butuh konsistensi serta semangat tak kenal lelah. Yuk, langsung saja kita simak 5 fakta tentang Wregas Bhanuteja. 1. Cinta Seni Rupa & Bersinema Sejak SMA Cowok kelahiran 1992 ini berbeda dibanding kebanyakan siswa laki-laki lain di sekolahnya saat SMA. Ketika itu, Wregas sama sekali tak merasa punya bakat seperti teman-temannya yang doyan basket, musik, atau jadi anak band. Apalagi sains, atau ikut-ikutan olimpiade. “Akhirnya karena aku mencintai sastra dan seni rupa, maka aku merasa sinematografi adalah hal yang paling tepat untuk merangkum dua hal tersebut. Gambar dan suara. Saat itu ada ekstrakurikuler sinematografi, dan baru saja dibuka di sekolahku. Maka aku langsung memutuskan untuk masuk ke ekstrakurikuler itu.” Setelahnya, Wregas mulai rajin bikin film pendek di SMA. Film pertamanya masa itu berjudul Muffler, dibuat pada tahun 2008. Film itu menceritakan kegelisahan seorang pemuda terhadap bisingnya suara knalpot motor. Kamera yang digunakan juga belum canggih, yakni masih memakai handycam kecil sederhana. Tanpa diduga, film Muffler bikinan Wregas masuk ke 8 besar dalam Festival Film Pendek Tawuran! dari Yayasan Konfiden Jakarta. Wregas dan teman-teman yang terlibat dalam pembuatan film lantas berangkat ke Jakarta dari Jogjakarta untuk berfestival. 2. Sempat Dilarang Kuliah Film Di pertengahan kelas 3 SMA, saat dirinya sudah yakin bahwa bakatnya adalah di bidang film, Wregas memutuskan untuk kuliah di Institut Kesenian Jakarta alias IKJ, Fakultas Film dan Televisi. Sayangnya, pilihan itu tak disetujui orang tuanya. “Iya, mungkin karena mereka kurang percaya bahwa kesenian dan film adalah jalan yang tepat untukku. Karena hal itu, akhirnya aku menghabiskan masa SMA dengan bikin film sebanyak-banyaknya, untuk membuktikan pada mereka bahwa inilah jalan yang kupilih.” jelas Wregas. Omongan itu pun kemudian dibuktikan dengan kegigihan. Wregas jadi rajin bikin film, rutin bawa handycam ke sekolah, dan merekam segala kegiatan dan aktivitas di situ. Hingga tiba waktu kelulusan, Wregas menyatukan segala rekaman menjadi sebuah film yang faktanya, berhasil membuat semua temannya menangis dan terharu. Total 10 film pendek sederhana yang dibuat Wregas semasa SMA, dan salah satunya yang berjudul AKU menang di juara 1 Kompetisi Film Pendek Psymotion Yogyakarta. Kemenangan ini pun menghantarkan Wregas pada restu orang tuanya untuk berkuliah di IKJ. “Ibu hanya bilang, ‘kamu udah berjuang untuk membuktikan ke Bapak Ibu, ya maka selanjutnya terus buktikan itu di jalan yang kamu pilih ya.’” tutur Wregas 3. Langganan Ikut Festival Konsistensi Wregas yang diiringi restu orang tua pun turut membimbing cowok yang pernah berambut gondrong ini berkelana dengan film-filmnya ke berbagai festival. Senyawa, yang dibuatnya tahun 2012, pernah ikut serta dalam Freedom Film Festival, Malaysia di tahun 2013. Lembusura di tahun 2014, telah unjuk kebolehan di 65th Berlin international Film Festival – Berlinale Shorts Competition (2015), 39th Hong Kong International Film Festival (2015), Imagine Science Film Festival, New York (2015), dan Asian Film & Video Art Forum, Seoul – South Korea (2015). Film Lemantun yang juga dituntaskan tahun 2014 pernah tampil di China’s Asia MicroFilm Art Festival (2015) serta menjadi pemenang di XXI Short Film Festival (2015). Yang terbaru, The Floating Chopin (2015) berkompetisi di Hong Kong International Film Festival 2016. 4. Terlibat Dalam 'Ada Apa Dengan Cinta? 2' Selain bikin film pendek yang begitu banyak menoreh prestasi, ternyata Wregas juga merupakan orang di balik pembuatan video-video behind the scene dari film Indonesia paling diantisipasi tahun lalu, AADC? 2. Jadi, kalau ada yang terbawa-bawa perasaan meski baru nonton video proses syuting AADC? 2, itu ternyata tak lepas dari kerja tangan seorang Wregas, yang kini jadi sutradara pertama Indonesia yang menang di Cannes. 5. Sosok Yang Dikagumi Teman-Temannya Ketika mendengar kemenangan film Prenjak di Semaine de la Critique, wajar kalau teman-teman satu SMA-nya di Kolese De Britto Yogyakarta langsung bersorak bangga. Salah satunya adalah Norman Mahardhika yang langsung menyebarkan berita bahagia itu kepada orang-orang terdekat yang dikenalnya. Ketika ditanya soal sosok Wregas di mata teman dekatnya ini, Norman pun menuturkan satu pendapat, “Dia itu cinta budaya Jawa. Berani ambil langkah untuk berkesenian, banyak baca, dan lebih mementingkan esensi daripada hasil materi yang bisa didapat. Rendah hati lah pokoknya.” Penuturan itu pun dapat kita lihat sendiri buktinya ketika melihat foto Wregas dan tim film Prenjak yang berbusana Jawa saat ajang penganugerahan digelar di Cannes, Prancis. Padahal nih, katanya di sana itu gerah banget, dan kostum Jawa-nya tetap dipakai meski (mungkin) bikin gerah. Salut! -- FYI, Saat ini Wregas sedang mempersiapkan naskah untuk film baru setelah mendapat pelatihan di Perancis Desember tahun lalu. Sukses terus ya untuk proyek-proyek mendatang dari Wregas, dan semoga semakin banyak bermunculan Wregas-Wregas baru di tanah air! Sumber: HAI Online, AntaraNews, BBC Indonesia - Kutu butara Berbicara tentang film Indonesia, tentu kita tak bisa mengesampingkan kehadiran film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Sebuah film ambisius dari sang pemimpin kala itu, Soeharto. Film yang telah menjadi propaganda besar dan berlangsung selama kurang lebih 13 tahun, sebelum akhirnya beliau mundur dari jabatannya.
Film ini muncul pada tahun 1984 dari hasil buah karya Arifin C. Noer, salah satu sineas terbaik Indonesia yang pernah ada. Ya atau tepatnya 19 tahun setelah peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Pengkhianatan G 30 S PKI adalah film komersil pertama yang menampilkan kejadian tahun 1965 tersebut, ya dengan versi yang diakui pemerintah tentunya. Meski memiliki durasi hingga 4 jam lebih dan banyak mengandung adegan kekerasan, pemerintah kala itu mewajibkan rakyat untuk menontonnya. Ironisnya, anak-anak sekolah pun tak lepas dari kewajiban dari menyaksikan film ini. Bukan hal aneh jika pada akhirnya film ini memecahkan rekor penonton hingga nyaris mencapai 700 ribu orang. Di tahun yang sama dengan perilisannya, pemerintah Orde Baru memutuskan untuk menggunakan Pengkhianatan G 30 S PKI sebagai propaganda. Caranya dengan menayangkan film ini di setiap tanggal 30 September. Nieke Indrietta, jurnalis Tempo, dalam tulisannya menyatakan bahwa film ini disiarkan oleh jaringan TVRI milik negara dan juga stasiun swasta setelah didirikan. Bahkan dari survei yang dilakukan majalah Tempo pada tahun 2000 juga membuktikan bahwa sekitar 97 persen dari 1101 siswa yang disurvei telah menyaksikan film ini. Sekitar 87 persen di antaranya menontonnya lebih dari dua kali. Ya, saya juga termasuk ke dalamnya. Jika ditanya apakah film ini hanya satu-satunya senjata dari pemerintah terkait peristiwa 1965? Tentu tidak. Lalu apakah propaganda lewat film ini berhasil? Mungkin bisa dibilang begitu. Sen dan Hill dalam bukunya yang berjudul Media, Culture and Politics in Indonesia juga mengungkapkan di akhir 1980-an hingga awal 1990-an, sedikit sekali perdebatan tentang akurasi sejarah yang ada di film Pengkhianatan G 30 S PKI. Bahkan bisa dibilang film ini menjadi satu-satunya yang diperbolehkan dalam wacana terbuka. Hal itu juga menjadi parah karena film ini menjadi satu-satunya pedoman orang-orang tentang peristiwa 30 September 1965. Namun di pertengahan 1990-an, mulai muncul publikasi-publikasi kecil dan beberapa komunitas yang mempertanyakan isi dari film ini. Ada sebuah pertanyaan menarik yang terlontar dari milis atau grup di internet kala itu, “Jika hanya sebagian kecil dari kepemimpinan PKI dan agen militer mengetahui kudeta seperti di film, bagaimana bisa lebih dari satu juta orang tewas dan ribuan orang harus dipenjarakan, diasingkan, dan kehilangan hak-hak sipil mereka?” Untuk menjawab pertanyaan itu, Sen dan Hill memiliki pendapat yang menarik. Mereka menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa Arifin C. Noer memang telah menyadari maksud pemerintah untuk menjadikan film itu sebagai propaganda. Dengan demikian dia membuat semacam “pesan politik” yang menentang dalam film ini. Akhirnya film ini pun dihentikan seiringan dengan jatuhnya era Orde Baru. Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengatakan film ini tak akan diedarkan lagi, dengan alasan berbau rekayasa sejarah dan pengkultusan Soeharto. Meski menjadi karya paling kontroversial dari Arifin C. Noer, namun dirinya tetap menuai apresiasi dari hasil kerjanya. Hal tersebut terutama dari visualnya yang bisa dibilang mengagumkan. Seperti yang diungkapkan oleh Hanung Bramantyo, “Shot big close-up mulut-mulut sedang diskusi atau menghisap rokok, sangat menohok. Bayangkan saja, di layar besar semua gelap. Hanya mulut yang tampak. It's brilliant.” Selain itu ada pernyataan menarik dari buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup D’etat in Indonesia, karya John Roosa. Menurutnya, film Pengkhianatan G 30 S PKI seolah mengalahkan dirinya sendiri. Karena penggambarannya yang jauh dari kenyataan, yaitu fakta bahwa operasi kudeta ini dipimpin oleh orang-orang yang “keheranan, ragu-ragu, dan tidak terorganisir”. Kini kita semua tahu bagaimana sebuah film ternyata juga bisa memberi pengaruh yang begitu besar. Tak bisa dipungkiri juga bahwa Pengkhianatan G 30 S PKI selalu melekat dalam sejarah perfilman Indonesia. Bagi yang belum tahu, boleh saja menontonnya. Namun kalian juga jangan pernah lupakan apa tujuan utama dari film ini. - Kutu Kasur |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|