30 Maret adalah hari yang bersejarah bagi perfilman Indonesia. Tepatnya pada 30 Maret 1950 adalah hari pertama proses pengambilan gambar untuk film Doa dan Darah yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Film ini adalah film pertama yang diproduksi dan disutradarai oleh orang Indonesia. Oleh karena itu, 30 Maret disepakati sebagai Hari Film Nasional. Terhitung sudah 66 tahun sejak pertama kalinya Usmar Ismail memproduksi Doa dan Darah. Perfilman Indonesia memang mengalami pasang surut, mulai dari terhambat karena masalah politik hingga sulit bersaing dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Meski begitu, perlahan film-film Indonesia kembali bergairah seiring waktunya. Untuk memperingati Hari Film Nasional, kami akan mengulas beberapa film yang memiliki catatan penting dalam perkembangan perfilman Indonesia. Darah dan Doa (1950): Tonggak Awal Perfilman Indonesia Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi) adalah film yang mengisahkan tentang perjalanan panjang (long march) tentara RI dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Film berfokus pada sosok Kapten Sudarto yang memimpin long march tersebut dalam menghadapi segala konflik yang mengiringi sepanjang perjalanan. Sisi humanis dari seorang tentara lebih diangkat disini ketimbang sisi kepahlawanannya. Film Darah dan Doa merupakan film nasional pertama, yang proses syutingnya dianggap sebagai tonggak bersejarah perfilman nasional, sehingga hari pertama syuting film tersebut diabadikan sebagai Hari Perfilman Nasional. Usmar Ismail, sebagai sutradara film tersebut pun disepakati sebagai Bapak Perfilman Nasional. Sebagai trivia, meskipun bukan dengan "image" yang baik, nama Darah dan Doa pun sempat dimasukkan sebagai nama organisasi pergerakan pemberontakan dalam video game multiplatform, Splinter Cell: Pandora Tomorrow. Tidak ada keterangan pasti apakah nama tersebut merujuk pada judul film ini atau hanya pemilihan secara random, namun kemiripan nama menjadi suatu trivia unik mengenai film yang pertama dirilis 66 tahun lalu ini. Ibunda (1968): Film Keluarga Peraih 9 Piala Citra Film "unik" yang memajang sosok tokoh utama dalam judul, namun justru memberi peran yang "abu-abu" (meskipun tetap vital) dalam filmnya. Film ini berkisah mengenai kehidupan keseharian dalam keluarga, lengkap dengan berbagai konfliknya. Sosok ibu di sini tidak menjadi pribadi dominan yang menceritakan tentang "sepak terjangnya" dalam keluarga. Sosok ibu dalam film ini digambarkan sebagai sosok yang menjadi "tempat pulang", poros bagi kehidupan anak-anaknya, serta menjadi sosok netral yang juga menjadi "jalan keluar" bagi semua permasalahan yang dialami putra-putrinya. Hingga kini, film garapan Teguh Karya ini menjadi film dengan perolehan Piala Citra terbanyak, dimana pada tahun 1968, Ibunda berhasil meraih 9 penghargaan dari 16 nominasi yang dikategorikan. Film Ibunda diakhiri dengan kutipan yang cukup menyentuh. Kutipan tersebut ditampilkan sebagai tulisan di akhir film dengan bunyi : "Ibu, buku yang habis kau baca, kini mulai ku baca, baru halaman pertama". Tjoet Nja' Dhien (1988): Mengupas Perjuangan Wanita Diperankan oleh Christine Hakim, film Tjoet Nja' Dhien merupakan drama epos biografi yang menceritakan kisah perjuangan pahlawan nasional Indonesia, Tjoet Nja' Dhien dalam melawan tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh. Peperangan serta perjuangan rakyat Aceh dalam memerangi Belanda kala itu, tercatat sebagai yang terpanjang dalam sejarah Kolonial Hindia Belanda. Tjoet Nja'Dien tidak hanya menceritakan konflik peperangan, namun juga konflik dan kembimbangan yang dialami oleh sang pahlawan sebagai pemimpin. Film ini sempat diajukan untuk masuk ke dalam kategori Best Foreign Movie untuk Academy Award (Oscar) ke-62 pada tahun 1990. Namun belum berhasil lolos dalam pencalonan nominasi. Meskipun begitu, Tjoet Nja' Dhien merupakan film Indonesia pertama yang diputar pada Festival Film Cannes di tahun 1989. Jelangkung (2001): Kebangkitan Perfilman Horror Indonesia Era Modern; "Datang tak Dijemput, Pulang tak Diantar Mengisahkan tentang 4 orang anak muda yang menjadi "pemburu hantu", mereka mengunjungi sebuah makam keramat dengan niat merekam penampakan makhluk halus yang ada di sana. Namun selama tiga hari, tidak ada tanda-tanda akan penampakan tersebut, hingga akhirnya salah satu dari mereka memainkan ritual Jelangkung di atas salah satu makam. Tetap tak ada hasil, selesai ritual tersebut mereka akhirnya pulang. Namun justru tanpa disangka-sangka, kejadian demi kejadian mengerikan menghantui mereka berempat setelah mereka pulang. Hingga akhirnya mereka harus menemukan cara untuk mencabut Jelangkung tersebut dari makam, dan mengakhiri ritual untuk menghentikan seluruh kejadian tersebut. Disutradarai oleh Rizal Mantovani dan Jose Purnomo, film ini awalnya tidak dibuat untuk ditayangkan di bioskop, melainkan untuk ditayangkan di salah satu televisi swasta yang saat itu baru akan mengudara. Namun melihat prospeknya, film ini kemudian diputar di salah satu bioskop di Jakarta. Tanpa diduga, respon masyarakat begitu positif untuk film ini, hingga akhirnya pengusaha pemilik jaringan bioskop 21, Harris Lasmana, membeli hak siar film ini untuk ditayangkan di 25 bioskop yang berada dibawah jaringan 21. Hingga saat ini, Jelangkung masih memegang rekor jumlah penonton film terbanyak di Indonesia dengan total kurang lebih 5,7 juta penonton. Kesuksesan ini membuat Jelangkung seolah menjadi salah satu fondasi bagi kebangkitan film horor di Indonesia. Petualangan Sherina (2000): Geliat dalam Mati Suri Film Indonesia"Dia pikir, dia yang paling hebat. Merasa paling jago, dan paling dahsyat". Siapa anak-anak yang tumbuh besar di era awal milenia tetapi tidak mengenal penggalan lirik tersebut? Derby Romero dan Sherina Munaf mendadak membelalakkan mata (dan juga telinga) penikmat film Tanah Air ketika film musikal Petualangan Sherina dirilis. Film "sederhana" yang menceritakan tentang seorang anak yang mencoba beradaptasi di lingkungan baru karena ayahnya harus dipindah tugaskan, menjelma menjadi sebuah box office nasional pada masanya. Lagu-lagu yang mengiringi adegan sepanjang film ini dengan mudah terputar di kepala para penonton, utamanya anak-anak kala itu. Ide cerita yang mengangkat tema musikal dapat dengan mudah diterima oleh khalayak, dengan teknik pemasaran film yang cukup baik pada masa itu (memajang nama Sherina dalam judul), jadilah film ini sebagai tontonan wajib keluarga. Disutradarai oleh Riri Riza, Petualangan Sherina juga didukung oleh aktor-aktor papan atas tanah air, sebut saja Matias Muchus dan Didi Petet. Untuk ukuran film musikal dengan tema dan pangsa pasar anak-anak juga keluarga, film ini terbilang cukup sukses karena mampu menyedot kurang lebih sekitar 1,6 juta penonton pada saat penayangannya. Film ini seolah menjadi oase bagi keringnya film-film Indonesia kala itu. Janji Joni (2005): Petualangan Absurd ala JoniJanji Joni bercerita mengenai Joni (Nicholas Saputra) seorang pengantar roll film yang tidak pernah telat mengantar roll film antar bioskop. Joni yang telah bekerja sebagai pengantar secara turun-temurun ini bertekad untuk selalu tepat waktu dan dapat diandalkan. Suatu hari saat dia bertemu dengan seorang wanita jelita (Mariana Renata) dan Joni menanyakan namanya. Tapi perempuan itu hanya akan memberitahukannya kalau Joni dapat mengantarkan roll-roll film tepat waktu hingga film yang ditonton tidak putus di tengan jalan. Di sinilah dedikasi Joni sebagai pengantar rol film diuji, satu hari penuh dengan momen-momen random, motornya dicuri, membantu persalinan istri supir taksi, dipaksa menjadi figuran film, tas rol filmnya di jambret, mendadak jadi pemain drum untuk sebuah band audisi, dan momen menarik lainnya. Film yang rilis di 28 April 2005 ini, sukses menyabet 2 penghargaan dalam Festival Film Indonesia 2005 dalam kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Gito Rollies) & Penyuntingan Terbaik (Yoga Krispratama). Ada Apa dengan Cinta? (2002): "Ressurection Totem" Perfilman Indonesia Sebelum Cinta dan Rangga mengharu biru sebagai pasangan idola baru remaja Nusantara pada eranya, fakta bahwa perfilman Indonesia berada dalam fase "mati enggan hidup pun tak mau" kala itu tidak bisa dipungkiri. Tekanan dan serbuan film-film Hollywood serta keraguan akan kualitas film nasional saat itu yang masih belum mampu "tampil", menjadi momok besar yang membuat para sineas mungkin berpikir berkali-kali untuk memproduksi sebuah karya. Hingga datanglah Ada Apa Dengan Cinta? lewat tangan dingin Rudy Soedjarwo. Mengangkat cerita klise percintaan remaja SMA, AADC? justru membawa tayangan yang segar dan menghibur karena kedekatan ceritanya dengan realita sehari-hari. Ada Apa Dengan Cinta? seolah menjadi totem yang mengumpulkan kembali segenap roh perfilman nasional yang sempat mengambang dan terombang-ambing tak tentu arah. Gairah masyarakat untuk datang ke bioskop dan menyaksikan kembali film Indonesia mulai terpupuk kembali dengan adanya Ada Apa Dengan Cinta?. Kepopuleran AADC? serta euforianya bahkan masih terasa hingga kini, dan akhirnya Miles Production menggarap sekuel film fenomenal ini untuk ditayangkan pada 28 April mendatang. Dibalik purnama yang selalu ditunggu Cinta dan Rangga, justru merekalah purnama bagi film Indonesia yang kala itu gelap gulita. Keramat (2009): Shooting Berbuntut PetakaKeramat merupakan film horror karya sutradara Monty Tiwa. Film ini mengangkat kisah mengenai sekelompok kru film yang melakukan pra shooting di daerah Yogyakarta sebelum tragedi gempa Bantul terjadi. Melibatkan tim behind the scene, seluruh acara dan kegiatan tim tersebut selama melakukan kegiatan disana direkam. Disinilah film Keramat menjadi berbeda dengan film horror Indonesia yang lain. Monty Tiwa sang sutradara menggunakan teknik found footage untuk mengambil gambar film ini. Karena sifatnya yang seolah-olah dokumenter, film ini mengalir apa adanya. Selain itu film ini pun dibuat tanpa skenario sehingga segala sesuatunya diarahkan langsung oleh Monty Tiwa, sang sutradara yang juga turut berperan sebagai juru kamera bernama Cungkring. Proses pengambilan gambar tanpa skenario tersebut berbuah manis, hal ini membuat atmosfer ketika menyaksikan Keramat terasa nyata, terlebih ketika film memasuki bagian tengah hingga akhir cerita, yaitu saat hal-hal mistis mulai banyak tertangkap dalam kamera. Sebagai salah satu pemrakarsa film Indonesia dengan teknik pengambilan gambar secara found footage, Keramat membawa pengalaman tersendiri saat kita menyaksikannya. Rumah Dara (2010): "Texas Chainsaw Massacre" ala Indonesia Pecinta film dengan genre slasher pastilah dibuat orgasme oleh Mo Brothers lewat film karya mereka yang satu ini. Mengambil setting di sebuah rumah yang seolah terisolir, film ini menceritakan sekelompok orang yang berada pada situasi wrong place, wrong time ketika salah satu dari mereka membujuk untuk mengantar seorang gadis pulang ke rumahnya yang berlokasi di tempat yang cukup asing. Setibanya di rumah tersebut, tiba pulalah teror yang menghantui mereka ketika mereka sadar bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kanibal. Akting dari Shareefa Daanish patut diacungi jempol dalam film ini. Berperan sebagai Dara, Shareefa mampu menghadirkan kengerian seorang psikopat pemakan manusia. Rumah Dara merupakan pelopor film dengan genre slasher. Karena film dengan genre ini belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Film ini pun didistribusikan ke luar negeri dengan judul Macabre, dan berhasil mendapat apresiasi yang cukup baik dari para penonton dan kritikus. The Raid: Redemption (2011): A Beautiful ChaosThe Raid memang bukan 100% film anak bangsa, karena disutradarai oleh Gareth Evans, pria berkebangsaan Wales. Namun ini tidak serta merta mengubur fakta bahwa The Raid merupakan salah satu milestone dalam perfilman Indonesia. Ketika film lokal dilanda kejenuhan dengan genre cinta dan horor berbalut komedi "dada dan paha", Gareth Evans menyajikan The Raid sebagai pelipur dahaga. Film yang mengangkat beladiri pencak silat ke kasta yang tinggi ini berhasil menyihir, bukan hanya khalayak film Indonesia, tapi juga mancanegara. Film ini sempat menduduki peringkat 11 di box office internasional. Keistimewaan dari film ini tidak lain adalah adegan laganya yang amat intens dan breathtaking. Kemampuan pencak silat dari Iko Uwais betul-betul diperagakan dengan sempurna di film ini. Teknik pengambilan gambar dengan pemanfaatan ruang sempit pun dilakukan Evans dengan cukup baik, dengan setting tempat yang "terbatas", film ini mampu mengepakkan sayap melampaui batas. Bahkan berkat film ini, beberapa aktornya seperti Iko Uwais dan Joe Taslim, berkesempatan untuk turut andil dalam beberapa film box office Hollywood. Dibalik filmnya yang penuh dengan chaos, The Raid menghadirkan keindahan tersendiri, baik bagi kru dan pemerannya, maupun bagi perfilman Indonesia. Laskar Pelangi (2008): Perjuangan dalam Keterbatasan Film adaptasi novel karya Andrea Hirata ini bercerita tentang sekelompok anak dari sekolah SD Muhammadiyah di daerah Belitung, yang memiliki cita-cita dan mimpi besar walaupun dalam keterbatasan. Sebuah cerita sederhana dengan sisi humanis yang begitu nyata karena mengandung nilai-nilai moral yang bisa menjadi contoh untuk para generasi muda penerus bangsa. Film yang disutradarai oleh Riri Riza dan ditulis Salman Aristo ini, berhasil tercatat sebagai salah satu film terlaris Indonesia dengan jumlah 4,6 juta penonton. Hebatnya film ini banyak memenangkan penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Laskar Pelangi tak hanya memikat dari segi cerita, tapi juga membuka mata para penontonnya akan keindahan alam yang dimiliki oleh Belitung. Berkat film ini, pamor Belitung jauh melesat dan mendongkrak sisi pariwisata provinsi Bangka Belitung. Poin ini bisa sebagai contoh bagaimana film bisa memiliki efek yang luar biasa. Apabila dipikir kembali, hal seperti ini bisa membantu memperkenalkan Indonesia lebih jauh ke khalayak luar, karena semenjak beberapa tahun terakhir, film-film Indonesia mulai dilirik oleh mancanegara. Ironisnya dalam beberapa tahun terakhir, banyak film Indonesia yang mulai memakai setting dan pengambilan gambar di luar negeri. Parahnya, hal itu seolah menjamur hingga kini. Berdoa saja, jangan sampai hal seperti ini membuat kita kembali ke masa jenuh. ***** Ya, itulah beberapa film yang memiliki pengaruh dalam perkembangan perfilman Indonesia. Oh ya, jangan salah, sebenarnya di luar daftar ini, masih banyak film yang juga tak kalah pentingnya.
Maju terus perfilman Indonesia! - Kutu Film
0 Comments
“Tell me, do you spend time with your family?” “Sure I do”. “Good. Because a man who doesn’t spend time with his famliy can never be a real man”. Percakapan di atas terjadi antara Vito Corleone dengan Johnny Fontaine di film The Godfather. Kalimat terakhir dari kutipan di atas adalah salah satu yang paling terkenal dan diingat oleh banyak orang selain “I’m gonna make him an offer he can’t refuse”. Sejak pertama kali menonton film tentang lika-liku kehidupan mafia Corleone, kutipan di atas masih membekas hingga kini. Tak hanya itu, ketika mendengar, membaca, atau teringat kata-kata tersebut selalu ada bayangan seorang Marlon Brando di kepala. The Godfather yang disutradarai oleh Francis Ford Coppola ini memang dikenal luas di seluruh dunia. Bahkan seperti ada aturan tak tertulis kalau film ini adalah “film wajib tonton” hingga kini. Dari sinilah nama Marlon Brando mulai mendunia. Penampilannya di film ini begitu khas sehingga ketika melihat gambar atau foto wajah Brando, nama Vito Corleone langsung teringat. Sejak melakukan debut di layar lebar melalui film The Men (1950), Brando adalah salah satu aktor yang telah diakui oleh banyak pihak sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia perfilman. Dia masuk ke dalam daftar American screen legend versi American Film Institut yang dirilis pada 1999, menempati peringkat ke-4 di bawah Humphrey Bogart, Cary Grant, dan James Stewart. Bahkan Brando juga menjadi bagian dalam Time 100: The Most Important People of the Century oleh majalah TIME. Variety pun memasukan namanya ke dalam Icons of the Century. Sepanjang karirnya, pria yang lahir 3 April 1924 ini sudah membintangi lebih dari 40 judul film. Debutnya di dunia film hadir pada 1950 dengan film drama, The Men. Namanya mulai dikenal saat dia berperan sebagai Stanley Kowalski di film keduanya, A Streetcar Named Desire tahun 1951. Ia masuk ke dalam nominasi Oscar kategori aktor terbaik tapi kalah dari Humphrey Bogart dengan African Queen-nya. Sejak itulah Marlon Brando mulai meramaikan era keemasan Hollywood. Kemampuan akting seorang Marlon Brando semakin diakui di tahun-tahun berikutnya. Tercatat dia masuk ke dalam nominasi Academy Awards secara beruntun hingga 1955. Dari tiga kesempatan lainnya, dia berhasil memenangkan Oscar pertamanya melalui film On the Waterfront, film keluaran 1954. Dua kesempatan lainnya melalui Viva Zapata! dan Julius Caesar, Brando hanya masuk ke nominasi kategori aktor terbaik. Dia juga kembali masuk nominasi tahun 1958 lewat film Sayonara. Sayangnya, setelah melewati enam film pertamanya, Marlon seperti kesulitan mempertahankan performa di film-film berikutnya. Meski tetap menjadi salah satu aktor yang dinanti, Brando seolah berada dalam bayang-bayang kesuksesannya. Kritik pun berdatangan, sebagian besar melihat bahwa pria kelahiran Omaha ini melakukan pekerjaannya dengan setengah hati. Maka dari itu, gaungnya sempat hilang di beberapa ajang penghargaan besar. Sekitar tahun 1963 hingga 1971, Brando menyetujui kontrak dengan Universal Studios untuk berperan di lima judul film. Namun, di era inilah karir seni peran seorang Marlon Brando terjun bebas. Dari semua film yang dibintanginya saat itu, The Ugly American, Bedtime Story, The Apaloosa, A Countess from Hong Kong, dan The Night Following Day mendapat kritik tajam dan gagal secara finansial. Titik balik karir Marlon Brando hadir pada tahun 1972, yaitu saat dirinya berperan sebagai Vito Corleone di The Godfather. Saat itu, Francis Coppola dan kepala produksi Paramount Pictures, Robert Evans sempat mempertimbangkan nama Laurence Olivier untuk berada di filmnya. Namun akhirnya semua, termasuk Mario Puzo yang bertindak sebagai penulis setuju untuk memberi peran pada Marlon Brando. Akhirnya, Brando bisa membawa film The Godfather melambung tinggi jauh dari perkiraan banyak orang. The Godfather sukses memikat hati para insan film di Amerika, terbukti dari raihan 11 nominasi Academy Awards. Brando pun kembali hadir menghiasi Oscar dengan memenangkan aktor terbaik. Bahkan, seperti yang telah disebutkan di awal tulisan, film ini menjadi penanda sukses seorang Marlon Brando. Karirnya memang nak turun setelah tampil di The Godfather. Setahun setelah menjadi Don Corleone, Marlon kembali masuk nominasi Oscar aktor terbaik lewat Ultimo Tango a Parigi (Last Tango in Paris). Butuh waktu lama hingga ia kembali masuk nominasi Academy Awards. Tahun 1990, namanya kembali dengan film A Dry White Season, film drama-thriller karya sutradara Euzhan Palacy. Kemampuan akting seorang Marlon Brando memang telah terlihat sejak ia masih anak-anak. Beberapa orang terdekatnya mengatakan bahwa dia memiliki kemampuan untuk menirukan sesuatu atau seseorang, atau sering disebut mimic. Dia bisa menirukan perangai anak-anak lain dan menampilkannya secara dramatis. Brando juga dikenal memiliki pandangan berbeda dan sisi realisme yang tinggi dalam berperan.
Ada cerita unik ketika dia mempelajari seni peran di American Theater Wing Professional School. Stella Adler, mentor Brando saat itu, meminta anak asuhnya untuk berakting seperti ayam, dia menambahkan situasi dengan memberi tahu bahwa akan ada bom nuklir yang akan jatuh. Alhasil, seluruh murid berkokok dan lari kocar-kacir. Namun hanya Brando yang duduk tenang dan berpura-pura sedang mengerami telur. Adler bertanya mengapa dia bereaksi seperti itu, dan Brando menjawab, “I’m a chicken. What do I know about bombs?” Brando juga dikenal sebagai orang yang berperan dalam memberi contoh tentang Stanislavski system of acting. Sistem Stanislavski adalah sebuah pengembangan teknik untuk melatih aktor dan aktris. Tujuannya adalah untuk membentuk karakter yang benar-benar meyakinkan. Sistem ini berfokus pada melatih seseorang dalam mengontrol suatu kinerja yang tak terlihat dan aspek tingkah laku manusia yang sulit dikendalikan, contohnya adalah emosi dan kepekaan pada seni. Karir akting Marlon Brando berakhir dengan The Score, film pertama dan terakhir dirinya berada dalam satu layar dengan Robert De Niro. Di akhir masa hidupnya, Brando mengalami kesulitan dalam mengendalikan berat badan hingga mengalami obesitas. Selain itu dia juga didiagnosis mengidap dua tipe diabetes dan pneumonia. 1 Juli 2004, Marlon Brando menghembuskan nafas terakhirnya di UCLA Medical Center. Dia mengalami kegagalan sistem pernapasan. Brando tidak dimakamkan melainkan dikremasi. Abunya disimpan oleh dua orang sahabat kecilnya, Wally Cox dan Sam Gilman. Marlon Brando. Salah satu aktor terhebat yang pernah ada di dunia. Hingga kini, semua perjuangan, inovasi, dan karyanya tetap menjadi contoh dan panutan di ranah film dan seni peran. Bagaimana Kawan Kutu, do you spend time with your family? - Kutu Kasur “Genre film apa yang paling disukai?” Setiap ada yang memberi pertanyaan seperti ini, saya selalu bingung untuk menjawabnya. Memang pada akhirnya terjawab juga, tapi tak selalu sama. Namun yang teringat adalah saya paling sering menjawabnya dengan genre action, crime, thriller. Entah, mungkin karena memang sebenarnya suka genre tersebut apa hanya karena sering menonton film-filmnya saja. Pertanyaan semacam itu sebenarnya muncul kembali beberapa waktu lalu. Masalahnya, yang bertanya bukan orang lain, melainkan muncul dari diri sendiri. Hal ini terjadi setelah saya menonton film London Has Fallen. Bagi yang sudah menonton pasti tahu bahwa film ini memenuhi untuk masuk dalam ketiga genre yang telah disebutkan tadi. Singkatnya, London Has Fallen memiliki banyak adegan laga, premis ceritanya adalah serangan teroris skala besar, dan memiliki unsur yang menegangkan karena menyangkut hidup dan mati. Gamblangnya, film ini bergenre action, crime, thriller yang notabene adalah film yang sering saya saksikan. Namun kenapa baru kali ini pertanyaan itu muncul padahal saya sudah puluhan film menonton film serupa? Memang sejak awal tak ada ekspektasi apapun pada film garapan sutradara Babak Najafi ini. Hanya saja, film Olympus Has Fallen cukup menarik untuk disaksikan. Maka dari itu saya putuskan untuk menyaksikan kelanjutannya. Sayang, saya malah gagal terhibur dengan London Has Fallen. Rasanya cukup banyak faktor yang patut diperhatikan di film ini. Narasi yang Membosankan Dalam suatu film, penulisan naskah cerita menjadi bagian yang krusial. Mengapa? Karena dari sinilah sebuah film dibentuk. Semua ide akan dituangkan dalam sebuah tulisan. Ada dua elemen penting dalam membuat sebuah naskah film, yaitu cerita dan karakter, keduanya harus imbang. Karena akan percuma jika sebuah film memiliki ide cerita yang menarik tapi tanpa pembentukan karakter yang kuat dan sebaliknya. Nah pada London Has Fallen, kedua elemen tersebut berjalan kurang baik. Baik dari segi cerita dan karakter tak memiliki kesan yang dalam. Untuk cerita, masalahnya adalah bahwa film ini masih memiliki struktur yang mirip dengan Olympus Has Fallen. Para pemimpin negara diserang, seorang agen muncul, selanjutnya ya dia berhasil menyelamatkan sang presiden. Saya tak bisa menyalahkan ide para penulis. Yang patut diperhatikan adalah bagaimana narasi yang dihasilkan. Sah saja sebuah film, apalagi kita sedang berbicara tentang sekuel, memiliki struktur yang mirip. Toh, hasilnya bisa jauh berbeda. Namun yang hadir di London Has Fallen, narasinya malah hadir secara membosankan. Kejadian teror beruntun, aksi kejar-kejaran, baku tembak yang seolah tak pernah henti menjadi kurang padu karena cerita yang tipis dan minim unsur kejutan. Alhasil, kita menjadi bosan melihat adegan laga yang beruntun sepanjang film. Lebih tepatnya lelah. Jalan cerita yang mudah ditebak pun menjadi kelemahan lain dari penulisan yang kurang dalam. Ingat, kehadiran plot twist bukanlah jaminan bahwa sebuah film menjadi lebih baik. Ini terbukti dari banyaknya film dengan ide cerita sederhana bisa dengan mudah menghibur tanpa mengecewakan penonton. Kasarnya seperti ini, sebenarnya kita sudah tahu akan seperti apa akhir filmnya, tetapi kita tetap ingin menyaksikan keseluruhan film. Untuk pengembangan karakter, selain Mike Banning (Gerard Butler) dan Benjamin Asher (Aaron Eckhart) tak diberi porsi yang lebih. Bahkan Aamir Barkawi (Alon Aboutboul) sebagai otak dari terror di London alias antagonis di luar dugaan memiliki waktu yang sedikit untuk tampil. Akibatnya, cerita yang dibangun tak bisa berdiri kokoh. Bahkan di akhir film saya sempat terheran dan berkata, “Begini doang nih filmnya?” Terlalu Banyak Adegan Aksi (?) Film ini memang memberikan sebagian besar waktunya di adegan laga. Sebagai orang yang gemar film action tentu saya menikmati adegan-adegan laga. Namun permasalahan cerita sejak awal menjadikan aksi-aksi yang ditampilkan seolah terlalu banyak seperti yang telah disebutkan di atas. Dengan porsi yang pas, harusnya adegan laga bisa hadir tanpa mengganggu jalannya cerita. Coba lihat film-film seperti Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000) atau mungkin yang lebih familiar seperti The Raid (2011) dan Mad Max: Fury Road (2015). Mereka hadir dengan adegan laga yang banyak tapi kita tetap bisa menikmati plot yang disajikan hingga film usai. Hollywood's Political Awareness
Ada satu hal yang menarik disamping segala kekurangan pada London Has Fallen, yaitu political awareness. Ya setelah diperhatikan, Hollywood memang gemar merangkul isu-isu yang sering menjadi masalah dan kritik ke dalam film-filmnya. Semacam “mencari suara” agar filmnya terus ditonton oleh banyak orang. Ada dua hal yang akhir-akhir ini semakin gencar ditonjolkan oleh Hollywood, gender dan ras. Selama beberapa tahun ke belakang, porsi untuk wanita dan aktor berkulit gelap diberi lebih banyak. Mudah saja, mulai banyak film yang menggunakan wanita atau aktor berkulit gelap menjadi tokoh utama. Contoh nyatanya adalah Star Wars: The Force Awakens. Yang berbeda dari London Has Fallen adalah film ini seolah tak mengikuti tren tersebut. Tak ada wanita maupun orang dengan kulit berwarna yang menjadi tokoh utama. Coba diingat kembali cerita film ini, yang ditonjolkan adalah serangan teroris dari Timur Tengah terhadap presiden Amerika Serikat. Ya, menjadikan orang dengan ras tertentu berperan sebagai antagonis adalah melawan political awareness yang dibangun Hollywood. Kenyataan bahwa Obama menjadi pemimpin AS juga tak membuat film ini semerta-merta menggunakan aktor berkulit gelap menjadi presiden. Ini yang membuat saya tertarik, tepatnya lebih ke penasaran. Apa mereka memang sengaja tak mengikuti tren yang ada atau memang mereka ingin “tampil beda” saja. Atau mereka sengaja melakukannya untuk menyindir, ya siapa tahu. Jadi, saya terpikir kembali tentang “genre film apa yang paling disukai?” Jawabannya, bisa action, bisa juga drama, komedi, ya tergantung apa yang baru saja saya tonton. Nah, kalau ada yang bertanya setelah menonton London Has Fallen, apa benar film bergenre action, crime, thriller adalah favorit saya? Jawabannya tidak. PS: Sebenarnya saya tak ingin memberi rating untuk London Has Fallen, tapi karena harus, ya sudahlah. Rating: D - Kutu Kasur Ada yang menarik perhatian saya ketika membaca judul film ini. Selain termasuk panjang, kata peculiar seakan menjadi daya tarik yang lain. Kasarnya, ya kan masih ada kata selain peculiar untuk situasi yang digambarkan. Namun, ketika lihat trailernya, rasanya saya mengerti mengapa pemilihan kata peculiar ini menjadi sesuatu yang pas. Bagaimana Kawan Kutu sudah menonton trailernya? Trailernya cukup menggoda dengan setting yang "fantasi banget". Oh ya, untuk yang belum tahu, film ini diadaptasi dari novel tahun 2011 karya Ransom Riggs dengan judul yang sama. Bukunya mendapat respon yang baik dengan menjadi best seller selama total 63 minggu menurut The New York Times Best Seller.
Film ini disutradarai oleh Tim Burton yang terkenal dengan salah satu ciri khasnya dalam memberi sentuhan fantasi dalam karyanya. Ya seperti yang terlihat pada film-film terdahulunya seperti Edward Scissorhands (1990), Charlie and the Chocolate Factory (2005), atau Alice in Wonderland (2010). Selain itu ada satu lagi ciri khas Burton, yaitu tema dark gothic yang sangat kental. Nah, apakah film tentang peculiar children ini menjadi lebih gothic dari yang terlihat di trailer? Miss Peregrine's Home for Peculiar Children dibintangi oleh Asa Butterfield, Eva Green, Samuel L. Jackson, dan Chris O'Dowd. Film ini akan rilis pada September mendatang. Kawan Kutu penggemar film fantasi, jangan sampai terlewat! - Kutu Kasur Bagaimana jadinya jika bahan-bahan makanan dibuat seolah-olah hidup seperti pada film Toy Story? Dalam film ini, Frank, yang berupa sosis, dan beberapa bahan makanan lainnya selalu bermimpi untuk dipilih untuk dibeli oleh manusia dari supermarket. Namun, yang mereka tak tahu adalah apa yang akan terjadi pada bahan makanan ketika manusia membelinya. Daripada penasaran, Kawan Kutu bisa lihat trailernya di bawah ini: Sausage Party disutradarai oleh Greg Tiernan dan Conrad Vernon. Keduanya memang sudah lama berkecimpung dalam dunia film animasi. Film ini ditulis oleh Kyle Hunter, Ariel Shaffir, Evan Goldberg, dan Seth Rogen. Ini adalah film animasi pertama Rogen sebagai penulis cerita.
Film yang diproduksi oleh Sony Pictures, Point Grey Pictures, dan Annapurna Pictures ini akan menampilkan Seth Rogen sebagai pengisi suara Frank. Selain itu masih ada juga nama-nama seperti Kristen Wiig, Jonah Hill, Bill Harder, dan Michael Cera. Sausage Party adalah film animasi pertama dengan rating R. Untuk yang belum tahu, rating R adalah salah satu label yang digunakan oleh MPAA (Motion Pictures Association of America). R artinya restricted atau terbatas. Ya film rating R boleh ditonton oleh orang yang berusia di bawah 17 tahun dengan catatan didampingi dan dibimbing oleh orang tua atau orang yang lebih tua. Sausage Party akan mulai rilis pada Agustus 2016 mendatang. - Kutu Kasur |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|