Ada hal miris yang terlihat dari perfilman Indonesia pada bulan Juni lalu. Ya, lagi-lagi film-film Indonesia harus mengalah dengan berbagai film Hollywood.
Mengalah yang saya maksud adalah dalam hal jadwal tayang di bioskop. Seperti yang kita tahu, bulan Juni adalah waktu di mana studio-studio besar Hollywood akan menayangkan film-film “terbaiknya”. Salah satu alasannya adalah di Amerika dan Eropa, Juni memang identik dengan awal musim panas dan menjadi periode liburan. Maka wajar saja jika berbagai studio bersikeras untuk bersaing meraup keuntungan besar di bulan Juni. Jika melihat film-film Hollywood yang hadir di Indonesia pada Juni lalu, memang agak sulit untuk membayangkan film Indonesia bisa unggul atau bahkan sekadar memberi perlawanan. Kita pun tentu masih ingat bagaimana bioskop-bioskop yang isinya hanya Wonder Woman atau Transformers: The Last Knight. Belum lagi masih ada beberapa judul lain seperti Pirates of the Carribean: Salazar’s Revenge, The Lost City of Z, dan The Mummy yang masih turut meramaikan. Film Indonesia pun akhirnya secara total hanya menghadirkan 5 judul film selama bulan Juni. Mereka adalah Mantan, Surat Kecil untuk Tuhan, Sweet 20, Insya Allah, Sah!, dan Jailangkung. Ironisnya, dari lima judul film tersebut, empat di antaranya dirilis pada tanggal yang sama, yaitu 25 Juni atau bertepatan dengan Idul Fitri. Dari lima film, hanya Mantan yang berbeda tanggal rilisnya. Film yang disutradarai oleh Svetlana Dea itu rilis pada 8 Juni. Tentu sang produser sendiri paham betul risiko yang akan dihadapi apabila bersikukuh merilis di tanggal tersebut. Gandhi Fernando, sang aktor yang juga bertindak sebagai produser, sadar bahwa secara otomatis film Mantan akan berhadapan langsung dengan film-film besar Hollywood. Keputusan itu diakuinya bukan hanya modal nekad saja. Pria jebolan New York Film Academy tersebut pernah mengungkapkan pada tabloid Bintang, “Saya sudah punya rencana merilis film-film lain di semester kedua 2017, seperti Zodiac: Apa Bintangmu, Dongeng Mistis, dan Visionary. Jika Mantan diundur hingga Agustus, misalnya, maka jadwal rilis film-film tadi otomatis juga mundur hingga awal tahun depan.” Hasilnya, film Mantan mau tak mau bersaing langsung dengan Wonder Woman yang merajai bioskop Indonesia. Belum lagi masih ada Pirates of the Caribbean dan The Mummy. Film yang diproduksi oleh Renee Pictures tersebut juga akhirnya hanya menarik sekitar 21 ribu penonton saja. Bisa dibilang, hadirnya film Indonesia di bulan Juni sangat terbantu dengan bertepatannya Idul Fitri 1438 H. Pasalnya, di Indonesia sendiri Idul Fitri menjadi hal unik bagi perfilman nasional. Dengan hadirnya masa liburan, biasanya momen ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang untuk ke bioskop sebagai alternatif hiburan. Hal tersebut memang berpengaruh terhadap jumlah penonton yang hadir. Bahkan pada tahun 2016 lalu, dua “film lebaran” yang hadir di awal Juli, berhasil menembus satu juta penonton, yaitu Koala Kumal dan ILY form 38.000 Ft. Belum lagi film Sabtu Bersama Bapak dan Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea juga menarik banyak perhatian. Untuk di bulan Juni 2017, hingga tulisan ini dibuat, total penonton film-film Indonesia mencapai angka 2.896.841. Angka yang jauh dari kesan buruk menurut saya. Di antara kelima film tersebut, Jailangkung yang paling laris dengan 1.406.556 penonton. Ya, angka ini masih akan terus bertambah setidaknya sebelum bioskop dijajah oleh Spider-Man: Homecoming hari Rabu besok. Lalu bagaimana dengan potensi film-film Indonesia di bulan Juli ini? Tentu kita tak ingin paceklik terjadi lagi pada film Indonesia. Dari segi jumlah, kali ini meningkat satu judul dibanding Juni lalu. Ada 6 film yang siap menemani selama Juli ini, mereka adalah Bukan Cinta Malaikat, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody, Mars Met Venus (Part Cewek), The Doll 2, Petak Umpet Minako, dan TEN: The Secret Mission. Selain itu, yang menyenangkan adalah kemungkinan besar jadwal perilisan akan kembali pada tiap hari Kamis. Ya, terkecuali untuk tanggal 6 nanti, tidak akan ada film Indonesia terbaru yang hadir. Hal ini adalah strategi yang tepat dari para studio. Pasalnya, memilih waktu tayang hanya sehari berselang setelah Spider-Man: Homecoming muncul, sama saja dengan bunuh diri. Jadi, film Indonesia yang baru akan hadir mulai 13 Juli nanti. Dari deretan judul di atas, bulan Juli ini memang menarik. Alasannya karena film-film tersebut berasal dari berbagai genre. Ada drama, komedi, horor, hingga film laga. Secara sekilas, kemungkinan besar Filosofi Kopi 2: Ben & Jody akan menarik banyak perhatian jika dibandingkan dengan yang lain. Filosofi Kopi 2: Ben & Jody garapan Angga Dwimas Sasongko ini adalah film yang terinspirasi dari cerita karangan Dewi Lestari dengan judul yang sama. Yang membuatnya berbeda adalah di film yang kembali dibintangi oleh Chicco Jerikho dan Rio Dewanto ini menyajikan cerita yang berdiri sendiri. Seperti yang diungkapkan Dee, “Mereka hanya memakai karakter Ben dan Jody dari cerpen saya. Sementara dari segi cerita murni hasil pengembangan para penulis naskah film.” Film tersebut juga semakin menarik dengan hadirnya karakter wanita Brie dan Tarra, yang masing-masing akan diperankan oleh Nadine Alexandra serta Luna Maya. Selain itu, film yang unik adalah Mars Met Venus (Part Cewek). Film garapan Hadrah Daeng Ratu tersebut mengingatkan pada The Disappearance of Eleanor Rigby. Film yang rilis pada 2013 tersebut juga memiliki tiga bagian, ‘Him’, ‘Her’, dan ‘Them’. ‘Him’ dan ‘Her’ bercerita dari sudut pandang masing-masing individu, sedangkan ‘Them’ yang dirilis satu tahu kemudian adalah versi yang telah diedit dari kedua film sebelumnya. Yang berbeda adalah cerita Mars Met Venus memuat unsur komedi dan dirilis dalam waktu yang berbeda. Sedangkan The Disappearance of Eleanor Rigby ditayangkan dalam waktu yang bersamaan. Ya, film drama komedi yang dibintangi oleh Ge Pamungkas dan Pamela Bowie tersebut tentunya menarik untuk dipantau. Bulan Juli ini juga hadir film dari sutradara Billy Cristian, yaitu Petak Umpet Minako. Sosok yang mencuri perhatian dari film Tuyul Part 1 dan Rumah Malaikat ini kembali menggarap film horor. Film ini adalah adaptasi dari cerita yang dikarang oleh penulis wattpad @manhalfgod. Billy menyatakan bahwa film Petak Umpet Minako tak hanya sekadar horor semata, “Film ini tak cuma menawarkan kisah horor saja tapi ada kontennya. Ini gambaran anak muda sekarang yang peduli dengan cita-cita mereka. Intinya film ini tentang persahabatan, cinta, dan cita-cita. Saya akan berusaha setia dengan versi novelnya karena tidak mau elemen-elemen yang membuat menarik itu hilang. Tapi novel dan film itu beda, jadi pasti ada yang harus disesuaikan. Kalau di persentasi ya 80% filmnya akan sama dengan novelnya." **** Ya, film Indonesia di bulan Juli memang menarik. Berasal dari berbagai genre dengan keunikan dan potensinya masing-masing, tentu film-film tersebut akan memberi alternatif pilihan tontonan bagi kita. Namun tetap harus diingat, bahwa bulan Juli akan ada saingan berat dari film-film Hollywood. Selain Spider-Man: Homecoming, masih ada karya Christoper Nolan, Dunkirk. Lalu jangan lupakan War for the Planet of the Apes dan Valerian and the City of a Thousand Planets. Meski berat, harapan saya sih sederhana saja sebenarnya, semoga film Indonesia bisa memberi perlawanan di bioskop nantinya. Ya, dan mengembalikan ketertarikan saya untuk ke bioskop. Terutama setelah beberapa minggu lalu bioskop hanya diisi oleh Transformers: The Last Knight. Sumber: Beritagar, Bintang, FilmIndonesia, dan 21cineplex - Kutu Kasur
0 Comments
Tepat 42 tahun lalu, Steven Spielberg menggebrak Hollywood dengan film thriller berjudul Jaws. Diiringi dengan lantunan nada yang kini dikenal dengan “shark theme”, Jaws juga menjadi pembuka “summer blockbuster” di tahun 1975.
Dibuat berdasarkan buku karya Peter Benchley, kisah Jaws menggunakan latar suatu daerah yang dikenal dengan Amity Island. Tempat di mana Martin Brody (diperankan oleh Roy Shceider) menduga bahwa serangan hiu kemungkinan menjadi penyebab dari terbunuhnya seorang wanita muda. Pihak kota pun ingin menutupi ancaman tersebut karena dirasa berbahaya untuk sisi pariwisata. Namun serangan-serangan lainnya membuat Brody tak tinggal diam. Dia pun meminta bantuan ahli biologi, Matt Hooper (Richard Dreyfuss) dan seorang pemburu hiu, Quint (Robert Shaw) untuk menangkap makhluk berbahaya, yang ternyata adalah sebuah hiu yang sangat besar. Produser Richard Zanuck dan David Brown pada saat itu memutuskan untuk bekerja sama dengan Spielberg. Sebelumnya mereka juga bekerja sama di film panjang kedua Steven, The Sugarland Express (1974). Proses pengambilan gambar dilakukan di Martha’s Vineyard, sebuah pulau kecil di selatan Cape Cod, Massachussets. Karena berbagai hal, proses rekaman menjadi lebih lama dari yang direncanakan, hingga akhirnya membuat film ini mengeluarkan biaya hingga 8 juta dollar, atau dua kali lipatnya. Menurut artikel yang dimuat majalah TIME, pihak Universal sendiri sering mengancam untuk mengakhiri produksi Jaws. Bahkan tak hanya itu, mereka juga menyarankan untuk meletakkan “Bruce”-robot hiu yang digunakan untuk film-sebagai salah satu bagian dari tur Universal City. Namun, Universal sendiri akhirnya menawarkan opsi untuk menayangkan film ini secara luas, ketimbang memulainya dari beberapa teater saja. Hasilnya, saat itu Jaws berhasil dirilis ke 500 layar di seluruh negeri, angka yang cukup besar kala itu. Biaya pemasaran di televisi yang mencapai 700 ribu dollar pun terbayarkan dengan raihan 7 juta dollar di minggu pertama penayangannya. Selain berhasil menerima respon positif dari para jurnalis dan kritikus, Jaws juga berperan penting dalam mengubah peta perilisan film-film Hollywood. Pada saat itu, atau lebih tepatnya sebelum Jaws rilis, para produser dan studio menganggap bahwa musim panas adalah waktu yang lebih tepat untuk merilis film-film yang “lemah”. Jaws juga menyadarkan banyak pihak bahwa memasarkan sebuah film secara masif bisa membantu meningkatkan penghasilan. Ya, seperti yang telah disebutkan di atas, Jaws adalah film pembuka “summer blockbuster”. Secara total, Jaws berhasil meraup pendapatan hingga 460,7 juta dollar. Selain itu, film ini juga menandakan bahwa Steven Spielberg bukanlah kreator film sembarangan. - Kutu Kasur Bisa dibilang, Roger adalah sosok penting dalam dunia perfilman. Ya, ia berhasil mempopulerkan kritik tentang suatu film pada masyarakat luas. Tak hanya melalui tulisan-tulisannya, tetapi juga lewat program-program ulasan film di televisi.
Roger Ebert memulai karier profesionalnya pada tahun 1966, sebagai wartawan dan penulis berita khas (feature) di Chicago Sun-Times. Ketertarikannya pada film akhirnya membawanya untuk mengunjungi set Camelot (1967), film yang dibintangi oleh Richard Harris sebagai King Arthur dan Vanessa Redgrave yang berperan sebagai Queen Guinevere. Pada musim semi tahun 1967, Ebert mulai dipercaya sebagai kritikus film di Sun-Times, untuk menggantikan Eleanor Keane yang mundur dari kantor berita tersebut. Review pertama Ebert adalah Galia (1966), salah satu film dari generasi French New Wave. Tahun 1975, Ebert menjadi kritikus film pertama yang berhasil memenangkan Pulitzer Prize for Criticism. Pulitzer adalah penghargaan bergengsi yang dianugerahkan pada para pelaku jurnalistik di Amerika Serikat. Penghargaan Pulitzer Prize for Criticism sendiri baru hadir sejak tahun 1970. Selain meraih penghargaan, di tahun yang sama Ebert mulai merambah ke televisi. Dia bekerja sama dengan Gene Siskel, kritikus yang bekerja di Chicago Tribune, untuk program bulanan yang berjudul “Opening Soon at Theater Near You”, di stasiun televisi lokal. Beberapa waktu berselang, program ini akhirnya pindah ke PBS (Public Broadcasting System). Siskel dan Ebert pun membuat sebuah format yang nantinya sangat populer: dua orang duduk di kursi bioskop, mendiskusikan film terbaru, lalu Siskel dan Ebert masing-masing memberi respon "thumbs up” (positif) atau “thumbs down” (negatif). Pada 1982, program ini mulai dikenal di seluruh negeri sebagai “At the Movies”. Empat tahun berikutnya, judulnya berganti menjadi Siskel & Ebert, yang akhirnya bertahan hingga 20 tahun ke depan. Kritik Siskel dan Ebert yang penuh warna dan kelihaian dalam berdebat, selain membuat program mereka semakin digemari, juga seolah menahbiskan kepribadian mereka masing-masing. Namun sayangnya, duo tersebut harus terhenti di awal 1999 ketika Siskel meninggal dunia di usia 53. Ebert pun tetap melanjutkan programnya dengan beberapa bintang tamu sebagai co-host. Hingga akhirnya Richard Roeper dari Sun-Times diputuskan untuk menjadi anggota tetap. Hidup Ebert jauh berbeda sejak 2002, ia dinyatakan mengidap kanker tiroid dan kelenjar saliva. Akhirnya ia harus menempuh pengobatan yang mengakibatkan Ebert rela untuk melepas rahang bawahnya. Hal yang membuat ia kehilangan kemampuan berbicara atau makan secara normal. Namun kemampuan menulisnya tak hilang dan tak terganggu sama sekali. Ia pun terus menerbitkan tulisan-tulisan secara berkala, baik itu secara online maupun cetak, hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 4 April 2013. Meski banyak pro dan kontra terkait karya-karya Ebert, namun tak bisa dipungkiri bahwa Roger adalah salah satu sosok yang paling populer dan berpengaruh di dunia perfilman dan jurnalistik. Bahkan beberapa jurnalis lain seperti Kenneth Turan dari Los Angeles Times menyebut Ebert adalah “the best-known film critic in America.” Sedangkan Neil Steinberg dari Chicago Sun-Times menyebutnya “most prominent and influential film critic.” - Kutu Kasur Jauh sebelum namanya dikenal banyak orang seperti saat ini, Natalie telah menunjukkan kecintaanya di dunia seni. Dia telah menggeluti seni tari sejak usia 4 tahun, ketika dia dan keluarganya belum lama pindah ke Amerika Serikat. Wanita yang lahir pada 1981 tersebut bahkan pernah menolak saran dari seseorang yang bekerja di Revlon untuk berkarier sebagai model. Seperti yang kita tahu, keputusannya untuk mengejar impian sebagai aktris adalah keputusan yang tepat. Portman melakukan debut filmnya di Léon: The Professional (1994). Melalui performanya di film garapan sutradara Luc Besson tersebut, dia langsung bisa menarik perhatian para penonton dan juga kritikus. Selain debutnya sebagai aktris, film tersebut juga menjadi debut bagi nama “Portman”. Ya, Portman bukanlah nama asli miliknya, melainkan nama yang diambil dari neneknya. Hal itu diakui Natalie untuk melindungi privasi dan identitas keluarganya. Setelah itu, Natalie mulai rutin mendapatkan peran di berbagai film seperti Heat (1995), Everyone Says I Love You (1996), dan Mars Attacks! (1996). Ada hal menarik sejak dia tampil di Beautiful Girls (1996), sejak saat itu dia mulai enggan untuk menerima tawaran yang perannya ia anggap mengeksploitasi seksualitas wanita muda. Dia tak ingin dirinya menjadi “fantasi para pedofil”. Dia menyatakan, "It dictated a lot of my choices afterwards 'cos it scared me...it made me reluctant to do sexy stuff, especially when I was young." Namanya semakin dikenal saat ia berperan sebagai Padmé Amidala di trilogi prekuel Star Wars. Selain itu, dia juga sukses ketika terlibat dalam film Anywhere but Here (2000), yang mengantarkan namanya meraih nominasi aktris pendukung terbaik. Pada tahun 1999, Natalie memutuskan untuk meneruskan studi di Harvard University. Dia pun mengambil keputusan yang cukup berat, dengan memilih untuk vakum dari dunia perfilman selama empat tahun ke depan untuk fokus pada studinya. Natalie hanya melakukan pengecualian pada proyek Star Wars. Portman pun lulus dari Harvard pada 2003 dengan gelar Bachelor of Arts. Meski sempat vakum, Natalie Portman tak kehilangan kemampuannya begitu saja. Dia kembali meraih sukses ketika berperan di film Closer (2004) dan film garapan Wong Kar-wai, My Blueberry Nights (2007). Ia juga meraih banyak pujian dari performanya di V for Vendetta (2005). Natalie pernah menyatakan alasannya menerima tawaran untuk tampil V for Vendetta, “The film doesn't make clear good or bad statements. It respects the audience enough to take away their own opinion." Puncak kesuksesan seorang Natalie Portman hadir kala ia tampil di Black Swan (2010). Demi perannya, Natalie bahkan rela berlatih keras untuk tari balet dan menurunkan berat badannya hingga 10 kg. Ya, pada akhirnya determinasinya membawa ia meraih berbagai penghargaan termasuk Academy Awards, Golden Globes, dan BAFTA. Kesuksesan tersebut hampir terulang ketika dia berperan sebagai Jacqueline Kennedy di Jackie (2016), sayangnya ia tak berhasil memenangkan ketiga penghargaan besar seperti di Black Swan.
Hingga kini Natalie telah membintangi lebih dari 40 judul film dan angka itu dipastikan terus bertambah. Bahkan ia telah memastikan akan tampil di beberapa judul seperti The Heyday of the Insentive Bastards (2017), Annihilation (2018), dan The Death and Life of John F. Donovan (2018). Selain itu ia juga akan membintangi sebuah mini series berjudul We Are All Completely Beside Ourselves. Di usianya yang baru menginjak 36 tahun, Natalie secara total telah memenangkan 79 penghargaan dan 124 nominasi lainnya. Mari tutup tulisan ini dengan kutipan dari Natalie Portman yang cukup membekas di benak saya, “I don’t care if college ruins my career, I’d rather be smart than a movie star.” - Kutu Kasur Kawan Kutu tentu tak asing dengan nama Audrey Hepburn. Namanya memang begitu mendunia, tak hanya dari kariernya sebagai aktris Hollywood saja, tetapi juga Audrey Hepburn telah menjadi salah satu wanita yang ikonik. Dengan paras yang menawan, Hepburn nyatanya tak hanya dikenal dari fisiknya, tetapi juga kegigihannya untuk membantu orang-orang di berbagai belahan dunia. Audrey Kathleen Ruston lahir pada 4 Mei 1929 di Brussels, Belgia dari Joseph Ruston dan Ella van Heemstra. Nama Hepburn sendiri berasal dari nama Belgianya, Edda Kathleen Hepburn-Ruston. Kata Hepburn diwarisi dari sang Ayah, yang mengubah namanya setelah ia merasa bahwa dirinya adalah keturunan James Hepburn, suami Mary I of Scotland. Sebagian besar masa kecil Hepburn berada di ranah Britania dan mengenyam pendidikan di Elham. Ketika Perang Dunia II pecah, dia dan ibunya pindah ke Belanda dengan harapan negara itu tetap netral dan terhindar dari serangan Jerman. Hepburn pun melanjutkan studinya di Arnhem Conservatory. Ketika Jerman menyerang, Hepburn dan ibunya kesulitan untuk bertahan hidup. Audrey juga dikabarkan ikut membantu perlawanan sebagai penyampai pesan. Saat perang usai, Hepburn melanjutkan untuk mengejar impiannya di bidang seni tari. Dia akhirnya mempelajari Tari Balet di Amsterdam, lalu melanjutkannya di London. Pada 1948, Hepburn melakukan debut panggungnya sebagai anggota paduan suara di drama musikal, High Button Shoes. Dua tahun kemudian, dia akhirnya mendapat peran besar di ‘Sauce Piquante’. Di tahun yang sama, Hepburn juga merambah dunia perfilman dengan peran-peran kecil di One Wild Oat, Laughter in Paradise, Young Wives’ Tale, dan The Lavender Hill Mob. Sebelum akhirnya dia mendapat peran pendukung yang lebih besar di The Secret People (1962). Di film tersebut, dia berperan sebagai balerina dan melakukan adegan tariannya sendiri tanpa pemeran pengganti. Kesuksesan Audrey hadir ketika ia berhasil mendapat peran besar di Roman Holiday (1953). Jauh di luar dugaan, dia meraih berbagai penghargaan mulai dari BAFTA, Golden Globe, hingga Oscar kategori Best Actress in a Leading Role. Bisa dibilang dari film inilah awal kepopuleran Audrey Hepburn. Selepas Roman Holiday, kariernya terbilang stabil bahkan terus melejit. Hal ini dibuktikan dari namanya yang sering menghiasi deretan nominasi untuk berbagai penghargaan. Sebutlah film-filmnya seperti Sabrina (1954), The Nun’s Story (1959), Breakfast at Tiffany’s (1961), dan juga Wait Until Dark (1967). Melewati tahun 1967, Audrey memutuskan untuk menghabiskan waktunya untuk keluarga. Dia pun semakin jarang untuk mengambil pekerjaan sebagai aktris film. Bisa dibilang dia memasuki fase semi pensiun. Namun sembilan tahun kemudian, dia kembali untuk film Robin and Marian. Setelah itu, tercatat Hepburn hanya berlaga di tiga film saja. Penampilan terakhirnya di layar lebar adalah Always (1989), yang disutradarai oleh Steven Spielberg. Kemunduran Audrey Hepburn memang disayangkan banyak orang, terutama para penggemarnya. Selain perihal keluarga, alasan terbesar dirinya untuk mundur adalah rasa pedulinya terhadap sesama manusia, terutama nasib para anak-anak. Pada akhirnya, dia mulai mengabdikan diri pada masyarakat dunia bersama UNICEF.
Kekhawatiran Audrey memang beralasan. Karena dia sendiri pernah mengalami masa-masa buruk ketika masih kecil. Masa di mana Audrey Hepburn merasa kelaparan dan selalu terancam akibat perang. Bersama UNICEF, Audrey menjadi bagian dari berbagai proyek kemanusiaan di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Pada 1993, Academy Award memberikan penghargaan khusus untuk pengabdiannya pada kemanusiaan. Namun sayangnya, Audrey telah lebih dulu meninggalkan dunia pada 20 Januari di tahun yang sama. Audrey meninggal setelah berjuang melawan kanker. Meski telah tiada, namun Audrey Hepburn telah meninggalkan banyak hal. Pengaruhnya di bidang fashion bahkan masih ada hingga saat ini. Banyak majalah yang sering merekomendasikan pembacanya untuk melihat bagaimana penampilan Audrey Hepburn. Bahkan survey yang dilakukan Evian di tahun 2004, dia dinobatkan menjadi ‘most beautiful woman of all time’. Audrey adalah salah satu dari sedikit bintang yang pernah memenangkan Oscar, Emmy, Grammy, dan Tony Awards selama kariernya. American Film Institute pun memasukkan namanya ke dalam Greatest Female Stars of All Time. Perjuangannya untuk kemanusiaan pun tidak berhenti sepeninggalannya. Anak Hepburn, Sean Ferrer dan Luca Dotti akhirnya memutuskan untuk membuat Audrey Hepburn Memorial Fund di UNICEF. Ya, tak semua manusia beruntung seperti Audrey Hepburn. Hidupnya seolah-olah begitu sempurna, paras yang menawan, karier yang fantastis, menjadi ikon fashion, hingga kerendahan hatinya untuk membantu orang lain. Namun kita harus sadar, bahwa itu semua diraihnya setelah melewati masa kecil yang kelam. Masa di mana Audrey Hepburn merasa ketakutan dan kesulitan untuk bertahan hidup akibat perang. -Kutu Kasur |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|