Dalam dunia olahraga, ada istilah populer yang sering digunakan pada orang atau tim yang kurang diunggulkan, underdog dan dark horse. Kedua istilah ini memang memiliki arti yang mirip jika mengacu pada Oxford Dictionaries. Ya intinya, sebutan ini merujuk pada pihak yang tidak diunggulkan untuk menang dalam sebuah persaingan atau kompetisi. Setelah saya perhatikan, pihak underdog tak hanya ada di dunia olahraga saja, melainkan di berbagai kondisi termasuk dalam film. Mungkin Kawan Kutu juga tak sadar bahwa begitu banyak film yang mengangkat sisi underdog sebagai protagonis. Salah satunya adalah Creed, yang rilis di bulan November kemarin. Creed bercerita tentang Adonis (Michael B. Jordan) yang banting setir dari seorang karyawan sebuah perusahaan menjadi seorang petinju profesional. Film diawali dengan Adonis kecil yang terlibat perkelahian dengan anak lain di sebuah fasilitas (yang mirip penjara) untuk anak-anak. Hingga akhirnya seorang wanita paruh baya menemui Adonis dan mengajaknya tinggal dengannya. Adonis yang tumbuh besar dan sukses sebagai karyawan perusahaan, ternyata tak bisa lepas dari keinginnannya untuk menjadi petinju. Dia pun sering mengikuti pertandingan-pertandingan tinju amatir di Mexico. Keinginannya ini tak lepas dari fakta bahwa Adonis adalah putra dari Apollo Creed, rival Rocky Balboa yang diperankan oleh Sylvester Stallone. Akhirnya dia memutuskan untuk benar-benar berhenti dari pekerjaannya dan fokus ke dunia tinju. Awalnya dia mencoba untuk berlatih di gym yang membesarkan nama Apollo. Namun sayang, dia tidak benar-benar diberi kesempatan dan hanya berlatih seorang diri. Adonis tak menyerah begitu saja, dia pindah ke Philadelphia untuk mencoba peruntungannya di sana. Di sini, dia punya maksud lain, yaitu meminta Rocky Balboa sendiri untuk melatihnya. Awalnya Rocky tak ingin kembali ke dunia tinju, tapi tekad kuat Adonis ternyata bisa menggugah hati Balboa untuk kembali ke dunia yang membesarkan namanya. Dengan metode latihan a la Balboa, ditambah dengan bantuan beberapa pelatih, akhirnya Adonis menjalankan pertandingan pertamanya. Adonis tampil dengan nama Donnie Johnson, mengambil dari nama ibunya. Nyatanya, berita bahwa dia anak seorang Creed telah meluas apalagi dia berhasil menang melawan Leo Soprino (Gabe Rosado). Kabar yang mengejutkan banyak pihak, ternyata Creed memiliki seorang anak dan sedang meniti karir tinjunya membuat Tommy (Graham McTravis) menawari Adonis untuk bertanding melawan Ricky Conlan (Tony Bellew), petinju yang memegang gelar dunia. Setelah melalui perdebatan, ditambah kabar Rocky mengidap kanker, akhirnya mereka memutuskan untuk meyetujui tanding melawan Conlan. Bagi saya, Creed adalah film yang cukup solid dari segi cerita. Penting untuk diingat bahwa film ini adalah spin-off sekaligus sekuel dari seri Rocky sebelumnya. Pengangkatan karakter baru sebagai tokoh utama bukan hal yang mudah. Apalagi ditambah kehadiran Stallone sebagai Rocky, tentunya memiliki risiko akan menghalangi kisah Adonis itu sendiri. Namun, ini dihindari dengan penulisan cerita yang rapi. Rocky muncul ketika kita sudah nyaman dan cukup memahami karakter Adonis. Dari latar belakangnya saat kecil, mimpi besar sebagai petinju, kehadirannya yang tak dihiraukan baik dari gym Creed dan Balboa, hingga pertemuannya dengan Bianca (Thessa Thompson). Semua ini disusun sedikit demi sedikit sebelum Adonis bertemu dengan Rocky. Pengembangan cerita pun dibuat dengan tempo yang pas, hubungan antara Adonis dan Rocky dibangun perlahan. Ini terlihat dari banyaknya adegan latihan Adonis yang diawasi oleh Rocky. Di sini pun kita ditunjukkan bahwa Adonis memang benar-benar amatir saat dia berlatih bersama anak didik rekan-rekan Balboa, Amir (Malik Bazile). Adonis digambarkan belum memiliki fisik dan teknik yang mumpuni sebagai petinju, bahkan masih kalah dengan Amir dari segi teknik. Yang cukup mengejutkan adalah hubungan Adonis dengan Bianca. Tak seperti di film-film lain, Bianca tak benar-benar menjadi gangguan untuk Adonis. Pasti tahu kan, kalau kebanyakan film memanfaatkan romansa sebagai bumbu pemicu konflik dalam sebuah film? Untungnya, di sini karakter Bianca menjadi tokoh pendukung yang lebih dari sekadar pemanis. Perannya menjadi cukup penting untuk psikologi Adonis. Penampilan Michael B. Jordan adalah salah satu faktor Creed bisa seperti ini. Dia memang berpengalaman berperan sebagai orang yang tak diunggulkan pada Fruitvale Station (2013). Bedanya, di Fuitvale Station dia hanyalah pemuda yang pas-pas an secara ekonomi, bukan berkompetisi seperti olahraga tinju. Di film itu juga dia bekerja sama dengan sutradara Ryan Coogler. Untuk Sylvester Stallone, penampilannya di Creed memang sangat penting. Selain menjadi seorang Rocky Balboa yang beralih profesi sebagai pemilik restoran, dia adalah tokoh yang membentuk Adonis sebaga petinju. Performa Stallone di luar dugaan begitu baik di film ini. Perannya sebagai orang tua, legenda hidup, dan pengidap kanker jauh dari kesan kaku. Bahkan saya hampir lupa bahwa tahun lalu, orang ini masih berkeliaran dengan tanktop hitam, senjata berat, dan bertarung hidup-mati di The Expendables. Saya curiga, mungkin sebenarnya Stallone adalah aktor yang baik hanya saja film-film yang dibintanginya memang pada dasarnya jelek saja. Meski ini adalah film tentang tinju, tapi Adonis hanya memainkan adegan tiga pertandingan. Yang pertama saat masih amatir di Mexico, kedua saat melawan Leo Soprino, dan yang terakhir melawan Conlan. Yang sangat saya sayangkan adalah Adonis yang baru mencuat namanya ketika mengalahkan Soprino, tiba-tiba menarik perhatian Tommy Holiday untuk menantangnya bertanding melawan Conlan si juara dunia. Yang membuat saya kepikiran adalah, untuk apa si juara dunia ini repot-repot menantang anak ingusan untuk bertanding. Oke katakanlah untuk meraih keuntungan karena Andonis sedang menjadi buah bibir karena status mendiang ayahnya. Apa hanya karena Conlan gagal bertanding dengan Wheeler (Andre Ward)? Kalau begitu, apa iya hanya Tommy yang berpikiran seperti itu? Kenapa para promotor atau pelatih-pelatih petinju lain tak ada yang menghubungi Rocky sama sekali? Ya walaupun begitu, saya cukup menikmati laga Adonis melawan Conlan. Oh iya, di awal tulisan saya sempat ngalor-ngidul membahas tentang underdog. Nah, dari film ini, rasanya tokoh Adonis dan Rocky cukup mewakili apa itu underdog di dalam sebuah olahraga. Meski mereka adalah kombinasi dari legenda Creed dan Balboa, tapi tetap saja Adonis adalah “anak baru”, wajar saja dia tidak diunggulkan. Nama besar memang bukan jaminan untuk sebuah kesuksesan. Yang membuat saya penasaran adalah, mengapa begitu banyak film yang mengangkat protagonis sebagai underdog dalam ceritanya.
Banyak studi yang mencoba mengungkapkan mengapa kita lebih cenderung menyukai underdog. Mengapa kita berani untuk mendukung tim yang kemungkinan besar akan kalah. Dari yang saya baca, hasilnya memang mirip-mirip. Intinya adalah tentang kepuasan emosi kita. Kita akan merasa kepuasan berlipat ketika melihat seorang underdog mengalahkan si favorit. Faktor utamanya adalah jumlah usaha yang dilakukan para underdog yang pastinya begitu besar. Satu lagi, para underdog ini adalah kebanyakan orang yang diberi label, “tidak bertalenta” atau “medioker”. Mereka seperti refleksi pada diri kita, mereka bisa menginspirasi kita yang kebanyakan adalah manusia tak bertalenta dan medioker sejak lahir. Maka dari itu kita senang dengan kondisi perlawanan sang underdog. Toh orang-orang sukses pun semuanya pasti pernah hidup sebagai underdog dalam hidupnya, kan? Rating: B - Kutu Kasur
0 Comments
Film tentang mental disorder adalah menurut saya film yang menarik untuk ditonton, sekaligus dibahas. Karena kita bisa mengetahui perspektif tentang karakter yang memiliki kelainan mental tersebut. Kali ini salah satu aktor terhebat dalam generasi kita Leonardo Dicaprio akan berperan sebagai Detektif Edward Daniels dalam film Shutter Island Ini merupakan kolaborasi ke-4 dengan sutradara Martin Scorsese setelah film Gang of New York, The Aviator & The Departed. Dalam film ini diceritakan tentang seorang detektif bernama yang menginvestigasi tentang hilangnya pasien Rachel Solando di sebuah Rumah Sakit Jiwa Ashecliffe bersama rekannya Chuck yang diperankan oleh Mark Ruffalo. Plot cerita pun dibangun dengan perlahan namun tidak terburu-buru dan juga tidak berjalan terlalu lambat sehingga penonton tidak bosan karena dibalut dengan sedikit thriller yang menurut saya dieksekusi dengan baik. Perkembangan karakter protagonist dan juga hubungan dengan para karakter pendukungnya dibawakan dengan rapi dan elegan. Karakter protagonist pun menyadari bahwa konflik utamanya begitu rumit dan kompleks. Ending filmnya pun sangat mengejutkan, yaitu twist (=ending tidak terduga) yang ditata dengan rapi sehingga penonton pun tidak bisa menebak seperti apa ending ceritanya. Menurut saya ini adalah salah satu film terbaik Leonardo Dicaprio. Ending film pun ditutup dengan salah satu quote film terbaik yang pernah saya dengar. Rating : A+ Review ini adalah request Kawan Kutu yg jadi pemenang dalam rubrik Kutuquest edisi 25/12/2015. Kutuquest selanjutnya akan diadakan pada 8/1/2016.
Sang maestro penggagas Marvel Comic, hari ini berulang tahun yg ke 93 tahun loh Kawan Kutu! Mari ucapkan selamat ulang tahun untuknya, karena kalau gak ada dia, gak akan ada Spiderman, Iron Man, X-Men, Fantastic Four, Hulk, Avengers, Ghost Rider, Blade, Daredevil, Guardian of The Galaxy, dll.
So, happy birthday Mr. Stan Lee ! We wish you a happy long live ! -Kutu Ant-Man Raditya Dika kembali memperkaya portofolionya dalam dunia film dengan merilis sebuah film(yang pastinya)bergenre komedi, yaitu “Single”. Film ini berkisah mengenai perjalanan Ebi, seorang single yang berusaha keras untuk melepas statusnya, terlebih setelah mengetahui bahwa adiknya akan segera menikah. Dibalut dengan nuansa humor ala Raditya Dika yang khas, “Single” dibuka dengan prolog yang unik, dimana kita disajikan opening credit dengan penghantar nyanyian Raditya Dika yang mengikuti sebuah lagu dalam radio yang cukup untuk membuat sandwich keju yang sedang saya makan saya simpan dulu sampai prolognya selesai. Saya menilai dalam film ini kualitas Raditya Dika bila dibandingkan dengan beberapa film terdahulunya, terutama “Marmut Merah Jambu”, mengalami penurunan, baik dari segi posisinya sebagai sutradara dan pemeran utama (bukan judul lagu Raisa ya), maupun jokes-jokes yang keluar dalam filmnya(yang beberapa merupakan jokes usang Raditya Dika). Ada beberapa minus yang membuat film ini terkesan belum matang, dan seakan tergesa-gesa. Script yang kaku adalah hal yang paling mengganggu bagi saya selama 120 menit film berjalan. Saya sedikit terkejut dengan gaya percakapan, serta akting dari para karakter di film ini yang saya lihat begitu kikuk. Bahkan seorang Panji yang biasa saya lihat mampu “menguasai panggung”, dalam beberapa scene terlihat don’t fit in his skin, begitupun Raditya Dika. Beberapa scene yang saya saksikan membuat saya terkadang bertanya pada diri sendiri, “saya betul-betul menyaksikan film dalam bioskop kan? Bukan menyaksikan satu kelompok yang mementaskan drama untuk tugas Bahasa Indonesia?”. Entah mengapa, dalam beberapa kesempatan saya seolah melihat Raditya Dika(pun)seakan tidak enjoy memerankan tokoh Ebi. Kekakuan lain terlihat dari peran Ibu Ebi yang diceritakan “ingin selalu muda” dan selalu melontarkan ungkapan yang “nyeleneh” dan “happening” semacam coy, bro, dan keles yang justru terdengar kurang nyaman di telinga saya, bukan karena yang mengucapkan adalah seorang ibu-ibu, tapi nada yang sedikit dipaksa begitu kentara di telinga saya ketika kata-kata tersebut terucap. Selain itu akting dari Annisa Rawles sebagai Angel saya rasa flat, seolah ada kendala dalam menyatukan chemistry antara dia dengan karakter lain. Percakapan Raditya Dika dengan adik dan ibunya dalam beberapa momen pun terasa kaku untuk sebuah keluarga, yang dalam cerita, hanya tinggal bertiga. Theme song dan musik latar yang dimainkan pun seolah “dikontrak” oleh Geisha. Memang dalam opening sudah tertulis bahwa Theme Song film ini akan diisi oleh Geisha(dan D’masiv yang sepertinya hanya “menyumbang” satu lagu di film ini), tetapi Geisha benar-benar mendominasi lagu latar dalam durasi film berjalan, dan parahnya dengan lagu yang sama. Saya seperti mendengar lagu dalam tape rusak yang hanya dapat memutar 3 lagu, beberapa scene pun seolah memaksakan karena ada scene yang tidak relevan dengan lagunya, selain itu terdapat beberapa plot hole dalam cerita yang karena jumlahnya, membuat saya cukup sadar akan adanya hole tersebut. Saya pun menyayangkan mengapa Raditya Dika memilih “Stand up Comedy” sebagai sebuah “klimaks”, ya saya tahu karir utamanya merupakan seorang komika, namun saya rasa akan lebih “asyik” bila memilih profesi lain agar cerita lebih berkembang. Namun dibalik itu semua, film ini patut untuk diapresiasi, ada beberapa adegan yang membuat saya terpingkal mendadak(meskipun kebanyakan saya memasang muka datar untuk jokesnya) seperti scene ketika mobil yang dikendarai Ebi meledak ketika dibunyikan alarm(that’s the most epic and unpredictable scene of the movies) dan ketika scene saat Ebi, Wawan, dan Victor akan melakukan Sky Diving, namun mereka bertiga takut saat akan terjun hingga akhirnya Victor muntah di muka(iya muka) Ebi, serta tampilnya beberapa cameo seperti Pevita Pearce, Dede Yusuf, Dewi Hughes, Putri Indonesia 2014, Elvina Devinamira, hingga D'Masiv membuat film ini cukup berwarna. Selain itu film ini memunculkan twist(yang sepertinya sedang marak dimunculkan di beberapa film akhir-akhir ini) yang menceritakan bahwa sebetulnya ibu tua yang Ebi bantu ketika di Medical Center ternyata adalah ibu dari Angel. Ide untuk mem-pop up- screen sms dan Facebook(yang meskipun sudah marak di film lain)pun dilakukan dengan sangat rapih dan “berseni” disini. Secara overall, film berdurasi 120 menit ini sukses membuat saya(memaksa diri)untuk tertawa. Dibalik beberapa nilai plus, nilai minus yang ada terlalu kentara untuk saya tepikan dan durasi film saya rasa terlalu lama untuk jalan cerita yang pada pertengahan film sebetulnya berjalan dengan stagnan, namun apabila saya boleh memberi saran, bila kawan kutu ingin menyaksikan film ini, tunggu saja film ini hadir sebagai film spesial dan ditayangkan di stasiun televisi(seperti film Bulan Terbelah di Langit Amerika), atau jika Kawan Kutu penasaran ingin mengeluarkan 40 ribu rupiah dan menghabiskan 120 menit, saya sarankan ajak teman untuk mengobrol agar tidak “krik-krik” sendiri. RATING : C -Kutu Klimis-
Salah satu alasan saya pertama kali tertarik untuk membaca Novel Negeri Van Oranje adalah karena stiker bulat kecil di bagian cover yang kurang lebih bertuliskan “segera difilmkan”. Setelah beberapa hari melahap isi buku tersebut, saya memiliki ekpekstasi yang cukup tinggi terhadap filmnya, tidak salah saya rasa karena novelnya saya amini sebagai sebuah buku yang amat “komplit”. Setting Eropa yang indah, karakter dalam cerita yang kuat, cerita yang bagus, serta plot “twist” di beberapa lembar terakhir yang membuat saya manggut-manggut+geleng-geleng membacanya. Praktis ketika NVO memulai serangkaian “promo”, saya tidak sabar menyaksikan filmnya. Terlebih ketika melihat trailer dari film ini yang memiliki tone begitu colourful dan musik yang ceria, amat memanjakan mata dan mood saya. Hingga tibalah stiker "segera difilmkan" itu bukan lagi "segera", saya telah selesai menuntaskan "dahaga" imajinasi saya ketika membaca novelnya melalui 100 menit dalam studio, dan berujung pada sebuah kesimpulan dimana saya memiliki love-hate situation untuk film ini. Saya merasa bahwa dahaga saya akan visualisasi cerita ketika saya membaca bukunya akan terpuaskan, tapi ternyata saya tidak sepenuhnya “puas”. Memang selalu tidak mudah untuk terlepas dari bayang-bayang buku, apabila film yang diangkat adalah film adaptasi. Dalam buku, penulis tidak punya hambatan dalam mengembangkan cerita dan karakter kecuali imajinasi mereka ketika menulis, sedangkan saat diadaptasi kedalam sebuah film, hambatan besar sudah langsung melekat, "durasi". Terlalu banyak cerita yang harus diangkat dengan durasi yang minim, sehingga saya yakin ketika sebuah novel akan diangkat menjadi film, pasti hal pertama yang dirundingkan ialah, "adegan/bagian memorable mana yang akan kita visualisasikan" dan sejauh apa kita akan stick pada cerita dalam buku, selain itu penggambaran karakter yang dibawakan oleh masing-masing cast "harus" sesuai dalam buku, dan saya rasa, pada kasus cast, NVO sangat "tricky", karena ada bagian yang saya sukai, dan beberapa lainnya yang membuat saya mengerenyitkan dahi. Bercerita mengenai perjuangan 5 orang sahabat asal Indonesia yang sedang menyelesaikan studinya di Negeri Kincir Angin, Belanda. Mereka bertemu secara tidak sengaja, dan berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, namun siapa sangka justru perbedaan tersebutlah yang membuat persahabtan mereka menjadi unik. Tergabung dalam “geng” yang mereka namakan AAGABAN, mereka berlima melewati pahit dan manisnya persahabatan dan cinta, serta perjuangan demi membawa pulang gelar S2 ke tanah air tercinta. NVO mengawali film mereka dengan sebuah “gebrakan” yang seolah ingin mengatakan bahwa mereka ingin melepaskan bayangan dari buku dengan menerapkan plot yang mundur, dimana cerita seolah berfokus pada Lintang yang ingin berkisah mengenai cerita bagaimana ia menemukan pasangan hidupnya yang ternyata merupakan salah satu dari 4 sahabatnya yang ia temui ketika menempuh masa studi S2 di Belanda, sesaat sebelum ia menikah. Lalu dimulai lah 10 menit awal prolog yang bagi saya terlihat seperti “pameran” setting dan suasana Praha-Belanda, yang dikemas dengan sinematografi dan musik latar yang baik sehingga menampilkan suguhan yang, meskipun saya tahu mereka sedang “pamer”, sangat memanjakan mata. Menyaksikan film ini tentu harus dilihat dari 2 kacamata, dari kacamata mereka yang membaca bukunya, dan dari kacamata mereka yang “baru tahu” bukunya ketika menonton film ini. Bagi mereka yang membaca bukunya, film ini sedikit mengecawakan, dibalik penggambaran Belanda dan Praha yang sangat apik, pemilihan plot yang dilakukan dengan mundur dan mengambil tema “Lintang’s love journey” cukup mengecewakan, mengingat buku NVO selain bertema “cinta”, juga berkisah tentang persahabatan dan perjuangan menempuh pendidikan di Belanda, dan meskipun pada beberapa kesempatan Lintang merupakan “penyambung” cerita tapi jelaslah bahwa dalam buku, tokoh Utama cerita adalah Banjar, Daus, Gerry, Wicak, dan Lintang. Bukan Lintang dan 4 sahabatnya. Setiap karakter memiliki cerita masing-masing. Daus dengan latar belakangnya sebagai seorang Betawi yang memiliki banyak wejangan dari engkongnya, Gerry yang memiliki deep dark secret, Banjar dengan perjuangannya untuk hidup di Belanda, Wicak yang bila diibaratkan pada pepatah adalah padi, makin berisi makin merunduk, serta Lintang yang cheerful dan meskipun girly, tetapi mandiri. Sayangnya dalam film kita hanya melihat fokus cerita pada Lintang. Tema persahabatan yang diangkat pun terkesan lebih mengarah pada percintaan karena stigma awal yang dibentuk di prolog dimana kisah ini menceritakan kisah Lintang dengan 4 sahabatnya, yang “romantically” ternyata salah satu soulmatenya kelak. Alur mundur pun saya sayangkan, dimana NVO justru “menyia-nyiakan” momen twist mereka dengan membuka kartu bahwa Lintang menikah dengan salah satu sahabatnya, padahal, dalam buku, momen ketika mereka berlima terlibat konflik di Praha, yang berujung pada Epilog pernikahan Lintang, membuat saya terkejut saat mengetahui ternyata Lintang berakhir dengan Wicak. Memang, untuk yang membaca bukunya hal tersebut tidak lagi akan menjadi twist, tapi membuat konsep cerita menjadi “Kisah Lintang”, bagi saya kurang tepat karena cerita hanya jadi terfokus pada Lintang. Selain itu, NVO terkesan “kebingungan” mengangkat banyak scene dari novel ke layar lebar, sehingga terkadang film ini memiliki beberapa scene yang terkesan merupakan potongan film pendek yang digabungkan, karena terkadang dari satu scene ke scene lain tidak memiliki keterkaitan yang kuat. Bagi mereka yang menonton film ini tanpa membaca bukunya, saya yakin beberapa akan merasa sedikit “hilang”, karena sejujurnya NVO memiliki cukup banyak plot hole dan juga kurang pendalaman karakter hingga bagi mereka yang tidak membaca bukunya, menyaksikan film ini tentu hanya akan menjadi hiburan semata, tanpa mengetahui dan merasakan detail cerita yang sesungguhnya cukup dalam dan menginspirasi, namun jelas hal ini akan tertutupi sekali lagi dengan setting NVO yang ditangkap dalam gambar yang sangat indah dan akting maksimal dan menghibur dari Ge Pamungkas sebagai Daus. Dari segi cast, seperti sudah saya katakan sebelumnya, ada beberapa yang cukup “tricky”, Wicak dan Banjar contohnya, yang masing-masing diperankan Abimana dan Arifin Putra. Bagi saya karakter mereka terlihat “tertukar”. In my opinion, justru Wicak akan lebih maksimal bila diperankan oleh Arifin dan juga sebaliknya, Banjar akan lebih maksimal bila diperankan oleh Abimana. Lintang yang diperankan oleh Tatjana Saphira pun dalam beberapa kesempatan terlihat “jaim”, sedikit berbeda dari kesan Lintang yang tergambar dalam bukunya. Apresiasi khusus saya berikan untuk karakter Gerry dan Daus yang diperankan oleh Chicco Jerikho dan Ge Pamungkas, khususnya nama terakhir. Karakter Daus begitu hidup dalam diri Ge Pamungkas, ia mampu mengadaptasi karakter Daus hingga image nya begitu melekat, selain itu Chico pun saya amini memerankan tokoh Gerry dengan baik. Satu-satunya kekurangan dari karakter Gerry yang ia bawakan adalah kiss scene yang tidak berlanjut(LOL). Satu lagi yang saya soroti adalah product placement yang entah mengapa dalam setiap film Indonesia, tidak pernah rapih. Sebagus apapun elemen dalam sebuah film, ketika tiba pada product placement, belum ada film Indonesia(yang saya saksikan) yang melakukannya dengan smooth. Selalu terlihat bahwa mereka sedang beriklan dalam film. Tapi terlepas dari seluruh perbedaan yang ada dari film NVO dan bukunya, film ini tetaplah film yang sangat asyik untuk dinikmati. Pembawaan film yang fun dan colourful serta warna persahabatan yang dibawakan oleh castnya cukup menghibur, selain itu musik-musik yang dijadikan musik latar pun cukup membangkitkan mood ketika kita mendengarnya. Overall, film ini recommended dan sangat cocok dengan mood akhir tahun yang fun dan cocok untuk dimasukkan kedalam agenda film akhir tahun Kawan Kutu RATING : B+ -Kutu Klimis-
|
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|