30 Maret adalah hari yang bersejarah bagi perfilman Indonesia. Tepatnya pada 30 Maret 1950 adalah hari pertama proses pengambilan gambar untuk film Doa dan Darah yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Film ini adalah film pertama yang diproduksi dan disutradarai oleh orang Indonesia. Oleh karena itu, 30 Maret disepakati sebagai Hari Film Nasional. Terhitung sudah 66 tahun sejak pertama kalinya Usmar Ismail memproduksi Doa dan Darah. Perfilman Indonesia memang mengalami pasang surut, mulai dari terhambat karena masalah politik hingga sulit bersaing dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Meski begitu, perlahan film-film Indonesia kembali bergairah seiring waktunya. Untuk memperingati Hari Film Nasional, kami akan mengulas beberapa film yang memiliki catatan penting dalam perkembangan perfilman Indonesia. Darah dan Doa (1950): Tonggak Awal Perfilman Indonesia Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi) adalah film yang mengisahkan tentang perjalanan panjang (long march) tentara RI dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Film berfokus pada sosok Kapten Sudarto yang memimpin long march tersebut dalam menghadapi segala konflik yang mengiringi sepanjang perjalanan. Sisi humanis dari seorang tentara lebih diangkat disini ketimbang sisi kepahlawanannya. Film Darah dan Doa merupakan film nasional pertama, yang proses syutingnya dianggap sebagai tonggak bersejarah perfilman nasional, sehingga hari pertama syuting film tersebut diabadikan sebagai Hari Perfilman Nasional. Usmar Ismail, sebagai sutradara film tersebut pun disepakati sebagai Bapak Perfilman Nasional. Sebagai trivia, meskipun bukan dengan "image" yang baik, nama Darah dan Doa pun sempat dimasukkan sebagai nama organisasi pergerakan pemberontakan dalam video game multiplatform, Splinter Cell: Pandora Tomorrow. Tidak ada keterangan pasti apakah nama tersebut merujuk pada judul film ini atau hanya pemilihan secara random, namun kemiripan nama menjadi suatu trivia unik mengenai film yang pertama dirilis 66 tahun lalu ini. Ibunda (1968): Film Keluarga Peraih 9 Piala Citra Film "unik" yang memajang sosok tokoh utama dalam judul, namun justru memberi peran yang "abu-abu" (meskipun tetap vital) dalam filmnya. Film ini berkisah mengenai kehidupan keseharian dalam keluarga, lengkap dengan berbagai konfliknya. Sosok ibu di sini tidak menjadi pribadi dominan yang menceritakan tentang "sepak terjangnya" dalam keluarga. Sosok ibu dalam film ini digambarkan sebagai sosok yang menjadi "tempat pulang", poros bagi kehidupan anak-anaknya, serta menjadi sosok netral yang juga menjadi "jalan keluar" bagi semua permasalahan yang dialami putra-putrinya. Hingga kini, film garapan Teguh Karya ini menjadi film dengan perolehan Piala Citra terbanyak, dimana pada tahun 1968, Ibunda berhasil meraih 9 penghargaan dari 16 nominasi yang dikategorikan. Film Ibunda diakhiri dengan kutipan yang cukup menyentuh. Kutipan tersebut ditampilkan sebagai tulisan di akhir film dengan bunyi : "Ibu, buku yang habis kau baca, kini mulai ku baca, baru halaman pertama". Tjoet Nja' Dhien (1988): Mengupas Perjuangan Wanita Diperankan oleh Christine Hakim, film Tjoet Nja' Dhien merupakan drama epos biografi yang menceritakan kisah perjuangan pahlawan nasional Indonesia, Tjoet Nja' Dhien dalam melawan tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh. Peperangan serta perjuangan rakyat Aceh dalam memerangi Belanda kala itu, tercatat sebagai yang terpanjang dalam sejarah Kolonial Hindia Belanda. Tjoet Nja'Dien tidak hanya menceritakan konflik peperangan, namun juga konflik dan kembimbangan yang dialami oleh sang pahlawan sebagai pemimpin. Film ini sempat diajukan untuk masuk ke dalam kategori Best Foreign Movie untuk Academy Award (Oscar) ke-62 pada tahun 1990. Namun belum berhasil lolos dalam pencalonan nominasi. Meskipun begitu, Tjoet Nja' Dhien merupakan film Indonesia pertama yang diputar pada Festival Film Cannes di tahun 1989. Jelangkung (2001): Kebangkitan Perfilman Horror Indonesia Era Modern; "Datang tak Dijemput, Pulang tak Diantar Mengisahkan tentang 4 orang anak muda yang menjadi "pemburu hantu", mereka mengunjungi sebuah makam keramat dengan niat merekam penampakan makhluk halus yang ada di sana. Namun selama tiga hari, tidak ada tanda-tanda akan penampakan tersebut, hingga akhirnya salah satu dari mereka memainkan ritual Jelangkung di atas salah satu makam. Tetap tak ada hasil, selesai ritual tersebut mereka akhirnya pulang. Namun justru tanpa disangka-sangka, kejadian demi kejadian mengerikan menghantui mereka berempat setelah mereka pulang. Hingga akhirnya mereka harus menemukan cara untuk mencabut Jelangkung tersebut dari makam, dan mengakhiri ritual untuk menghentikan seluruh kejadian tersebut. Disutradarai oleh Rizal Mantovani dan Jose Purnomo, film ini awalnya tidak dibuat untuk ditayangkan di bioskop, melainkan untuk ditayangkan di salah satu televisi swasta yang saat itu baru akan mengudara. Namun melihat prospeknya, film ini kemudian diputar di salah satu bioskop di Jakarta. Tanpa diduga, respon masyarakat begitu positif untuk film ini, hingga akhirnya pengusaha pemilik jaringan bioskop 21, Harris Lasmana, membeli hak siar film ini untuk ditayangkan di 25 bioskop yang berada dibawah jaringan 21. Hingga saat ini, Jelangkung masih memegang rekor jumlah penonton film terbanyak di Indonesia dengan total kurang lebih 5,7 juta penonton. Kesuksesan ini membuat Jelangkung seolah menjadi salah satu fondasi bagi kebangkitan film horor di Indonesia. Petualangan Sherina (2000): Geliat dalam Mati Suri Film Indonesia"Dia pikir, dia yang paling hebat. Merasa paling jago, dan paling dahsyat". Siapa anak-anak yang tumbuh besar di era awal milenia tetapi tidak mengenal penggalan lirik tersebut? Derby Romero dan Sherina Munaf mendadak membelalakkan mata (dan juga telinga) penikmat film Tanah Air ketika film musikal Petualangan Sherina dirilis. Film "sederhana" yang menceritakan tentang seorang anak yang mencoba beradaptasi di lingkungan baru karena ayahnya harus dipindah tugaskan, menjelma menjadi sebuah box office nasional pada masanya. Lagu-lagu yang mengiringi adegan sepanjang film ini dengan mudah terputar di kepala para penonton, utamanya anak-anak kala itu. Ide cerita yang mengangkat tema musikal dapat dengan mudah diterima oleh khalayak, dengan teknik pemasaran film yang cukup baik pada masa itu (memajang nama Sherina dalam judul), jadilah film ini sebagai tontonan wajib keluarga. Disutradarai oleh Riri Riza, Petualangan Sherina juga didukung oleh aktor-aktor papan atas tanah air, sebut saja Matias Muchus dan Didi Petet. Untuk ukuran film musikal dengan tema dan pangsa pasar anak-anak juga keluarga, film ini terbilang cukup sukses karena mampu menyedot kurang lebih sekitar 1,6 juta penonton pada saat penayangannya. Film ini seolah menjadi oase bagi keringnya film-film Indonesia kala itu. Janji Joni (2005): Petualangan Absurd ala JoniJanji Joni bercerita mengenai Joni (Nicholas Saputra) seorang pengantar roll film yang tidak pernah telat mengantar roll film antar bioskop. Joni yang telah bekerja sebagai pengantar secara turun-temurun ini bertekad untuk selalu tepat waktu dan dapat diandalkan. Suatu hari saat dia bertemu dengan seorang wanita jelita (Mariana Renata) dan Joni menanyakan namanya. Tapi perempuan itu hanya akan memberitahukannya kalau Joni dapat mengantarkan roll-roll film tepat waktu hingga film yang ditonton tidak putus di tengan jalan. Di sinilah dedikasi Joni sebagai pengantar rol film diuji, satu hari penuh dengan momen-momen random, motornya dicuri, membantu persalinan istri supir taksi, dipaksa menjadi figuran film, tas rol filmnya di jambret, mendadak jadi pemain drum untuk sebuah band audisi, dan momen menarik lainnya. Film yang rilis di 28 April 2005 ini, sukses menyabet 2 penghargaan dalam Festival Film Indonesia 2005 dalam kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Gito Rollies) & Penyuntingan Terbaik (Yoga Krispratama). Ada Apa dengan Cinta? (2002): "Ressurection Totem" Perfilman Indonesia Sebelum Cinta dan Rangga mengharu biru sebagai pasangan idola baru remaja Nusantara pada eranya, fakta bahwa perfilman Indonesia berada dalam fase "mati enggan hidup pun tak mau" kala itu tidak bisa dipungkiri. Tekanan dan serbuan film-film Hollywood serta keraguan akan kualitas film nasional saat itu yang masih belum mampu "tampil", menjadi momok besar yang membuat para sineas mungkin berpikir berkali-kali untuk memproduksi sebuah karya. Hingga datanglah Ada Apa Dengan Cinta? lewat tangan dingin Rudy Soedjarwo. Mengangkat cerita klise percintaan remaja SMA, AADC? justru membawa tayangan yang segar dan menghibur karena kedekatan ceritanya dengan realita sehari-hari. Ada Apa Dengan Cinta? seolah menjadi totem yang mengumpulkan kembali segenap roh perfilman nasional yang sempat mengambang dan terombang-ambing tak tentu arah. Gairah masyarakat untuk datang ke bioskop dan menyaksikan kembali film Indonesia mulai terpupuk kembali dengan adanya Ada Apa Dengan Cinta?. Kepopuleran AADC? serta euforianya bahkan masih terasa hingga kini, dan akhirnya Miles Production menggarap sekuel film fenomenal ini untuk ditayangkan pada 28 April mendatang. Dibalik purnama yang selalu ditunggu Cinta dan Rangga, justru merekalah purnama bagi film Indonesia yang kala itu gelap gulita. Keramat (2009): Shooting Berbuntut PetakaKeramat merupakan film horror karya sutradara Monty Tiwa. Film ini mengangkat kisah mengenai sekelompok kru film yang melakukan pra shooting di daerah Yogyakarta sebelum tragedi gempa Bantul terjadi. Melibatkan tim behind the scene, seluruh acara dan kegiatan tim tersebut selama melakukan kegiatan disana direkam. Disinilah film Keramat menjadi berbeda dengan film horror Indonesia yang lain. Monty Tiwa sang sutradara menggunakan teknik found footage untuk mengambil gambar film ini. Karena sifatnya yang seolah-olah dokumenter, film ini mengalir apa adanya. Selain itu film ini pun dibuat tanpa skenario sehingga segala sesuatunya diarahkan langsung oleh Monty Tiwa, sang sutradara yang juga turut berperan sebagai juru kamera bernama Cungkring. Proses pengambilan gambar tanpa skenario tersebut berbuah manis, hal ini membuat atmosfer ketika menyaksikan Keramat terasa nyata, terlebih ketika film memasuki bagian tengah hingga akhir cerita, yaitu saat hal-hal mistis mulai banyak tertangkap dalam kamera. Sebagai salah satu pemrakarsa film Indonesia dengan teknik pengambilan gambar secara found footage, Keramat membawa pengalaman tersendiri saat kita menyaksikannya. Rumah Dara (2010): "Texas Chainsaw Massacre" ala Indonesia Pecinta film dengan genre slasher pastilah dibuat orgasme oleh Mo Brothers lewat film karya mereka yang satu ini. Mengambil setting di sebuah rumah yang seolah terisolir, film ini menceritakan sekelompok orang yang berada pada situasi wrong place, wrong time ketika salah satu dari mereka membujuk untuk mengantar seorang gadis pulang ke rumahnya yang berlokasi di tempat yang cukup asing. Setibanya di rumah tersebut, tiba pulalah teror yang menghantui mereka ketika mereka sadar bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kanibal. Akting dari Shareefa Daanish patut diacungi jempol dalam film ini. Berperan sebagai Dara, Shareefa mampu menghadirkan kengerian seorang psikopat pemakan manusia. Rumah Dara merupakan pelopor film dengan genre slasher. Karena film dengan genre ini belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Film ini pun didistribusikan ke luar negeri dengan judul Macabre, dan berhasil mendapat apresiasi yang cukup baik dari para penonton dan kritikus. The Raid: Redemption (2011): A Beautiful ChaosThe Raid memang bukan 100% film anak bangsa, karena disutradarai oleh Gareth Evans, pria berkebangsaan Wales. Namun ini tidak serta merta mengubur fakta bahwa The Raid merupakan salah satu milestone dalam perfilman Indonesia. Ketika film lokal dilanda kejenuhan dengan genre cinta dan horor berbalut komedi "dada dan paha", Gareth Evans menyajikan The Raid sebagai pelipur dahaga. Film yang mengangkat beladiri pencak silat ke kasta yang tinggi ini berhasil menyihir, bukan hanya khalayak film Indonesia, tapi juga mancanegara. Film ini sempat menduduki peringkat 11 di box office internasional. Keistimewaan dari film ini tidak lain adalah adegan laganya yang amat intens dan breathtaking. Kemampuan pencak silat dari Iko Uwais betul-betul diperagakan dengan sempurna di film ini. Teknik pengambilan gambar dengan pemanfaatan ruang sempit pun dilakukan Evans dengan cukup baik, dengan setting tempat yang "terbatas", film ini mampu mengepakkan sayap melampaui batas. Bahkan berkat film ini, beberapa aktornya seperti Iko Uwais dan Joe Taslim, berkesempatan untuk turut andil dalam beberapa film box office Hollywood. Dibalik filmnya yang penuh dengan chaos, The Raid menghadirkan keindahan tersendiri, baik bagi kru dan pemerannya, maupun bagi perfilman Indonesia. Laskar Pelangi (2008): Perjuangan dalam Keterbatasan Film adaptasi novel karya Andrea Hirata ini bercerita tentang sekelompok anak dari sekolah SD Muhammadiyah di daerah Belitung, yang memiliki cita-cita dan mimpi besar walaupun dalam keterbatasan. Sebuah cerita sederhana dengan sisi humanis yang begitu nyata karena mengandung nilai-nilai moral yang bisa menjadi contoh untuk para generasi muda penerus bangsa. Film yang disutradarai oleh Riri Riza dan ditulis Salman Aristo ini, berhasil tercatat sebagai salah satu film terlaris Indonesia dengan jumlah 4,6 juta penonton. Hebatnya film ini banyak memenangkan penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Laskar Pelangi tak hanya memikat dari segi cerita, tapi juga membuka mata para penontonnya akan keindahan alam yang dimiliki oleh Belitung. Berkat film ini, pamor Belitung jauh melesat dan mendongkrak sisi pariwisata provinsi Bangka Belitung. Poin ini bisa sebagai contoh bagaimana film bisa memiliki efek yang luar biasa. Apabila dipikir kembali, hal seperti ini bisa membantu memperkenalkan Indonesia lebih jauh ke khalayak luar, karena semenjak beberapa tahun terakhir, film-film Indonesia mulai dilirik oleh mancanegara. Ironisnya dalam beberapa tahun terakhir, banyak film Indonesia yang mulai memakai setting dan pengambilan gambar di luar negeri. Parahnya, hal itu seolah menjamur hingga kini. Berdoa saja, jangan sampai hal seperti ini membuat kita kembali ke masa jenuh. ***** Ya, itulah beberapa film yang memiliki pengaruh dalam perkembangan perfilman Indonesia. Oh ya, jangan salah, sebenarnya di luar daftar ini, masih banyak film yang juga tak kalah pentingnya.
Maju terus perfilman Indonesia! - Kutu Film
0 Comments
|
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|