Tahun 2016 lalu, nama Indonesia menjadi harum pada salah satu festival film terbesar dunia. Film Prenjak (In the Year of Monkey) karya sutradara Wregas Bhanuteja, terpilih sebagai film pendek terbaik di Semaine de la Critique 2016, Cannes. Prenjak berhasil memenangkan Le Prix Découverte Leica Cine untuk film pendek terbaik. Dipilih dari 10 film yang diputar dalam kompetisi, hasil penyaringan 1500 film pendek yang dikirim ke panitia festival.
Prenjak sendiri berkisah soal Diah (Rosa Sinegar) yang sedang membutuhkan uang. Ia mendatangi Jarwo (Yohanes Budyambara) untuk menawarkan batang-batang korek api dengan harga tinggi, demi dipakai untuk melihat kemaluan Diah. Meraih kemenangan di Festival sekaliber Cannes tentunya bukan perkara mudah dan butuh konsistensi serta semangat tak kenal lelah. Yuk, langsung saja kita simak 5 fakta tentang Wregas Bhanuteja. 1. Cinta Seni Rupa & Bersinema Sejak SMA Cowok kelahiran 1992 ini berbeda dibanding kebanyakan siswa laki-laki lain di sekolahnya saat SMA. Ketika itu, Wregas sama sekali tak merasa punya bakat seperti teman-temannya yang doyan basket, musik, atau jadi anak band. Apalagi sains, atau ikut-ikutan olimpiade. “Akhirnya karena aku mencintai sastra dan seni rupa, maka aku merasa sinematografi adalah hal yang paling tepat untuk merangkum dua hal tersebut. Gambar dan suara. Saat itu ada ekstrakurikuler sinematografi, dan baru saja dibuka di sekolahku. Maka aku langsung memutuskan untuk masuk ke ekstrakurikuler itu.” Setelahnya, Wregas mulai rajin bikin film pendek di SMA. Film pertamanya masa itu berjudul Muffler, dibuat pada tahun 2008. Film itu menceritakan kegelisahan seorang pemuda terhadap bisingnya suara knalpot motor. Kamera yang digunakan juga belum canggih, yakni masih memakai handycam kecil sederhana. Tanpa diduga, film Muffler bikinan Wregas masuk ke 8 besar dalam Festival Film Pendek Tawuran! dari Yayasan Konfiden Jakarta. Wregas dan teman-teman yang terlibat dalam pembuatan film lantas berangkat ke Jakarta dari Jogjakarta untuk berfestival. 2. Sempat Dilarang Kuliah Film Di pertengahan kelas 3 SMA, saat dirinya sudah yakin bahwa bakatnya adalah di bidang film, Wregas memutuskan untuk kuliah di Institut Kesenian Jakarta alias IKJ, Fakultas Film dan Televisi. Sayangnya, pilihan itu tak disetujui orang tuanya. “Iya, mungkin karena mereka kurang percaya bahwa kesenian dan film adalah jalan yang tepat untukku. Karena hal itu, akhirnya aku menghabiskan masa SMA dengan bikin film sebanyak-banyaknya, untuk membuktikan pada mereka bahwa inilah jalan yang kupilih.” jelas Wregas. Omongan itu pun kemudian dibuktikan dengan kegigihan. Wregas jadi rajin bikin film, rutin bawa handycam ke sekolah, dan merekam segala kegiatan dan aktivitas di situ. Hingga tiba waktu kelulusan, Wregas menyatukan segala rekaman menjadi sebuah film yang faktanya, berhasil membuat semua temannya menangis dan terharu. Total 10 film pendek sederhana yang dibuat Wregas semasa SMA, dan salah satunya yang berjudul AKU menang di juara 1 Kompetisi Film Pendek Psymotion Yogyakarta. Kemenangan ini pun menghantarkan Wregas pada restu orang tuanya untuk berkuliah di IKJ. “Ibu hanya bilang, ‘kamu udah berjuang untuk membuktikan ke Bapak Ibu, ya maka selanjutnya terus buktikan itu di jalan yang kamu pilih ya.’” tutur Wregas 3. Langganan Ikut Festival Konsistensi Wregas yang diiringi restu orang tua pun turut membimbing cowok yang pernah berambut gondrong ini berkelana dengan film-filmnya ke berbagai festival. Senyawa, yang dibuatnya tahun 2012, pernah ikut serta dalam Freedom Film Festival, Malaysia di tahun 2013. Lembusura di tahun 2014, telah unjuk kebolehan di 65th Berlin international Film Festival – Berlinale Shorts Competition (2015), 39th Hong Kong International Film Festival (2015), Imagine Science Film Festival, New York (2015), dan Asian Film & Video Art Forum, Seoul – South Korea (2015). Film Lemantun yang juga dituntaskan tahun 2014 pernah tampil di China’s Asia MicroFilm Art Festival (2015) serta menjadi pemenang di XXI Short Film Festival (2015). Yang terbaru, The Floating Chopin (2015) berkompetisi di Hong Kong International Film Festival 2016. 4. Terlibat Dalam 'Ada Apa Dengan Cinta? 2' Selain bikin film pendek yang begitu banyak menoreh prestasi, ternyata Wregas juga merupakan orang di balik pembuatan video-video behind the scene dari film Indonesia paling diantisipasi tahun lalu, AADC? 2. Jadi, kalau ada yang terbawa-bawa perasaan meski baru nonton video proses syuting AADC? 2, itu ternyata tak lepas dari kerja tangan seorang Wregas, yang kini jadi sutradara pertama Indonesia yang menang di Cannes. 5. Sosok Yang Dikagumi Teman-Temannya Ketika mendengar kemenangan film Prenjak di Semaine de la Critique, wajar kalau teman-teman satu SMA-nya di Kolese De Britto Yogyakarta langsung bersorak bangga. Salah satunya adalah Norman Mahardhika yang langsung menyebarkan berita bahagia itu kepada orang-orang terdekat yang dikenalnya. Ketika ditanya soal sosok Wregas di mata teman dekatnya ini, Norman pun menuturkan satu pendapat, “Dia itu cinta budaya Jawa. Berani ambil langkah untuk berkesenian, banyak baca, dan lebih mementingkan esensi daripada hasil materi yang bisa didapat. Rendah hati lah pokoknya.” Penuturan itu pun dapat kita lihat sendiri buktinya ketika melihat foto Wregas dan tim film Prenjak yang berbusana Jawa saat ajang penganugerahan digelar di Cannes, Prancis. Padahal nih, katanya di sana itu gerah banget, dan kostum Jawa-nya tetap dipakai meski (mungkin) bikin gerah. Salut! -- FYI, Saat ini Wregas sedang mempersiapkan naskah untuk film baru setelah mendapat pelatihan di Perancis Desember tahun lalu. Sukses terus ya untuk proyek-proyek mendatang dari Wregas, dan semoga semakin banyak bermunculan Wregas-Wregas baru di tanah air! Sumber: HAI Online, AntaraNews, BBC Indonesia - Kutu butara
0 Comments
Berbicara tentang film Indonesia, tentu kita tak bisa mengesampingkan kehadiran film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Sebuah film ambisius dari sang pemimpin kala itu, Soeharto. Film yang telah menjadi propaganda besar dan berlangsung selama kurang lebih 13 tahun, sebelum akhirnya beliau mundur dari jabatannya.
Film ini muncul pada tahun 1984 dari hasil buah karya Arifin C. Noer, salah satu sineas terbaik Indonesia yang pernah ada. Ya atau tepatnya 19 tahun setelah peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Pengkhianatan G 30 S PKI adalah film komersil pertama yang menampilkan kejadian tahun 1965 tersebut, ya dengan versi yang diakui pemerintah tentunya. Meski memiliki durasi hingga 4 jam lebih dan banyak mengandung adegan kekerasan, pemerintah kala itu mewajibkan rakyat untuk menontonnya. Ironisnya, anak-anak sekolah pun tak lepas dari kewajiban dari menyaksikan film ini. Bukan hal aneh jika pada akhirnya film ini memecahkan rekor penonton hingga nyaris mencapai 700 ribu orang. Di tahun yang sama dengan perilisannya, pemerintah Orde Baru memutuskan untuk menggunakan Pengkhianatan G 30 S PKI sebagai propaganda. Caranya dengan menayangkan film ini di setiap tanggal 30 September. Nieke Indrietta, jurnalis Tempo, dalam tulisannya menyatakan bahwa film ini disiarkan oleh jaringan TVRI milik negara dan juga stasiun swasta setelah didirikan. Bahkan dari survei yang dilakukan majalah Tempo pada tahun 2000 juga membuktikan bahwa sekitar 97 persen dari 1101 siswa yang disurvei telah menyaksikan film ini. Sekitar 87 persen di antaranya menontonnya lebih dari dua kali. Ya, saya juga termasuk ke dalamnya. Jika ditanya apakah film ini hanya satu-satunya senjata dari pemerintah terkait peristiwa 1965? Tentu tidak. Lalu apakah propaganda lewat film ini berhasil? Mungkin bisa dibilang begitu. Sen dan Hill dalam bukunya yang berjudul Media, Culture and Politics in Indonesia juga mengungkapkan di akhir 1980-an hingga awal 1990-an, sedikit sekali perdebatan tentang akurasi sejarah yang ada di film Pengkhianatan G 30 S PKI. Bahkan bisa dibilang film ini menjadi satu-satunya yang diperbolehkan dalam wacana terbuka. Hal itu juga menjadi parah karena film ini menjadi satu-satunya pedoman orang-orang tentang peristiwa 30 September 1965. Namun di pertengahan 1990-an, mulai muncul publikasi-publikasi kecil dan beberapa komunitas yang mempertanyakan isi dari film ini. Ada sebuah pertanyaan menarik yang terlontar dari milis atau grup di internet kala itu, “Jika hanya sebagian kecil dari kepemimpinan PKI dan agen militer mengetahui kudeta seperti di film, bagaimana bisa lebih dari satu juta orang tewas dan ribuan orang harus dipenjarakan, diasingkan, dan kehilangan hak-hak sipil mereka?” Untuk menjawab pertanyaan itu, Sen dan Hill memiliki pendapat yang menarik. Mereka menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa Arifin C. Noer memang telah menyadari maksud pemerintah untuk menjadikan film itu sebagai propaganda. Dengan demikian dia membuat semacam “pesan politik” yang menentang dalam film ini. Akhirnya film ini pun dihentikan seiringan dengan jatuhnya era Orde Baru. Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengatakan film ini tak akan diedarkan lagi, dengan alasan berbau rekayasa sejarah dan pengkultusan Soeharto. Meski menjadi karya paling kontroversial dari Arifin C. Noer, namun dirinya tetap menuai apresiasi dari hasil kerjanya. Hal tersebut terutama dari visualnya yang bisa dibilang mengagumkan. Seperti yang diungkapkan oleh Hanung Bramantyo, “Shot big close-up mulut-mulut sedang diskusi atau menghisap rokok, sangat menohok. Bayangkan saja, di layar besar semua gelap. Hanya mulut yang tampak. It's brilliant.” Selain itu ada pernyataan menarik dari buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup D’etat in Indonesia, karya John Roosa. Menurutnya, film Pengkhianatan G 30 S PKI seolah mengalahkan dirinya sendiri. Karena penggambarannya yang jauh dari kenyataan, yaitu fakta bahwa operasi kudeta ini dipimpin oleh orang-orang yang “keheranan, ragu-ragu, dan tidak terorganisir”. Kini kita semua tahu bagaimana sebuah film ternyata juga bisa memberi pengaruh yang begitu besar. Tak bisa dipungkiri juga bahwa Pengkhianatan G 30 S PKI selalu melekat dalam sejarah perfilman Indonesia. Bagi yang belum tahu, boleh saja menontonnya. Namun kalian juga jangan pernah lupakan apa tujuan utama dari film ini. - Kutu Kasur Sutradara: Jordan Vogt-Roberts
Penulis: Dan Gilroy, Max Borenstein, John Gatins Pemain: Tom Hiddleston, Samuel L. Jackson, Brie Larson, John C. Reilly, dan John Goodman Durasi: 111 Minutes Genre: Action, Adventure, Fantasy Kaget! Takut! Ngos-ngosan! Itu yang akan kalian rasakan saat menyaksikan film Kong: Skull Island ini. Gambaran tentang hal yang kalo kalian pikir, "Ah ini mah enggak mungkin terjadi, cuma mitos ini," tapi setelah nonton kalian akan terbesit pikiran "njiir, logis juga ya ini cerita, mungkin aja beneran ada hal kaya gitu dibelahan Bumi ini". Asli ngeri banget deh. Nah, Kong: Skull Island ini secara tempo cerita sangat dinamis dan tidak bertele-tele di awal. Asik banget pembabakannya. bayangkan saja dengan tempo cerita seperti itu, film ini juga banyak menambahkan kejutan-kejutan seru di tengah-tengah adegan. Kejutan-kejutan digambarkan dengan sangat halus, kalian tidak akan menyangka kapan kejutan itu muncul. Deretan pemain yang berperan dalam film ini menurut saya sih "so-so" ya. Tidak terlalu jelek dan tak terlalu bagus juga, pas pokoknya. Hal yang sangat disayangkan yaitu akting Tom Hiddleston sebagai aktor utama di film ini. Ia kurang berhasil berperan sebagai seorang pemimpin, kurang greget aktingnya. Malah beberapa pemeran pendukung di film ini yang kelihatan menonjol dan sangat membantu melengkapi rasa film ini. Ada beberapa aktor pendukung yang dengan perannya berhasil memunculkan sense of humor di film ini. Secara cerita film ini tidak berat untuk ditonton bahkan sangat ringan. Konflik dimulai saat pertengahan cerita, di mana ada perbedaan pemahaman antara kapten Packard dan veteran perang Marlow. Konflik ini yang bikin kita sebagai penonton merasa geregetan. Peluang emas untuk misi penyelamatan diri harus rela dikompromikan demi rasa solidaritas dan prinsip militerisme. Nah, pada akhirnya konflik perbedaan pemahaman ini terselesaikan dengan memahami situasi yang ada pada pulau (Skull Island) tersebut, di mana keseimbangan ekosistem memang harus dijaga. Keren deh pesan dalam film ini! Bisa menyadarkan kita sebagai manusia untuk tidak sembarangan dan sok jadi yang paling kuat. Kekurangan dalam film ini, buat kalian semua penikmat efek visual yang smooth, clean, dan modern pasti kecewa. Efek visual yang ditampilkan bukan jelek atau sangat buruk, ya tidak sampai sebegitunya. Hanya saja seharusnya masih bisa lebih dimaksimalkan. Hebatnya, kekurangan ini sangat berhasil ditutupi dengan plot pembabakan adegan yang dinamis dan juga kejutan-kejutan yang ada. Jadi tetap sangat bisa dinikmati. Oh iya, kalau dari segi sinematografinya, adegan terbaik adalah ketika tim ini berhasil tiba di Skull Island. Banyak gambar-gambar ciamik pada adegan ini. Untuk yang lain menurut saya ya biasa saja gambarnya. Segitu saja deh reviewnya, sisanya silakan tonton langsung di bioskop. Film Kong: Skull Island ini sangat menghibur kok, cocok untuk nonton bareng temen-temen geng kalian. *Catatan: Jangan buru-buru beranjak pas film selesai ya. Karena di film ini ada after credit scene-nya! Rating: 7/10 - Kutu Biru Sutradara: Dean Israelite
Penulis: John Gatins Pemain: Dacre Montgomery, Naomi Scott, RJ Cyler, Becky G, dan Ludi Lin Durasi: 124 Menit Genre: Fantasy, Action, Superheroes Siapa di sini yang pernah menjalin hubungan jangka panjang, kemudian harus bertemu dengan finish line? Faktanya, kita semua tentu pernah mengalaminya di setiap fase hidup. Hubungan di sini tidak terbatas antar kekasih. Bisa jadi hubungan jangka panjang dengan suatu lingkungan, teman, sahabat, peliharaan, atau bahkan benda. Tentunya setiap awalan selalu memiliki akhiran bukan? Sekolah akan lulus, teman mungkin akan "menyusut", sahabat akan berpencar, peliharaan mungkin sudah bahagia di alamnya yang lain, dan benda tentunya bisa rusak. Tetapi, seperti kata kebanyakan orang, "life must go on". Sebagian besar dari kita mungkin sudah berjalan amat jauh, beberapa mungkin masih sesekali melihat ke belakang. Namun pada intinya kita tetap berjalan ke depan dan menganggap semua yang di belakang adalah kenangan. Begitu pula dengan Power Rangers. Power Rangers, khususnya seri Mighty Morphin, adalah seperempat bagian dari hidup saya ke belakang. Masa kecil saya habis dengan berlarian seolah saya menggunakan kostum ranger merah, memaksakan diri ikut Tae Kwon Do demi bisa jungkir balik ala Tommy, dan menghabiskan beberapa saat di depan cermin untuk membelah tengah rambut ala Andy Lau, berharap bertemu dengan cewek seperti Kimberly. Saya ingat bagaimana begitu gandrung melengkapi diri dengan segala hal mengenai Power Rangers. You name it; pulpen, mug, botol minum, piring, tas, buku, jam tangan, kaos, hingga celana dalam wajib memiliki setidaknya logo atau memiliki elemen helm dan kostum dari para rangers. Belum lagi pernak-pernik mulai dari topeng, mainan, kartu, dan poster yang juga harus saya koleksi. Saya sempat murung berhari-hari akibat tidak bisa datang langsung ke event Live Show di Jakarta medio 90-an. Namun saya juga pernah berjingkrakan keliling ruang keluarga ketika tahu bahwa Power Rangers akan diangkat ke layar lebar. Sesuatu yang bermuara pada perburuan bioskop keliling Kota Hujan demi menyaksikan keenam anak sma membasmi seorang (atau seekor?) monster jelly ungu bernama Ivan Ooze beberapa tahun setelahnya. Kemudian saya pun tumbuh. Perlahan cita-cita saya untuk menjadi ranger merah berganti menjadi cita-cita yang lebih "wajar", dan kini menjalani hidup yang lebih realistis. Melangkah jauh dari semua memori tentang kisah para rangers juga kisah saya pribadi yang turut terlibat di sana. Tetapi kemudian, saya selalu yakin sejauh apapun kita melangkah, akan ada satu atau beberapa momen di mana kita akan diseret kembali ke dalam memori tersebut. Kita tidak menjalankan lagi memori itu, kita hanya diseret ke sana, baik melalui foto, video, surat, tulisan, mimpi, atau apapun untuk kemudian kita tertawakan, tangisi, dan yang jelas kita kenang. Pendeknya, kita bernostalgia. Itulah yang dilakukan oleh film berdurasi kurang lebih dua jam ini kepada saya yang sudah melebihi usia seperempat abad. Untuk kemudian mengubah saya kembali menjadi seorang bocah dengan cita-cita menjadi ranger merah seketika. Film ini sarat dengan elemen nostalgia. Memang bukan lagi diperankan oleh mereka-mereka yang dulu saya gandrungi, tetapi nama-nama karakter, serta sekelebat lagu tema "Go Go Power Rangers" sukses membuat mata saya berbinar seperti bocah. Saya memiliki dua penilaian di sini, baik secara subjektif dan objektif. Secara subjektif, sebagai orang yang (sempat) tergila-gila dengan franchise ini, saya menganggap Power Rangers berhasil menyajikan sebuah film yang cukup baik. secara mengejutkan. Power Rangers menyajikan kisah dengan latar belakang cerita masing-masing karakter yang cukup kuat. Tim produksi seolah mencoba merangsek dari dua sisi, mengajak generasi 90-an tenggelam dalam nostalgia, dan menjaring penggemar baru dari generasi milenia. Selain itu film ini seolah memiliki "misi sosial" tersendiri dengan memberi latar belakang beragam dari karakternya, yang bahkan seingat saya tidak diberikan sedetail itu dalam serialnya. Jason seorang bintang yang pemberontak, Zack seorang anak yang harus berjuang merawat ibunya yang sakit, Billy seorang yang didiagnosa menderita gejala autisme, Trini seorang yang ternyata "kaum pelangi", dan Kimberly seorang yang keras kepala dengan kompleksitas hidup ala remaja, seolah mencoba berkata pada penonton bahwa "everyone can be a hero". Namun secara objektif, sebuta apapun saya karena excitement, tidak dapat dipungkiri bahwa Power Rangers memiliki cukup banyak lubang di sana-sini. Kelemahan utama yang saya rasakan ialah pada penulisan naskahnya. Entah mengapa film yang sejujurnya diawali dengan cerita yang cukup kuat, kemudian terasa disusun secara terburu-buru untuk masuk ke adegan kunci. Setelah itu ada beberapa saat di mana film terasa berjalan terlalu lambat dan cukup membosankan. Sangat disayangkan, karena sebetulnya naskah film ini disusun oleh John Gatins, yang memiliki portofolio cukup mumpuni dalam beberapa judul yang pernah ia tangani, sebut saja Flight (2012) dan Real Steel (2011). Percakapan antar karakter pun terkadang terasa sedikit kaku dan kurang "feel". Alur film terkadang melompat tak beraturan. Camera works di satu sisi memberi sebuah sudut pandang unik untuk penonton, namun tidak jarang membuat perpindahan yang cukup kasar dan membuat pusing di sisi lain. Selain itu, Power Rangers terlalu overdosis dalam mengiklankan Krispy Kreme. Akting dari para pemeran pun mengalami fluktuasi yang cukup kentara sepanjang film. Ada beberapa adegan di mana Dacre Montgomery, Naomi Scott, RJ Cyler, Becky G, Ludi Lin, Bill Hader, Bryan Cranston, dan Elizabeth Banks terlihat prima, namun tidak jarang pula adegan yang membuat saya memicingkan mata. Scoring dari film ini pun saya rasa tidak dilakukan dengan baik. Beberapa musik pengiring tidak dimasukkan dengan pas sehingga terasa kurang mendukung sebuah adegan. Namun surprisingly, adegan pertempuran saya akui cukup smooth dan terlihat "cool". Pada akhirnya, film ini sejujurnya membelah saya menjadi dua. Di satu sisi sebagai fans saya cukup puas menyaksikannya, tetapi harus diakui bahwa bila kita penonton awam, yang datang kesini hanya karena penasaran, akan berkata "apaan sih nih gaje amat". Karena durasi film pun bagi saya kurang mampu dimanfaatkan untuk membuat film ini lebih baik lagi. But still, after all this time, I can't believe I could still say this line with a heart like kid; "It's Morphin Time!!" If you are a Power Rangers lover, this movie is somewhere between 7 and 8. Tetapi bagi penonton yang datang hanya untuk menonton film di akhir pekan tanpa memiliki background story dengan Power Rangers, saya harus mengakui bahwa 4,5/10 adalah angka dari saya. Catatan: Ada adegan mid credit. Jangan kemana-mana dulu setelah film berakhir. Jika kalian jeli, ada "kejutan" dalam adegan-adegan akhir. Rating: 4.5/10 - Kutu Klimis Sutradara: David MacKenzie
Penulis: Taylor Sheridan Pemain: Ben Foster, Chris Pine, Jeff Bridges Genre: Crime, Drama, Western Durasi: 1 Jam 42 Menit Kode Rating: R (Restricted) Tema heist yang ditawarkan sebuah film selalu membuat saya tertarik, karena saat itu juga, saya langsung membayangkan sebuah misi dari paket dlc rilisan game Grand Theft Auto V. Layaknya dalam misi awal paket rilisan dlc di GTA 5 tersebut, Hell or High Water menampilkan eksekusi sebuah perampokan bank cabang pembantu yang hanya dilakukan oleh kelompok kecil, sebut saja dua orang. Hell or High Water dikemas menjadi sebuah film heist dengan nuansa western yang cukup kentara, juga input materi drama keluarga yang terbilang proporsional. Teknis perampokannya pun tak sembarangan dan sangat memperhatikan keseluruhan detail, mulai dari waktu, uang apa saja yang boleh dicuri, hingga apa yang harus dilakukan selanjutnya ketika misi tersebut berhasil. Ben Foster dan Chris Pine berhasil menyajikan hubungan abang-adik yang erat dan saling melindungi, serta tak lupa diisi dengan humor ringan yang mampu membuat penonton ikut merasakan kehangatan sebuah keluarga dari dua karakter utama ini. Dari pemeran pendukung, saya pun terkesima dengan bentuk interaksi dan hubungan yang terbangun dari dua karakter polisi yang diperankan oleh Jeff Bridges dan Gil Birmingham. Obrolan seputar pekerjaan, kehidupan pribadi, serta ledekan-ledekan tentang masa depan, membuat keduanya seperti ‘tutor and tutee’ yang makin menguat karena kebersamaan mereka. Dengan alur yang tak terlalu lambat, David MacKenzie selaku sutradara, berhasil menjaga keseruan film ini dari awal dan terus meningkat hingga akhir. Lalu unsur apakah yang membuat Hell or High Water menjadi bukan sekedar film heist biasa? Dialah si penulis skrip, Taylor Sheridan. Setelah Sicario (2015), melalui Hell or High Water inilah, Sheridan meraih kematangan dalam kemampuannya menulis sebuah cerita yang berkualitas. Sheridan membuat film ini, yang menurut saya, tanpa celah. Dialog-dialog berkualitas pun tersaji di sepanjang film, tanpa sedikit pun filler. Adegan pengejaran hingga adu tembak, serta nuansa suspense ala Sicario pun tak malu-malu ditampilkan oleh Sheridan, dan menjadikan Hell or High Water sebuah film bergenre crime yang seimbang di berbagai lini. Endingnya pun dibuat manis, dengan ‘pertempuran’ pandangan melalui dialog halus namun saling serang. Akhir kata, Hell or High Water merupakan gambaran dari sebuah film yang dieksekusi dengan sangat baik, yang didapat dari kematangan skrip dan kekuatan dialog. ps: Pada Oscar 2017 kemarin, Hell or High Water masuk 4 nominasi. Best Picture, Best Supporting Role (Jeff Bridges), Best Original Screenplay (Taylor Sheridan), dan Film Editing. Sayangnya gak ada yang menang :( Rating: 8.5/10 - Kutu Butara |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|