Film dokumenter ini akan mengisahkan tentang sejarah perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Lebih tepatnya di Pulau Banda, Maluku. Selain mengulik seputar rempah-rempah, film ini juga akan membahas beberapa hal yang terjadi di Banda. Seperti peristiwa genosida dan konflik agama pada 1999. Juga bagaimana Banda menjadi saksi awal kolonialisme dan tempat pembuangan para tokoh perjuangan Indonesia. Film ini adalah hasil karya Sheila Timothy, selaku produser dan sutradara Jay Subiakto. Nantinya, film ini akan dirilis dengan dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Ario Bayu akan bertindak sebagai narator bahasa Inggris dan Reza Rahardian sebagai narator untuk bahasa Indonesia. Banda: The Dark Forgotten Trail akan rilis pada 3 Agustus mendatang. - Kutu Kasur
0 Comments
Ada hal miris yang terlihat dari perfilman Indonesia pada bulan Juni lalu. Ya, lagi-lagi film-film Indonesia harus mengalah dengan berbagai film Hollywood.
Mengalah yang saya maksud adalah dalam hal jadwal tayang di bioskop. Seperti yang kita tahu, bulan Juni adalah waktu di mana studio-studio besar Hollywood akan menayangkan film-film “terbaiknya”. Salah satu alasannya adalah di Amerika dan Eropa, Juni memang identik dengan awal musim panas dan menjadi periode liburan. Maka wajar saja jika berbagai studio bersikeras untuk bersaing meraup keuntungan besar di bulan Juni. Jika melihat film-film Hollywood yang hadir di Indonesia pada Juni lalu, memang agak sulit untuk membayangkan film Indonesia bisa unggul atau bahkan sekadar memberi perlawanan. Kita pun tentu masih ingat bagaimana bioskop-bioskop yang isinya hanya Wonder Woman atau Transformers: The Last Knight. Belum lagi masih ada beberapa judul lain seperti Pirates of the Carribean: Salazar’s Revenge, The Lost City of Z, dan The Mummy yang masih turut meramaikan. Film Indonesia pun akhirnya secara total hanya menghadirkan 5 judul film selama bulan Juni. Mereka adalah Mantan, Surat Kecil untuk Tuhan, Sweet 20, Insya Allah, Sah!, dan Jailangkung. Ironisnya, dari lima judul film tersebut, empat di antaranya dirilis pada tanggal yang sama, yaitu 25 Juni atau bertepatan dengan Idul Fitri. Dari lima film, hanya Mantan yang berbeda tanggal rilisnya. Film yang disutradarai oleh Svetlana Dea itu rilis pada 8 Juni. Tentu sang produser sendiri paham betul risiko yang akan dihadapi apabila bersikukuh merilis di tanggal tersebut. Gandhi Fernando, sang aktor yang juga bertindak sebagai produser, sadar bahwa secara otomatis film Mantan akan berhadapan langsung dengan film-film besar Hollywood. Keputusan itu diakuinya bukan hanya modal nekad saja. Pria jebolan New York Film Academy tersebut pernah mengungkapkan pada tabloid Bintang, “Saya sudah punya rencana merilis film-film lain di semester kedua 2017, seperti Zodiac: Apa Bintangmu, Dongeng Mistis, dan Visionary. Jika Mantan diundur hingga Agustus, misalnya, maka jadwal rilis film-film tadi otomatis juga mundur hingga awal tahun depan.” Hasilnya, film Mantan mau tak mau bersaing langsung dengan Wonder Woman yang merajai bioskop Indonesia. Belum lagi masih ada Pirates of the Caribbean dan The Mummy. Film yang diproduksi oleh Renee Pictures tersebut juga akhirnya hanya menarik sekitar 21 ribu penonton saja. Bisa dibilang, hadirnya film Indonesia di bulan Juni sangat terbantu dengan bertepatannya Idul Fitri 1438 H. Pasalnya, di Indonesia sendiri Idul Fitri menjadi hal unik bagi perfilman nasional. Dengan hadirnya masa liburan, biasanya momen ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang untuk ke bioskop sebagai alternatif hiburan. Hal tersebut memang berpengaruh terhadap jumlah penonton yang hadir. Bahkan pada tahun 2016 lalu, dua “film lebaran” yang hadir di awal Juli, berhasil menembus satu juta penonton, yaitu Koala Kumal dan ILY form 38.000 Ft. Belum lagi film Sabtu Bersama Bapak dan Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea juga menarik banyak perhatian. Untuk di bulan Juni 2017, hingga tulisan ini dibuat, total penonton film-film Indonesia mencapai angka 2.896.841. Angka yang jauh dari kesan buruk menurut saya. Di antara kelima film tersebut, Jailangkung yang paling laris dengan 1.406.556 penonton. Ya, angka ini masih akan terus bertambah setidaknya sebelum bioskop dijajah oleh Spider-Man: Homecoming hari Rabu besok. Lalu bagaimana dengan potensi film-film Indonesia di bulan Juli ini? Tentu kita tak ingin paceklik terjadi lagi pada film Indonesia. Dari segi jumlah, kali ini meningkat satu judul dibanding Juni lalu. Ada 6 film yang siap menemani selama Juli ini, mereka adalah Bukan Cinta Malaikat, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody, Mars Met Venus (Part Cewek), The Doll 2, Petak Umpet Minako, dan TEN: The Secret Mission. Selain itu, yang menyenangkan adalah kemungkinan besar jadwal perilisan akan kembali pada tiap hari Kamis. Ya, terkecuali untuk tanggal 6 nanti, tidak akan ada film Indonesia terbaru yang hadir. Hal ini adalah strategi yang tepat dari para studio. Pasalnya, memilih waktu tayang hanya sehari berselang setelah Spider-Man: Homecoming muncul, sama saja dengan bunuh diri. Jadi, film Indonesia yang baru akan hadir mulai 13 Juli nanti. Dari deretan judul di atas, bulan Juli ini memang menarik. Alasannya karena film-film tersebut berasal dari berbagai genre. Ada drama, komedi, horor, hingga film laga. Secara sekilas, kemungkinan besar Filosofi Kopi 2: Ben & Jody akan menarik banyak perhatian jika dibandingkan dengan yang lain. Filosofi Kopi 2: Ben & Jody garapan Angga Dwimas Sasongko ini adalah film yang terinspirasi dari cerita karangan Dewi Lestari dengan judul yang sama. Yang membuatnya berbeda adalah di film yang kembali dibintangi oleh Chicco Jerikho dan Rio Dewanto ini menyajikan cerita yang berdiri sendiri. Seperti yang diungkapkan Dee, “Mereka hanya memakai karakter Ben dan Jody dari cerpen saya. Sementara dari segi cerita murni hasil pengembangan para penulis naskah film.” Film tersebut juga semakin menarik dengan hadirnya karakter wanita Brie dan Tarra, yang masing-masing akan diperankan oleh Nadine Alexandra serta Luna Maya. Selain itu, film yang unik adalah Mars Met Venus (Part Cewek). Film garapan Hadrah Daeng Ratu tersebut mengingatkan pada The Disappearance of Eleanor Rigby. Film yang rilis pada 2013 tersebut juga memiliki tiga bagian, ‘Him’, ‘Her’, dan ‘Them’. ‘Him’ dan ‘Her’ bercerita dari sudut pandang masing-masing individu, sedangkan ‘Them’ yang dirilis satu tahu kemudian adalah versi yang telah diedit dari kedua film sebelumnya. Yang berbeda adalah cerita Mars Met Venus memuat unsur komedi dan dirilis dalam waktu yang berbeda. Sedangkan The Disappearance of Eleanor Rigby ditayangkan dalam waktu yang bersamaan. Ya, film drama komedi yang dibintangi oleh Ge Pamungkas dan Pamela Bowie tersebut tentunya menarik untuk dipantau. Bulan Juli ini juga hadir film dari sutradara Billy Cristian, yaitu Petak Umpet Minako. Sosok yang mencuri perhatian dari film Tuyul Part 1 dan Rumah Malaikat ini kembali menggarap film horor. Film ini adalah adaptasi dari cerita yang dikarang oleh penulis wattpad @manhalfgod. Billy menyatakan bahwa film Petak Umpet Minako tak hanya sekadar horor semata, “Film ini tak cuma menawarkan kisah horor saja tapi ada kontennya. Ini gambaran anak muda sekarang yang peduli dengan cita-cita mereka. Intinya film ini tentang persahabatan, cinta, dan cita-cita. Saya akan berusaha setia dengan versi novelnya karena tidak mau elemen-elemen yang membuat menarik itu hilang. Tapi novel dan film itu beda, jadi pasti ada yang harus disesuaikan. Kalau di persentasi ya 80% filmnya akan sama dengan novelnya." **** Ya, film Indonesia di bulan Juli memang menarik. Berasal dari berbagai genre dengan keunikan dan potensinya masing-masing, tentu film-film tersebut akan memberi alternatif pilihan tontonan bagi kita. Namun tetap harus diingat, bahwa bulan Juli akan ada saingan berat dari film-film Hollywood. Selain Spider-Man: Homecoming, masih ada karya Christoper Nolan, Dunkirk. Lalu jangan lupakan War for the Planet of the Apes dan Valerian and the City of a Thousand Planets. Meski berat, harapan saya sih sederhana saja sebenarnya, semoga film Indonesia bisa memberi perlawanan di bioskop nantinya. Ya, dan mengembalikan ketertarikan saya untuk ke bioskop. Terutama setelah beberapa minggu lalu bioskop hanya diisi oleh Transformers: The Last Knight. Sumber: Beritagar, Bintang, FilmIndonesia, dan 21cineplex - Kutu Kasur 'Istirahatlah Kata-Kata' dan 9 Film Lainnya akan Dipromosikan Pavilion Indonesia di Cannes21/5/2017 Dilansir dari Antara News, total ada 10 film yang akan turut dipromosikan Pavilion Indonesia di International Village Pantiero, bagian dari Cannes Film Festival yang berlangsung dari 17 sampai 28 Mei nanti.
Berikut adalah 10 film yang akan dipromosikan: 1. Istirahatlah Kata-Kata - Yosep Anggi Noen 2. Athirah - Riri Riza 3. Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak - Mouly Surya 4. Pantja-Sila: Cita-Cita & Realita - Tino Saroengallo & Tyo Pakusadewo 5. Sekala Niskala (The Seen and Unseen) - Kamila Andini 6. Rudy Habibie - Hanung Bramantyo 7. Danur: I Can See Ghosts - Awi Suryadi 8. Koala Kumal - Raditya Dika 9. Cek Toko Sebelah - Ernest Prakasa 10. Critical Eleven - Monty Tiwa Joshua Simanjuntak, Deputi Bidang Pemasaran Badan Ekonomi Kreatif, menyatakan bahwa pemilihan film dari berbagai genre dilakukan berdasarkan rekomendasi dari berbagai pihak. Mulai dari Persatuan Penyelenggara Film Indonesia, Persatuan Industri Film Indonesia, Asosiasi Produser Film Indonesia, Asosiasi Produsen Film Gerak Indonesia, hingga Asosiasi Perusahaan Film Indonesia turut memberi pengaruh dalam pengambilan keputusan tersebut. Selain mengadakan pemutaran film, Paviliun Indonesia juga membuka panel diskusi dengan beberapa pihak. Salah satunya adalah Screen International yang akan membahas lokasi pemotretan dan produksi di Indonesia, dengan pembicara George Zakk. Ada juga diskusi dengan Variety untuk membahas pembiayaan dan distribusi film. Diskusi ini akan menampilkan Isabelle Glachant (Asian Shadows - Hongkong), Dellawati Wijaya (Kepala Konten Hooq Indonesia) dan Meiske Taurisia (Produser Film). Sumber: Antara News - Kutu Kasur Sutradara: Monty Tiwa, Robert Ronny
Penulis: Monty Tiwa, Jenny Jusuf, Ika Natassa Pemeran: Adinia Wirasti, Reza Rahadian, Astrid Tiar, Hamish Daud, dan Hannah Al Rashid Genre: Drama Durasi: 135 menit Reza Rahadian akhirnya kembali meramaikan belantika perfilman tanah air setelah vakum selama kurang lebih 2 minggu sejak Kartini dirilis. Dua minggu? Tentu dua minggu itu waktu yang lama bagi seorang Reza Rahadian. Saya ingat di tahun lalu film yang ia bintangi atau paling tidak ia ikut terlibat, hampir bersahut-sahutan di bioskop, terlebih sebelum Kartini dirilis, cukup lama nama Reza tidak tercatat dalam kredit para pemeran. Critical Eleven menjadi salah satu dari 3 film yang tercatat akan ia bintangi di tahun ini. Dipasangkan kembali bersama Adinia Wirasti setelah sebelumnya berpasangan dalam film Kapan Kawin, mereka disebut-sebut sebagai pasangan on screen dengan chemistry melebihi Mickey dan Minnie Mouse. Critical Eleven adalah film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Ika Natassa. Novel? Hmm, tentu Kawan Kutu yang terbiasa membaca review saya akan tahu bahwa saya tidak akan membandingkan buku dan novelnya. Jadi tenang saja, saya tidak akan menghabiskan waktu membedah adegan untuk menyandingkannya dengan deskripsi dalam halaman. Satu hal yang tertangkap dari film ini, bahkan ketika baru berjalan selama 10 menit, film ini dibuat hanya untuk mereka yang peka. Ya, hanya untuk mereka yang memiliki daya investigasi mendalam serta intuisi untuk mengaitkan adegan demi adegan dengan detail. Bagaimana tidak? Ketika film masih dalam periode prolog, kita mendadak sudah ditarik dalam untuk berpindah setting cerita. Saya bahkan sempat terperanjat ketika adegan pembuka langsung berpindah ke adegan inti tanpa ada pengantar sebelumnya. Saya sempat merasa bahwa sepertinya ada bagian film yang terhapus sehingga alur melompat begitu jauh. Bahkan saya sempat berharap 30 menit film berlalu, itu adalah khayalan dari salah satu pemeran utama untuk kemudian penonton ditarik kembali ke adegan awal dan diberi penuturan cerita yang lebih santai. Tetapi ternyata tidak. Betul-betul membutuhkan analisa tajam dan daya investigasi kuat sekelas Kogoro Mouri untuk tetap mengikuti alurnya. Menit-menit berikutnya pun dibalut dengan adegan yang begitu "berwarna", sehingga setiap adegan yang terjadi seolah menyaksikan Cover Story dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti ketika mereka sedang liburan di New York. Skrip yang disusun patut diacungi jempol karena mampu menghadirkan percakapan Bahasa Inggris dasar nan cheesy yang dapat digunakan sebagai bahan referensi anak sekolahan bila mereka ingin terlihat keren di depan gebetannya. Dari segi kualitas pemeran serta akting tentu tidak perlu diragukan lagi, selain dua orang yang saya sebut-sebut di atas, masih ada Astrid Tiar, Hamish Daud, Hannah Al Rashid, Widyawati, Slamet Rahardjo, Revalina S Temat, hingga Anggika Bolsterli yang turut meramaikan Cover Story Reza Rahadian dan Adinia Wirasti ini. Para pemeran pendukung tersebut memiliki peran yang cukup sentral. Bahkan saking sentralnya peran salah satu pendukung, yakni Hamish Daud, saya yakin bila Ia dan Raisa menyaksikan film ini bersama di gala premiere, Raisa akan menatap lekat-lekat mata Hamish Daud setelah film ini selesai, dan berkata "Babe, mending kemaren kamu jadi koordinator pengadaan air mineral galon buat aku mandi pas aku tur". Betul-betul sentral sekali. Akting Reza dan Ardinia Wirasti sebagai pasangan pun amat luar biasa. Tidak salah memang menyebut chemistry mereka amat kuat. Bagaimana cara menguatkan chemistry ala mereka? Give each other a kiss. Tercatat ada sekitar 20 adegan ciuman yang membuat film ini menjadi salah satu film lokal dengan adegan ciuman terbanyak. Gerak dikit cium, nengok dikit cium, senyum dikit cium, pulpen jatoh cium, laper cium, makan cium, liat-liatan cium, update insta cium, ciuuuuummmm terus hingga ketika saya nengok ke atas, penonton pun ikut-ikutan cium. Luar biasa. Adegan emosional yang ditampilkan oleh mereka berdua pun begitu menguras emosi saya, terbukti ketika mereka menangis tersedu-sedu saya tidak dapat menahan diri untuk tertawa geli. Betul-betul adegan yang menguras emosi. Tetapi ada dua hal yang akhirnya dapat diterima oleh orang awam macam saya, yaitu tone cerita dan scoring/soundtrack yang disajikan terasa cukup megah. Sejujurnya apabila dikemas dengan rapi film ini memiliki makna yang cukup dalam. Hanya saja tim penyusun naskah seolah tenggelam dalam cerita mereka sendiri, sehingga membuat kisah Ale dan Anya tidak ubahnya menjadi sebuah potongan-potongan kisah yang tidak terajut dengan baik. Konflik yang ada terkesan terlalu dipaksakan, karena sejujurnya film ini seolah tidak dibuat untuk mendapat konflik. Cukup disayangkan "modal" besar film ini disia-siakan dengan skenario yang kurang tertata. Namun sepertinya modal tersebut tidak besar-besar amat, mengingat film ini seperti baliho digital untuk memaksa menyelipkan iklan telkomsol, lone, bank mausendiri, dan aplikasi nonton yook dalam beberapa adegannya. Critical Eleven pun menjadi tambahan bukti, bahwa jajaran aktor mumpuni tetap membutuhkan arah yang jelas. Karena menyaksikan film ini dengan para pemerannya namun dipadu dengan skrip yang ada, seolah mengantri "cheese cake yang happening", namun setelah sudah di tangan dan kita makan, ternyata kue tersebut sudah basi. A really, really, huge waste. Rating: 3,5/10 - Kutu Klimis Sutradara: Awi Suryadi
Penulis: Lele Laila, Ferry Lesmana Pemain: Prilly Latuconsina, Sandrinna Michelle, Indra Brotolaras, Shareefa Daanish, dan Asha Kenyeri Genre: Horor Durasi: 78 Menit Sebelum berpanjang lebar, film Danur adalah sebuah adaptasi dari buku karangan Risa Saraswati, musisi yang juga gemar menulis. Buku yang berjudul Gerbang Dialog Danur itu bercerita tentang pengalaman supernatural yang dialami Risa sejak ia masih anak-anak. Film ini dibuka dengan lantunan lagu Boneka Abdi. Lagu yang sekaligus berperan sebagai elemen penting dalam keseluruhan cerita Danur. Prilly Latuconsina, yang berperan sebagai Risa, melantunkan lagu ini sembari memainkan piano. Nuansa seram pun langsung terasa saat ia bernyanyi dengan perlahan, sembari meneteskan air mata. Tentang Danur dan Kebutuhan Antagonis Salah satu alasan ketertarikan saya untuk menonton film ini adalah karena kebetulan beberapa tahun lalu pernah membaca buku ‘Danur’. Buku pertama yang ditulis oleh Risa dan terbit pada 2011 lalu. Saya setuju dengan pendapat Soleh Solihun, bahwa ‘Danur’ bukanlah buku misteri namun tetap bisa membuat bulu kuduk merinding. Ketika ada berita tentang pembuatan filmnya pun saya langung jauh-jauh hari bertekad untuk menyaksikannya. Oh ya, kira-kira Kawan Kutu tahu apa arti ‘danur’? Memang kata ini termasuk jarang digunakan dan terkesan asing ya. Menurut pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘danur’ adalah air yang keluar dari bangkai (mayat) yang sudah membusuk. Tentu ‘danur’ bukanlah sebuah kata yang akan dengan mudah muncul di obrolan sehari-hari. Lagipula belum tentu semua orang tahu bentuk atau bau danur itu seperti apa. Jadi ya wajar sepertinya jika kata ini terdengar asing. Bahkan seingat saya, kata tersebut juga jarang digunakan di film-film horor. Mungkin kalau film ini bukan diambil dari bukunya Risa, bisa jadi judulnya tak akan menggunakan kata ‘danur’. Risa menyematkan sebuah kalimat yang merangkum kaitan danur dengan yang ia alami dalam pembuka bukunya. “Ketika penciumanku tertutup sedang mata hati terbuka lebar untuk yang biasa kalian sebut...Hantu.” Dari sini sebenarnya Risa telah memberi tanda bahwa cerita Danur bukanlah seperti pengalaman supernatural pada umumnya. Namun sayangnya, film yang saya saksikan sepertinya agak kesulitan untuk menghadirkan pengalaman supernatural yang “berbeda” a la Risa. Karena jika kalian penggemar film horor, cepat atau lambat akan sadar bahwa film Danur seolah tak ada bedanya dengan cerita film horor lainnya. Masalah ini mungkin hadir karena perbedaan pendekatan dalam mengangkat kisah Risa. Ya, sejujurnya saya juga belum membaca Gerbang Dialog Danur, jadi saya tak tahu persis apa yang ada di dalam buku itu. Agak sulit memang untuk membahasnya. Walau begitu, salah satu kelemahan yang saya rasakan dari film ini adalah mudah tertebaknya jalan cerita. Contohnya seperti kehadiran Mbak Asih yang diperankan oleh Shareefa Danish. Nah, kira-kira apakah kalian tahu karakter yang diperankannya? Ya kasarnya, ketika saya sedang menonton film horor, lalu ada Shareefa Danish, kemungkinan untuk menebak dirinya akan berperan sebagai wanita lemah yang berteriak-teriak, mungkin hampir tidak ada. Hal lainnya adalah permasalahan yang biasa hadir dalam film horor, yaitu lemahnya karakter antagonis. Dalam sebuah cerita, sosok antagonis memang diperlukan. Salah satu fungsinya adalah untuk menghadirkan konflik ke dalam cerita. Nah dalam film horor, peran antagonis tentunya diberikan pada sosok yang menghadirkan rasa takut. Apa pun bentuknya, entah itu hantu, zombie, monster, ataupun seorang pembunuh berantai, dan lain sebagainya. Seperti pada film horor pada umumnya, kemungkinan untuk mengetahui penyebab dan motif si antagonis di awal atau pada pertengahan film tentu sangat kecil. Hal inilah yang menurut saya membuat film Danur menjadi kurang istimewa. Ya hal itu juga salah satu alasan mengapa film horor sulit bersaing dengan film-film drama pada umumnya. Karena ceritanya yang terlihat “tipis”. Saya juga agak kecewa dengan detail yang kurang dimaksimalkan. Contohnya seperti pada awal film, mungkin dari yang sudah menonton tak menyadari latar film ini berada di mana dan waktunya kapan. Hanya tiba-tiba langsung mencoba menakuti penonton dengan adegan ‘Boneka Abdi’. Padahal berbagai detail seperti itu yang menurut saya penting, lagipula film ini juga berdasarkan kisah nyata kan. Meski begitu, sebagai orang yang penakut, menurut saya Danur adalah sebuah film horor yang bagus. Ya sesuai dengan asal-usul horor, yaitu seni yang mengeksploitasi rasa takut para penikmatnya. Danur memang mencekam sepanjang film. Seakan-akan saya ini tak diperbolehkan untuk mengatur nafas sejenak. Dari segi akting, Prilly Latuconsina menampilkan performa yang bagus menurut saya. Dari beberapa adegan ketika dia harus berteriak ketakutan atau menangis pun tak terasa dilebih-lebihkan. Berbeda sedikit dengan apa yang dihadirkannya dalam sinetron. Selain Prilly, pemeran dengan penampilan yang memukai adalah Shareefa Daanish. Ya kalian tahulah alasannya mengapa. Kekecewaan saya sebenarnya dari segi pendekatan cerita yang ditampilkan. Di sini, Peter dan lainnya memang digambarkan dengan baik. Hanya saja kurang dieksplorasi secara lebih mendalam. Karena menurut saya, penggambaran yang dilakukan ketika Risa masih kecil itu sesuatu yang bagus. Memang pada intinya, Risa ini adalah seorang anak yang senang “bermain” dengan makhluk halus. Namun berbeda dengan hantu yang biasa digambarkan di film horor pada umumnya, pengalaman Risa mengenai Peter dkk adalah lebih kepada ikatan persahabatan. Sebuah ikatan yang menembus dimensi dua dunia yang berbeda. Padahal sejak bukunya yang pertama, Risa terbilang berhasil dalam “memanusiakan” hantu melalui tulisannya. Hal itu memang dicoba dalam awal-awal film. Namun sayang, sebuah perbedaan yang membuat cerita Danur istimewa, harus mengalah karena kehadiran Mbak Asih. Secara keseluruhan, menurut saya Danur adalah sebuah karya mencekam yang tanggung dari segi kedalaman cerita. Di satu sisi bisa menyeramkan, di satu sisi kita kebingungan. Kita dibuat kaget berkali-kali sekaligus juga bertanya-tanya di berbagai kesempatan. Rating: 6.5/10 -Kutu Kasur |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|