Sutradara: Monty Tiwa, Robert Ronny
Penulis: Monty Tiwa, Jenny Jusuf, Ika Natassa Pemeran: Adinia Wirasti, Reza Rahadian, Astrid Tiar, Hamish Daud, dan Hannah Al Rashid Genre: Drama Durasi: 135 menit Reza Rahadian akhirnya kembali meramaikan belantika perfilman tanah air setelah vakum selama kurang lebih 2 minggu sejak Kartini dirilis. Dua minggu? Tentu dua minggu itu waktu yang lama bagi seorang Reza Rahadian. Saya ingat di tahun lalu film yang ia bintangi atau paling tidak ia ikut terlibat, hampir bersahut-sahutan di bioskop, terlebih sebelum Kartini dirilis, cukup lama nama Reza tidak tercatat dalam kredit para pemeran. Critical Eleven menjadi salah satu dari 3 film yang tercatat akan ia bintangi di tahun ini. Dipasangkan kembali bersama Adinia Wirasti setelah sebelumnya berpasangan dalam film Kapan Kawin, mereka disebut-sebut sebagai pasangan on screen dengan chemistry melebihi Mickey dan Minnie Mouse. Critical Eleven adalah film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Ika Natassa. Novel? Hmm, tentu Kawan Kutu yang terbiasa membaca review saya akan tahu bahwa saya tidak akan membandingkan buku dan novelnya. Jadi tenang saja, saya tidak akan menghabiskan waktu membedah adegan untuk menyandingkannya dengan deskripsi dalam halaman. Satu hal yang tertangkap dari film ini, bahkan ketika baru berjalan selama 10 menit, film ini dibuat hanya untuk mereka yang peka. Ya, hanya untuk mereka yang memiliki daya investigasi mendalam serta intuisi untuk mengaitkan adegan demi adegan dengan detail. Bagaimana tidak? Ketika film masih dalam periode prolog, kita mendadak sudah ditarik dalam untuk berpindah setting cerita. Saya bahkan sempat terperanjat ketika adegan pembuka langsung berpindah ke adegan inti tanpa ada pengantar sebelumnya. Saya sempat merasa bahwa sepertinya ada bagian film yang terhapus sehingga alur melompat begitu jauh. Bahkan saya sempat berharap 30 menit film berlalu, itu adalah khayalan dari salah satu pemeran utama untuk kemudian penonton ditarik kembali ke adegan awal dan diberi penuturan cerita yang lebih santai. Tetapi ternyata tidak. Betul-betul membutuhkan analisa tajam dan daya investigasi kuat sekelas Kogoro Mouri untuk tetap mengikuti alurnya. Menit-menit berikutnya pun dibalut dengan adegan yang begitu "berwarna", sehingga setiap adegan yang terjadi seolah menyaksikan Cover Story dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti ketika mereka sedang liburan di New York. Skrip yang disusun patut diacungi jempol karena mampu menghadirkan percakapan Bahasa Inggris dasar nan cheesy yang dapat digunakan sebagai bahan referensi anak sekolahan bila mereka ingin terlihat keren di depan gebetannya. Dari segi kualitas pemeran serta akting tentu tidak perlu diragukan lagi, selain dua orang yang saya sebut-sebut di atas, masih ada Astrid Tiar, Hamish Daud, Hannah Al Rashid, Widyawati, Slamet Rahardjo, Revalina S Temat, hingga Anggika Bolsterli yang turut meramaikan Cover Story Reza Rahadian dan Adinia Wirasti ini. Para pemeran pendukung tersebut memiliki peran yang cukup sentral. Bahkan saking sentralnya peran salah satu pendukung, yakni Hamish Daud, saya yakin bila Ia dan Raisa menyaksikan film ini bersama di gala premiere, Raisa akan menatap lekat-lekat mata Hamish Daud setelah film ini selesai, dan berkata "Babe, mending kemaren kamu jadi koordinator pengadaan air mineral galon buat aku mandi pas aku tur". Betul-betul sentral sekali. Akting Reza dan Ardinia Wirasti sebagai pasangan pun amat luar biasa. Tidak salah memang menyebut chemistry mereka amat kuat. Bagaimana cara menguatkan chemistry ala mereka? Give each other a kiss. Tercatat ada sekitar 20 adegan ciuman yang membuat film ini menjadi salah satu film lokal dengan adegan ciuman terbanyak. Gerak dikit cium, nengok dikit cium, senyum dikit cium, pulpen jatoh cium, laper cium, makan cium, liat-liatan cium, update insta cium, ciuuuuummmm terus hingga ketika saya nengok ke atas, penonton pun ikut-ikutan cium. Luar biasa. Adegan emosional yang ditampilkan oleh mereka berdua pun begitu menguras emosi saya, terbukti ketika mereka menangis tersedu-sedu saya tidak dapat menahan diri untuk tertawa geli. Betul-betul adegan yang menguras emosi. Tetapi ada dua hal yang akhirnya dapat diterima oleh orang awam macam saya, yaitu tone cerita dan scoring/soundtrack yang disajikan terasa cukup megah. Sejujurnya apabila dikemas dengan rapi film ini memiliki makna yang cukup dalam. Hanya saja tim penyusun naskah seolah tenggelam dalam cerita mereka sendiri, sehingga membuat kisah Ale dan Anya tidak ubahnya menjadi sebuah potongan-potongan kisah yang tidak terajut dengan baik. Konflik yang ada terkesan terlalu dipaksakan, karena sejujurnya film ini seolah tidak dibuat untuk mendapat konflik. Cukup disayangkan "modal" besar film ini disia-siakan dengan skenario yang kurang tertata. Namun sepertinya modal tersebut tidak besar-besar amat, mengingat film ini seperti baliho digital untuk memaksa menyelipkan iklan telkomsol, lone, bank mausendiri, dan aplikasi nonton yook dalam beberapa adegannya. Critical Eleven pun menjadi tambahan bukti, bahwa jajaran aktor mumpuni tetap membutuhkan arah yang jelas. Karena menyaksikan film ini dengan para pemerannya namun dipadu dengan skrip yang ada, seolah mengantri "cheese cake yang happening", namun setelah sudah di tangan dan kita makan, ternyata kue tersebut sudah basi. A really, really, huge waste. Rating: 3,5/10 - Kutu Klimis
1 Comment
Ada yang tahu siapa itu Donald Pandiangan, Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani? Bila ada yang bilang "gue tahu" sebelum menyaksikan film ini, berarti ada 3 kemungkinan:
1. Sudah "berumur" 2. Rak buku sejarah, RPUL, dan Buku Pintar merupakan rak pertama yang didatangi bila ke Gramedia 3. Termasuk tipe personal "yang penting bilang iya dulu". Karena saya pribadi, (ironisnya) baru mengetahui nama tersebut setelah menyaksikan film ini. Film biopik ini berkisah tentang Donald Pandiangan serta 3 Srikandi Indonesia, Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani yang merupakan mantan atlet panahan papan atas Indonesia pada masanya. Donald Pandiangan yang kala itu bertindak sebagai pelatih, bahkan mendapat julukan "Robin Hood dari Indonesia". Namun seperti biasa, saya tidak akan membahas isi dari film, karena tentunya kalian harus menyaksikan sendiri film ini. Ya, kalian tidak salah baca. Bagi saya film ini salah satu film yang "worth your penny". Bahkan bila dibandingkan dengan (mudah-mudahan gak kena semprot) Suicide Squad. Sejujurnya, saya sempat sinis terhadap film ini dan bergumam, "Buset! Reza Rahadian lagi?". Lalu saat melihat para pemeran wanita, "anjir ini mah Reza's Angels reunian". Tetapi tentunya kesinisan tersebut murni karena rasa spontan dan bawaan "budaya". Karena secara kualitas, para pemeran 3 Srikandi merupakan aktor dan aktris papan atas di Indonesia. Setelah mengetahui premis cerita, saya pun semakin merutuki kesinisan saya di awal. Bagi saya pribadi, film ini memang membutuhkan sosok seperti Reza Rahadian, Bunga Citra Lestari, Tara Basro, serta Chelsea Islan. Karena merekalah magnet utama bagi film ini. Kejelian departemen casting untuk menunjuk mereka patut saya apresiasi (meskipun terkesan itu lagi- itu lagi). Mengapa saya katakan bahwa film ini merupakan film yang "berani" serta "beresiko"? Karena tokoh-tokoh yang diangkat serta latar belakangnya merupakan salah satu yang tidak populer. Terlepas dari peran besar mereka dalam mempersembahkan medali pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade, setelah bertahun-tahun keikutsertaan Indonesia yang nirgelar. Namun mungkin akan lebih "booming" bila biopik seorang Rudy Hartono yang berhasil meraih juara All England sebanyak 8 kali, atau kisah pesepakbola tanah air semacam Ronny Pattinasarani, Ricky Yacobi, atau Ronny Pasla. Tetapi saya rasa akan terlalu mainstream bila hal itu dilakukan. Justru hal itu akan menghadirkan cetusan "itu lagi-itu lagi" bagi premis yang dibawakan. Karena pada faktanya, Indonesia bukan melulu tentang Badminton, histeria masyarakat akan olahraga bukan melulu melalui sepak bola, dan putra-putri bangsa yang mengharumkan nama Sang Saka Merah Putih di kancah dunia juga tidak itu-itu saja. Film ini dipadukan dengan script yang cukup baik. Penuturan cerita serta pendalaman karakter dari masing-masing Srikandi dilakukan dengan cukup detail dan dalam. Elemen drama dan humor yang diselipkan amat pas. Emosi yang dibawa oleh cerita turut membawa penonton ikut dalam tiap adegannya. Meskipun ada beberapa lubang dalam plot, serta kesimpangsiuran setting tempat, namun film ini masih cukup renyah untuk diikuti. Akting dari para pemeran sudah tidak perlu saya komentari. Masing-masing pemeran memberikan porsi yang pas. Reza Rahadian mampu membawakan karakter Bang Pandi dengan baik, meskipun saya tidak memiliki pembanding pasti, karena sang tokoh telah tiada. BCL pun tampil natural dalam perannya sebagai "Yana" dan membuat aktingnya seolah tanpa beban. Saya memberikan kredit tersendiri kepada Chelsea Islan sebagai "Lilies" dan Tara Basro sebagai "Suma" yang mampu mendalami peran dan karakter yang memiliki suku tertentu dengan amat baik. Sayangnya ada beberapa minus serta detail yang kurang maksimal dalam film ini. Ada beberapa adegan build up yang kemudian tidak dieksekusi sehingga menjadi adegan yang sebetulnya tidak perlu. Durasi film pun seakan dipaksakan agar menjadi lebih panjang, dan tidak langsung menuju inti. Detail extras ketika setting di Korea, terlihat terlalu modern untuk tahun 1988. Serta properti merk Aqua menggunakan logo terbaru (ini lebay sih, tapi tetap merupakan bagian detail properti). CGI pun bagi saya sebetulnya tidak begitu diperlukan untuk film ini. Namun secara keseluruhan, Iman Brotoseno sebagai sutradara berhasil mengarahkan film ini menjadi sebuah film yang fun dan fresh, juga mengingatkan kita bahwa Indonesia pun memiliki tokoh macam Coach Carter atau Michael Oher yang pantas diangkat kedalam sebuah biopik. Film ini pun mengajarkan kita untuk selalu berjuang dan percaya akan mimpi. Karena hal-hal besar, selain diraih karena perjuangan, (hampir selalu) berawal dari mimpi. Overall: 7/10 - Kutu Klimis "Wah ini film bagus sih, fresh banget. Tone filmnya unik, sinematografinya asik, warna Melayunya ngegelitik. Bagus banget ini sih". Itu pendapat saya ketika film berlangsung di 5 menit awal.
"Hahahaha kocak banget. Ngeselin parah". Itu pendapat saya ketika film memasuki menit ke 15. "Reza Rahadian gokil sih"- meluncur di menit ke 35. Setelahnya saya berpikir bahwa mood saya akan tetap terjaga di atas untuk 60 menit ke depan. Faktanya, film ini hanya menarik di 1/3 awal filmnya. Harus saya akui, beberapa elemen dan aspek yang meluncur di pikiran saya di awal patut diacungi jempol, hanya saja film ini melambat untuk kemudian jatuh, dan hanya berputar di dalam lubang tanpa mampu kembali ke atas. Karakter sang Bossman terlalu dieksploitasi untuk mencurahkan kelucuan. Terlepas dari judulnya "My Stupid Boss", memang sang bos lah yang positif menjadi center of attention di sini, namun seharusnya ada beberapa elemen lain yang dapat diambil ke-"lucuan"-nya. Eksploitasi besar-besaran terhadap karakter Bossman membuat karakter ini tidak berkembang. Meskipun Reza Rahadian patut diacungi jempol dalam memvisualisasikan karakter tersebut, hanya saja skenario yang ada terasa kurang. Ada beberapa humor yang overused, terlalu banyak terucap sehingga ketika humor tersebut kembali, penonton sudah merasa cukup memberi apresiasi. Peran Alex Abbad sebagai suami dari Diana pun begitu useless. Alex Abbad lebih terasa hanya sekadar roommate jobless yang hanya memberi solusi atau menanggapi cerita seadanya. Selain itu ada CGI yang sebetulnya tidak perlu dilakukan, namun tetap dipaksakan. Dibalik skenario dan cerita yang kurang berkembang, akting dan chemistry Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari patut diacungi jempol. Meski kini keduanya dipasangkan bukan sebagai "sepasang lovebird", namun keduanya tetap memberikan kualitas akting yang prima. Pemeran pembantu serta seluruh elemen Melayu/Malaysia yang begitu kental memberi kesan lucu tersendiri. Sayangnya, ketika film akan mencapai akhir, konklusi yang dibuat untuk melangkah menuju ending terkesan terlalu dipaksakan dan terburu-buru. Eksekusinya kurang rapi sehingga amat terasa kejanggalan dalam scene yang seharusnya menjadi turning point tersebut. Overall film ini cukup dapat dinikmati. Namun sebagai film komedi, film ini kurang mampu membuat penat saya hilang ketika menyaksikannya. Bagi saya film ini berada di angka 5, karena dibalik seluruh kelebihan serta kualitas akting pemeran utamanya, pada akhirnya jalan cerita yang disajikan kurang berkembang, dan cenderung membosankan. - Kutu Klimis |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|