Sutradara: Michael Bay Penulis: Akiva Goldsman, Art Marcum, Matt Holloway, Ken Nolan Pemeran: Mark Wahlberg, Isabela Moner, Josh Duhamel, Laura Haddock, Anthony Hopkins Genre: Action, Adventure, Sci-fi Durasi: 149 menit Setelah kesuksesan “finansial” beberapa film pertamanya (meskipun tidak ada satupun yang memuaskan para kritikus), Paramount Pictures terus gencar memproduksi film-film baru dari series Transformers. Yang teranyar adalah The Last Knight, series ke-5 dari film Transformers. Entah mengapa Michael Bay kembali dipercaya menjadi sutradara dalam proyek ini, meskipun 4 film pendahulunya mendapat tanggapan negatif dari para kritikus. Film dimulai dari zaman Medieval di Inggris kuno, menceritakan asal mula Transformers di Bumi, lalu melompat ke 1600 tahun kemudian (Present). Naskah yang dibuat oleh 4 orang (Akiva Goldsman, Ken Nolan, Art Marcum, Matthew Hollaway) sangat buruk. Bahkan ide cerita terlihat terlalu dipaksakan. Terasa seperti merangkai 3 potongan ide cerita yang dirangkai sembarangan menjadi satu. Meskipun tidak terlalu tertebak dan tidak terlalu klise, namun cerita yang dibangun masih sangat lemah yang berujung menjadi membosankan, dan dialog antar karakter jauh dari menarik. Dari jajaran cast, masih terdapat beberapa kelemahan. Dengan budget sebesar 260 juta USD, seharusnya cast tidak menjadi kelemahan/masalah pada film ini. Adanya beberapa miscast dan penampilan cast yang masih kurang baik, tentu tidak lepas dari Michael Bay sebagai sutradara, dan penulisan naskah yang buruk. Dari jajaran cast, masih terdapat beberapa kelemahan. Dengan budget sebesar 260 juta USD, seharusnya cast tidak menjadi kelemahan/masalah pada film ini. Adanya beberapa miscast dan penampilan cast yang masih kurang baik, tentu tidak lepas dari Michael Bay sebagai sutradara, dan penulisan naskah yang buruk.
Music-Scoring yang dicompose oleh Steve Jablonsky belum maksimal dan masih kurang memberikan suasana intense dari setiap scene nya. Sound editing dan Sound mixing mungkin menjadi salah satu poin plus dari film ini, suara-suara robot Autobots dan Decepticon, serta ledakan-ledakan yang terdengar tidak cukup buruk. Tidak ada yang special dari sinematografi oleh D.o.P Jonathan Sela, setiap frame terlihat hambar tanpa teknik-teknik kamera dan compositing yang keren. Dan satu-satunya yang dapat dinikmati dalam film ini adalah penggunaan CGI / visual effect. Robot-robot Autobots dan Decepticon yang berperang, pesawat luar angkasa yang digambarkan dengan baik di film ini. Ledakan-ledakan khas Michael Bay pun cukup keren. Michael Bay memang cukup baik dalam membuat adegan-adegan action di suatu film. Namun, masih belum bisa menutupi ide cerita dan naskah yang masih sangat lemah. Sebuah perpisahan yang buruk dari Michael Bay. Rating: 5/10 - Yogi Syahputra (Penulis adalah pemilik blog Film Art Indonesia) Silakan cek Tulisan Pembaca untuk melihat tulisan lainnya dari Kawan Kutu.
0 Comments
Sutradara: Asghar Farhadi Penulis: Asghar Farhadi Pemeran: Taraneh Alidoosti, Shahab Hosseini, Babak Karimi Genre: Drama, Thriller Durasi: 124 menit "My absence is out of respect for the people of my country." - Asghar Farhadi Kutipan di atas adalah sepotong kalimat dari speech yang Asghar Farhadi tulis saat The Salesman menang di Oscar, Februari 2017 kemarin, untuk kategori Best Foreign Language Film. Ini merupakan Oscar kedua buat dirinya, setelah menang juga di kategori yang sama melalui A Separation (2012). Beliau sengaja gak hadir, sebagai bentuk protes atas kebijakan #MuslimBan yang menutup pintu masuk AS buat 7 negara, termasuk negaranya om Farhadi, Iran. Entah kebetulan atau emang sengaja, The Salesman garapannya dia, menang di perhelatan bergengsi itu. The Salesman sendiri adalah film bergenre drama-thriller dan mengambil setting di kota Tehran. Alkisah suatu malam, Emad (Shahab Hosseini) dan istrinya Rana (Taraneh Alidoosti), bersama penghuni lainnya terpaksa harus keluar dari gedung apartemen mereka yang goyang. Seperti terkena gempa dan mau runtuh, karena bangunannya memang sudah tua. Walaupun akhirnya tidak benar-benar runtuh, gedung apartemen itu udah tak layak dihuni lagi karena rusak. Alhasil, sepasang suami istri ini harus mencari tempat tinggal lain. Tak memakan waktu lama, mereka menemukan flat yang lusuh dan kumuh. Kebetulan flat ini pemiliknya juga teman Emad sendiri, Babak Karimi (Babak). Emad beserta istri memutuskan untuk tinggal di situ. Masalah tak berhenti sampai sana. Waktu mereka pindahan ke flat yang baru, di suatu ruangan yang terkunci masih ada banyak barang-barang milik seorang wanita yang sebelumnya tinggal disitu. Dan setelah ditelusuri, rupanya wanita ini seorang prostitute. Walaupun udah dihubungi berkali-kali, si wanita ini tetep enggan mengambil barang-barang lamanya, yang memang sangat banyak. Jadi, terpaksa barang-barang milik si prostitute ini dipindahkan ke halaman depan setelah ruangan itu dibuka secara paksa. Emad adalah seorang guru sastra di sebuah sekolah menengah atas, merangkap sebagai pemain drama/teater bersama istrinya, Rana. Mereka setiap malam memainkan drama Death of a Salesman karya Arthur Miller tahun 1949. Kehidupan mereka yang tanpa dihadiri seorang anak, tampak sederhana dan gitu-gitu saja. Sampai pada suatu malam, Rana harus pulang lebih dulu karena Emad masih harus tinggal di teater karena ada urusan. Saat itu Rana lagi asyik mandi, tiba-tiba ada yang membunyikan bel, dan Rana tanpa pikir panjang untuk membukakan pintu dan balik lagi ke kamar mandi, tanpa melihat siapa yang datang. Iya, tanpa melihat dan memastikan siapa yang datang. Karena dia pikir itu adalah si Emad yang pulang. But we all know, in this kind of movie surely it's not Emad, it was never Emad. Sampai saat di mana beneran Emad yang pulang dan langsung bergegas naik ke flat, karena liat darah berceceran di tangga dan menemukan pintu terbuka, mengecek kamar mandi, dan di situ sudah merah bersimbah darah. Namun tak ada Rana di situ. Tenang, tenang. Rana rupanya sudah dibawa ke rumah sakit oleh tetangga karena mereka dengar suara teriakan dan langsung menghampiri. Laki-laki (dikonfirmasi langsung oleh Rana) yang menyerang dan melukai Rana sudah tak ada ketika para tetangga tiba di flat. Rana terluka parah di bagian kepala. Bukan hanya fisik aja, tapi juga mental dia yang trauma. Tidak berani lagi untuk mandi, tak berani lagi untuk mandi di kamar mandi yang sama, tidak berani untuk tinggal di flat sendiri. Pokoknya, Rana menjadi benar-benar cupu dan menjadi buah bibir para tetangga, dan di sinilah konflik dimulai. Emad mulai frustasi mengurus Rana yang rewel, bahkan merambat ke drama teater yang mereka mainkan bersama. Bahkan juga terbawa saat Emad mengajar di sekolah. Pasangan suami-istri ini mengalami masa-masa berat setelah kejadian itu. Apalagi Emad, yang tetap tidak terima atas kejadian yang menimpa istrinya, terus mencoba mencari pelakunya But somehow, Emad menemukan kunci mobil di flat mereka, yang diyakini milik si laki-laki yang menyerang istrinya. And against all the odds, mobil dari si kunci ini juga dia temukan. Sebuah mobil pick-up, diparkir tak jauh dari flat mereka. Usaha sang suami akan pencarian terhadap sang pelaku perbuatan keji itu pun dimulai. Dan kalian tak akan bisa menduga, pelaku sebenarnya siapa. Sudah cukup lama saya tak menonton film drama-thriller se-powerful film ini. The Salesman pembawaannya tenang, tidak terburu-buru. Asghar Farhadi sebagai sutradara dan penulis skrip memang juara kalau bikin film tipe seperti ini. Semua adegan dibuat sesederhana mungkin, tiap-tiap scene bakal kalian liat bahwa semuanya itu natural. Semua pemeran dalam film ini kayak bukan akting sama sekali. Ya, kayak lagi hidup biasa saja. Ketika akhirnya ada tensi yang naik pun juga tidak dibuat lebay dengan scoring yang membahana, tetap slow tapi dengan dialog yang pas, juga mimik pemeran yang oke. Kalian akan jatuh cinta sama film ini.
Jadi, untuk yang mengira film ini bakal cepat dengan tensi memburu membabi-buta, mungkin kalian kurang pas dengan film ini. But for me, it's a truly beauty. Kredit harus saya berikan kepada semua pemeran, khususnya tentu buat Shahab Hosseini dan Taraneh Alidoosti sebagai pemeran utama. Emosi, frustasi dan rasa marah dalam film ini benar-benar disalurkan dengan baik. Salute! Saya hampir tak bisa menemukan kekurangan dalam film ini, semuanya ditakar secara baik. Ada beberapa perpindahan di satu scene ke scene lainnya yang agak maksa tapi bisa dimaafkanlah. Kekurangan lainnya mungkin film ini bukan di produksi Hollywood kali ya. Kalau di trilogi film Taken, kalian bakal disajikan dengan kepuasan batin yang benar-benar nikmat, ketika ngeliat pembalasan dendam oleh Liam Nesson. Di The Salesman ini sepenuhnya berbeda, premis revenge sebagai hal yang diidam-idamkan penonton dihadirkan lebih kompleks. Kompromi dengan moralitas, mental serta emosi menjadikan kalian gregetan di satu sisi, dan di satu sisi lainnya malah memihak nurani. Film ini dari fase awal hingga tengah akan di-build-up sedemikian rupa hingga nanti batin kalian siap untuk menghadapi 20 menit terakhir yang benar-benar "makanan utama". Hingga kalian pelan-pelan menyadari bahwa Emad yang frustasi dan marah ke si pelaku kejahatan. Alasannya bukan karena kejahatan yang menimpa istrinya, lebih dari itu, jauh lebih dari itu. Dan mirisnya, apa yang mereka mainkan di roleplay dalam drama "Death of a Salesman", mirip dengan kisah hidup mereka berdua. This movie is that simple and that complex. Really deserved that Oscar. Rating: 9/10 - Edhim, Malang (Penulis adalah pemilik blog Litmotion) Silakan cek Tulisan Pembaca untuk melihat tulisan lainnya dari Kawan Kutu. Sutradara: Owen Harris Penulis: John Niven Pemeran: Nicholas Hoult, James Corden, Georgia King, Craig Roberts Genre: Comedy, Crime, Thriller Durasi: 103 menit Walaupun pada dasarnya musik adalah sebuah seni, setiap orang memaknainya dengan cara berbeda-beda. Ada yang menganggap musik sebagai sesuatu yang bernilai, bagaimana musik dapat menjadi sebuah sarana untuk menyiratkan pesan yang ingin disampaikan oleh si pencipta kepada pendengarnya. Ada juga yang menjadikan musik sebagai hiburan semata, sejauh ia dapat menikmati hasil karya komposer kesukaannya, ia merasa bahagia. Lalu, ada segelintir orang yang menjadikan musik sebagai alat untuk mengejar tujuan pribadinya. Film Kill Your Friends, memperkenalkan sosok Steven Stelfox (Nicholas Hoult), yang merupakan bagian dari segelintir orang tersebut. Stelfox berkecimpung di industri musik dengan bekerja sebagai manajer A&R bagi salah satu perusahaan label rekaman di Inggris, UNIGRAM. A Tough Job Terlibat di industri musik, terlebih lagi bekerja di dalamnya, tak semudah atau semenarik yang dikira. Orang A&R bertanggung jawab terhadap hadirnya lagu-lagu mendadak terkenal di publik, serta munculnya bintang baru yang tiba-tiba menarik perhatian media. Oleh karena itu, mereka haruslah visioner, (dituntut) memiliki selera musik yang bagus, punya kemampuan untuk melihat kapasitas dari sebuah musik; apakah memiliki selera pasar, atau sulit diterima oleh publik. Hal ini diamini oleh Stelfox. Ia menarasikan tantangan-tantangan yang selalu dihadapi seorang “Artist and Repertoire” secara detail dan interaktif, tanpa membuat penonton merasa digurui–akan selalu ingat betapa seksinya logat British seorang Hoult! Namun, bukannya mencari musisi bertalenta yang sanggup menciptakan lagu-lagu berkualitas, Stelfox hanya peduli bagaimana alunan nada yang disusun sedemikian rupa tersebut dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan label rekaman tempatnya bekerja. Unsur artistik sebuah musik? Bodo amat deh! Lain halnya dengan Parker-Hall, seorang Kepala A&R ternama yang musikalitasnya tinggi, memiliki kharisma, dan selalu bisa menarik perhatian musisi untuk menandatangani kontrak dengan label yang mempekerjakannya. Stelfox mengakui bahwa dirinya kalah jauh dibanding Parker-Hall. Tetapi ia tidak peduli, ia ingin menaklukannya. Ironisnya, pandangan Stelfox ini mempengaruhi kemampuannya dalam “melihat” musik. Ia terlanjur benci ketika harus menyeleksi demo-demo band, dan tidak mengindahkan rekomendasi dari rekan kerjanya. Berbeda dengan Darren, anak didik/bawahannya, yang memiliki prinsip bahwa merekrut musisi bertalenta itu bagian dari makna hidupnya. Tentu saja prinsip lugu ini dicibir oleh Stelfox, seolah Darren baru saja terlibat di dalam industri. A Tough Industry
Film Kill Your Friends menceritakan bagaimana industri musik merupakan dunia penuh persaingan, rekan-rekan bisa menusuk dari belakang kapanpun ketika mereka perlu melakukannya, dan hukum rimba pun juga berlaku. Tidak sanggup bersaing atau bertahan? Bersiaplah tersingkir. Nampaknya sudah menjadi rahasia umum, bahwa industri musik juga merupakan sebuah bisnis, dan akan ada pihak yang rela “mengotori tangan” mereka untuk menggapai sukses. Stelfox berambisi tinggi dan temperamental. Ia akan melakukan segala cara demi mendapatkan apa yang diinginkan, dan bisa menyingkirkan semua yang menghalangi proses untuk mencapai ambisinya. Termasuk menghabisi musuhnya rekannya, dalam arti yang sebenarnya. A Tough Record Performa memukau oleh aktor Nicholas Hoult, layaknya binatang buas yang berusaha memperluas teritori kekuasaannya. Sebagai sebuah film satir mengusung tema industri musik, Kill Your Friends, sedang mencoba membuat hit record menggunakan sudut pandang Steven Stelfox. Baginya, band adalah seburuk-buruknya musisi, dan musik electronic dance merupakan jawaban atas apa yang akan menjadi tren di Inggris. Stelfox menjadi kunci utama dalam menggiring alur cerita. Ia adalah orang serba tahu, dan hal ini tidak jarang menghantarkannya menuju masalah. Meskipun karakternya berkembang sesuai ekspektasi, tetapi sangat disayangkan, Stelfox (baca: sutradara) tidak sanggup mengendalikan cerita agar tetap fokus. Alurnya terpecah-pecah. Di satu waktu, penonton akan dibawa ke realita industri, lalu beberapa saat kemudian berganti ke perkembangan permasalahan yang dibuat oleh para tokohnya. Selain itu, tidak ada “bibit unggul” dari aktor-aktor lain. Peran mereka selain kurang mendapatkan screen-time yang layak, aktingnya juga tidak cukup kuat membentuk karakter tokoh yang mereka perankan. Dengan kata lain, Owen Harris menjadikan Hoult anak kesayangannya. Film Kill Your Friends juga hanya sebatas mencemooh, tanpa memperlihatkan “sisi terang” industri tersebut. Sebagai film suspense dengan adegan kekerasan, film hanya sanggup memberi perasaan tegang yang terkesan setengah-setengah. Setidaknya, percakapan pada film ini menarik, banyak perkataan Stelfox yang cukup quotable. Kehadiran Junkie XL sebagai komposer merupakan pilihan yang tepat. Hasilnya? Musik yang dibuat dan dipilih olehnya sanggup membentuk atmosfir dalam suatu adegan. Kepiluan seorang Stelfox terasa bermakna melalui lantunan “Karma Police” oleh Radiohead, ketika ia berada di titik terendah dalam karirnya. Kill Your Friends, a film which taking one man’s perspective about music industry that is so bad in thrilling you even murder scene wasn’t enough. Rating: 4.5/10 - Amelia, Yogyakarta (Penulis adalah pemilik blog Marry the Fiction) Silakan cek Tulisan Pembaca untuk melihat tulisan lainnya dari Kawan Kutu Sutradara: Roxanne Benjamin, Sofia Carrillo, Karyn Kusama, St. Vincent, Jovanka Vuckovic Penulis: Roxanne Benjamin, Jack Ketchum, Jovanka Vuckovic Pemeran: Natalie Brown, Melanie Lynskey, Breeda Wool, Christina Kirk Genre: Horror Durasi: 80 menit Sebuah film horor dikatakan sukses apabila film tersebut berhasil membuat penonton ketakutan, terganggu, dan terbayang-bayang akan gambar yang ditampilkan, meskipun film telah usai. Sebut saja The Shining (1980) dengan gadis kembarnya, Ring dengan hantu yang keluar dari layar kaca, dan adaptasi ulang dari novel Stephen King yang akan datang, It, dan badutnya yang akan terpatri erat di benak para penonton film. Selain aktor yang berperan dan dialog yang dimainkan dalam film, sutradara pun tak lepas dari aspek sukses film horor tersebut. Namun, jika anda perhatikan baik-baik, film-film horor yang beredar di pasaran ataupun menjadi cult classic, jarang sekali diprakarsai oleh seorang wanita. Sutradara pria datang dan pergi memberikan karya yang terbaik dan mencekam, namun sedikit sekali wanita yang berhasil menorehkan nama sebagai sutradara film horor. XX adalah jawaban feminis untuk film horor yang dinanti-nantikan. Jika melihat daftar sutradara film ini, maka anda akan terheran akan jumlahnya yang begitu banyak untuk satu film dengan durasi 80 menit. XX merupakan film antologi, di mana beberapa cerita pendek disatukan menjadi sebuah film, biasanya dengan suatu tema yang menghubungkan cerita-cerita tersebut. XX memiliki empat cerita utama, dengan satu cerita selingan berhubungan, yang disisipkan setiap sebelum sebuah cerita dimulai. Mungkin anda pernah menonton 4bia (2008), film horor antologi dari Thailand? XX memiliki format yang serupa dengan film tersebut. Bedanya? Semua sutradara cerita yang ada pada film XX adalah wanita, dan memiliki peran utama wanita. Mari kita bahas satu-persatu. XX dibuka dengan cerita "The Box", yang disutradarai oleh Jovanka Vuckovic. Sebagai cerita pembuka, The Box memiliki unsur misteri yang kuat, dan akan membuat anda penasaran. Selanjutnya cerita "The Birthday Party", yang disutradarai oleh St. Vincent (ya, penyanyi itu). Horor yang disajikan pada cerita ini bukanlah bersifat jumpscare atau supranatural, melainkan hal yang dengan mudah terjadi di kehidupan nyata.
Pada cerita ketiga, "Don’t Fall" (disutradarai oleh Roxanne Benjamin), unsur-unsur yang sering ditemukan pada film horor lain akan mudah ditemukan pada cerita ini. Sebagai penutup, "Her Only Living Son" akan meninggalkan kesan ngeri namun bittersweet ketika klimaks cerita ditampilkan. Cerita ini disutradarai oleh Karyn Kusama, yang juga menyutradarai film horor cult classic, Jennifer’s Body pada tahun 2009. Dari eksekusi, saya rasa keempat sutradara telah menjalankan dengan baik. Aktor dan aktris yang ada juga memberikan performa yang patut diacungi jempol. Beberapa gambar dan plot twist yang disajikan akan membuat anda teringat dan terkejut. Namun, selama duduk menonton film ini, saya merasa ada sesuatu yang kurang menggugah. Masing-masing premis cerita memiliki daya tarik tersendiri, namun saya tidak merasakan rasa takut ataupun terganggu selama cerita berlangsung. Selain itu, XX memiliki hambatan berupa durasi, di mana memasukkan empat cerita dalam satu film akan memangkas beberapa aspek yang sebenarnya diperlukan dalam penceritaan. Dengan 4 sutradara wanita, hal ini malah memberikan kesan gimmick agar orang ingin menonton film ini. Sangat disayangkan, rasa tidak nyaman dan sedikit ngeri hanya saya rasakan saat saya menonton cerita selingan stop motion tentang rumah berjalan yang ada sebelum setiap cerita dimulai. Saya patut memberikan applause bagi rumah produksi film ini, karena telah memberikan platform bagi sutradara wanita yang berkecimpung pada genre horor. Namun, jika XX merupakan jawaban feminis untuk film horor, maka saya akan menantikan jawaban selanjutnya yang lebih megah, lebih mencekam, dan lebih memberikan ketakutan, meskipun film sudah berakhir. Rating: 5/10 - Yuscha Anindya (Penulis adalah pemilik akun Instagram @yuscha.a dan juga Letterboxd: freetosay) Silakan cek Tulisan Pembaca untuk melihat tulisan lainnya dari Kawan Kutu |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|