Genre: Dark Fantasy
Director: Tim Burton Runtime: 127 Minutes Casts: Eva Green, Asa Butterfield, Chris O Dowd, Samuel L Jackson Kalau Kawan Kutu suka dengan cerita fantasy seperti Harry Potter & Narnia pasti kalian akan suka dengan film ini. Menceritakan tentang Jake yang berusaha untuk mencari tahu misteri kematian kakeknya dan ternyata menemukan dunia fantasi yang dipenuhi oleh manusia dengan kekuatan super bernama "peculiar", yang semuanya diasuh oleh Miss Peregrine. Petulangannya pun semakin seru saat tahu Jake bertemu dengan peculiar jahat yang mengancam keberadaannya. Film adaptasi novel karangan Ransom Riggs ini kembali menggunakan format cerita yang sama, "Seorang remaja/bocah yang mempunyai kehidupan normal biasa, tetapi dia menemukan dunia fantasi menakjubkan. Lalu akhirnya dia merasa spesial, hingga bertemu dengan sang tokoh antagonis yang sangat kuat." Yap, itulah plot utama film ini. Saya pun sedikit bosan karena format cerita yang mirip dan terus digunakan. Namun kebosanan saya sedikit teralihkan pada tema cerita dunia fantasi yang cukup unik. Bila Kawan Kutu mendengar kata "manusia berkekuatan super (dalam film ini disebut peculiar)", pasti kalian akan terbayang seperti film superhero atau X-Men. Namun anggapan Kawan Kutu akan salah. Film ini mungkin menggunakan tema yang mirip seperti film superhero, tetapi ceritanya dibungkus dengan latar cerita yang begitu berbeda dan unik. Seperti serial tv Heroes dan film Hancock. Asa Butterfield dan Eva Green memerankan karakternya dengan baik. Saya pun cukup takjub dengan keputusan Tim Burton yang tidak lagi menggunakan Johnny Depp dan Helena Bonham Carter sebagai pemerannya. Sayangya, para karakter peculiar yang lainnya seolah hanya menjadi pelengkap dan tidak diberikan pengembangan karakter yang cukup, kecuali peculiar love interest Jake. Sangat disayangkan memang. Plot pun berjalan baik dan rapi, sayangnya tokoh antagonis utama film yang diperankan oleh Samuel L Jackson tidak dapat menimbulkan "kengerian dan ketakutan" sebagai peculiar jahat. Padahal saya sangat berharap lebih dari si "Bad Motherf*cker" ini. Malah saya sempat melihat komedi dari karakter yang dibawakannya. Sangat berbeda dengan pembawaan Ralph Fiennes sebagai Voldemort misalnya. Overall, film ini cukup menghibur dan bisa sejenak membuat Kawan Kutu lupa kalau dunia fantasi lebih menyenangkan dibanding dunia realita. Saya alami persis setelah selesai menonton film ini, "Yah, kembali ke kehidupan nyata deh...." Overall: 7/10 - Kutu Kamar
0 Comments
Genre: Animation, Comedy, Drama
Director: Garth Jennings Runtime: 110 Minutes Casts: Matthew McConaughey, Reese Witherspoon, Seth MacFarlane, Scarlett Johansson, John C. Reilly, Taron Egerton Usai menonton film ini, saya menemukan satu alasan lagi mengapa saya senang menonton film animasi. Alasan tersebut adalah film animasi selalu mematahkan segala ekspektasi yang saya miliki sebelum menyaksikannya. Ya saya sebenarnya agak skeptis terhadap karya Illumination Entertainment setelah film Minions yang ternyata jauh dari kata memuaskan. Kali ini saya harus bersyukur karena sikap pesimis tersebut malah terbayar tuntas Sebenarnya di tahun 2016 ini, film animasi yang saya tonton terbilang sedikit. Hanya Zootopia, Stork, dan Sing yang sempat saya saksikan. Jika dibandingkan, memang Sing kalah dalam beberapa aspek. Dari segi kedalaman cerita tentu Zootopia jauh lebih unggul, dan Stork memiliki ide yang unik dengan mengangkat elemen kisah legendaris Eropa. Namun bagi saya, Sing adalah film animasi yang sangat menghibur. Faktor menghibur bagi saya sangat penting di film Sing. Selain karena film ini memang ditujukan untuk semua umur, harus diingat juga bahwa ini adalah film animasi. Seperti yang telah saya utarakan setelah menyaksikan Stork, keuntungan dari film animasi adalah kita bisa dengan mudah menerima berbagai hal yang disajikan, bahkan hal absurd sekalipun. Maka dari itu, harusnya unsur komedi pun akan lebih mudah diterima jika disajikan lewat animasi. Sing terbilang beruntung mengangkat unsur musikal. Jadi, film ini tak hanya bisa menghibur dari gerak-gerik maupun dialog para karakternya saja. Namun juga dari lantunan lagu-lagu populer sepanjang film. Ya bayangkan saja bagaimana dua hal tersebut menyatu dalam sebuah adegan. Oh ya, saya juga cukup terkejut ternyata Sing menjadi salah satu film yang cukup memotivasi dan ada banyak hal menarik yang bisa diambil. Meski masih jauh di bawah level film-film produksi Pixar, tapi ini adalah sebuah kemajuan menurut saya. Belum lagi jika mengingat film Illumination terdahulu seperti Minions dan Despicable Me. Tentu Sing memberi nuansa yang berbeda. Kekurangan dari film ini adalah ceritanya yang mudah sekali ditebak. Ya narasinya biasa-biasa saja, tak ada unsur kejutan dari segi ceritanya. Saya juga menyayangkan dengan fokus ceritanya yang agak terbelah dengan hadirnya latar belakang beberapa karakter. Namun bagusnya, hal tersebut tak hanya menjadi “plot device”, tapi juga punya pengaruh langsung pada plot utamanya. Secara keseluruhan, Sing adalah film yang sangat menghibur. Salah satu pilihan tepat jika kalian ingin mengisi waktu luang dengan sesuatu yang bisa membuat kita tertawa. Oh ya, saya mau mengingatkan satu hal, coba lupakan terlebih dahulu siapa jajaran pengisi suaranya saat menyaksikan film ini. Overall: 7,5/10 - Kutu Kasur Genre: Action, Drama, Sci-fi
Director: Morten Tydlum Runtime: 120 Minutes Casts: Jennifer Lawrence, Chris Pratt, Michael Sheen, Laurence Fishburne, Andy García Untuk para pria, ayo sesekali hadiri acara peragaan busana. Datang ke sebuah fashion week, atau mungkin yang mudah kita tonton saluran Fashion TV. Untuk wanita, cukup pandangi sampul majalah Men's Fitness untuk memuaskan mata kalian. Cukup menyegarkan, bukan? Atau mungkin Kawan Kutu pernah mengagumi seseorang? Membawanya ke dalam mimpi, menyangkutkannya di dalam angan, dan mematoknya sebagai sebuah tujuan? Tetapi pastinya tidak selalu harapan seindah kenyataan bukan? Kala kita tertarik akan hal yang kita lihat, entah itu sesuatu atau seseorang, saat itu otak kita yang bekerja. Baru ketika kita mengenalnya, berjalan bersamanya, dan mendalami kepribadiannya, saat itulah hati kita bisa memutuskan ke arah mana ketertarikan tersebut akan bermuara. Apakah the show will go on, atau semuanya berakhir sebagai perfect illusion? Hanya sedap di rupa namun tidak nyaman di rasa? Durasi 120 menit kemudian mempertemukan saya dengan muara tersebut untuk film Passenger, yang sayangnya hanyalah sebuah perfect illusion. Mengapa demikian? Tentunya kita tidak perlu menyangsikan film ini secara kasat mata. Siapa yang berani meragukan kelas dari seorang Chris Pratt dan Jennifer Lawrence juga Michael Sheen serta Lawrence Fishburne sebagai pemeran pendukung? Premis yang unik, visual yang nyaris sempurna, perbedaan yang begitu tipis antara animasi dan realita, serta scoring musik yang cukup memanjakan telinga turut mendampingi film ini dalam meyakinkan penontonnya. Tapi kemudian seiring waktu berjalan, film ini seolah "didoakan" oleh salah satu dialog mereka sendiri, "We are trapped in a sinking ship." Setelah menit demi menit berlalu, ceritanya semakin tenggelam. Tempo cerita yang berjalan lambat justru kelewat batas dan akhirnya kehilangan arah dan menjadi bertele-tele. Konflik yang ada dalam cerita terlalu cheesy dan kemudian konflik utamanya terkesan dipaksakan. Cerita yang disusun pun terlalu banyak memiliki flaws serta lubang dalam plotnya. Konklusi akan konflik yang dihadirkan terkesan dijejalkan untuk memberikan ending yang (paling tidak) dapat diterima oleh pasar. Bila Kawan Kutu membayar 30-100 ribu untuk melihat visual mewah dan kemesraan J-Law dan Chris Pratt, silahkan tonton film ini, jangan lupa tonton yang 3D. Saya tidak akan membahas chemistry dari akting Jennifer Lawrence dan Chris Pratt, karena mereka benar-benar berada dalam suatu harmoni yang dapat dinikmati. Namun apabila Kawan Kutu datang untuk menikmati sebuah film dengan cerita yang solid, sayangnya harmoni mereka tidak cukup untuk menutupi rusaknya "kapal besar" yang mereka tumpangi. Dalam hal ini, kapal besar bukan hanya kapal Avalon, nama kapal mereka dalam film, tetapi juga film Passengers. "Kapal besar" yang memuat milyaran imajinasi liar, tetapi hanya memiliki nyali recehan untuk mengaplikasikan seluruhnya, yang kemudian hanya menghasilkan sebuah ilusi yang sempurna. Overall: 4,5/10 - Kutu Klimis Genre: Mystery, Comedy
Runtime: 90 Minutes Director: Raditya Dika Casts: Prilly Latuconsina, Soleh Solihun, Gading Marten, Raditya Dika, Titi Kamal, Mathias Muchus, Surya Saputra, Dinda Kanya Dewi, Bayu 'Skak', "Tolong buat paper tentang materi ABC, minimal 10 halaman, print dan jilid". Begitu biasanya guru atau dosen dengan 'entengnya' meminta siswa maupun mahasiswa untuk memenuhi prosentase nilai dengan menyodorkan tugas yang mengharuskan mereka mencari data dari berbagai sumber, entah itu buku maupun internet. Tetapi di zaman serba canggih ini, tentunya buku fisik sedikit ditepikan dan penggunaan internet untuk mencari materi seolah sudah menjadi suatu hal yang 'fardhu ain'. Kemudian dari mereka yang mencari bahan melalui internet ini, terbagi menjadi 3 golongan, mereka yang betul-betul membaca dan membuat materi sesuai pemahaman mereka, mereka yang menyalin keseluruhan materi dengan keajaiban Co-Pas, dan satu lagi mereka yang cerdik merekonstruksi bahan yang mereka dapat dengan Co-Pas untuk kemudian membuat bahan tersebut menjadi "gaya mereka". Haram kah? Tentu tidak, setelah Equil, Sari Roti, dan Topi Sinterklas, saya belum mendengar bahwa copas adalah hal yang haram (selama memenuhi kondisi tertentu), jadi tidak. Saya rasa ini bukan hal yang haram. Beralih kepada Raditya Dika yang tahun ini secara mengejutkan menelurkan sepasang film, yaitu Koala Kumal dan Hangout, saya harus mengatakan bahwa dibanding Koala Kumal, Hangout terasa terburu-buru dalam penyusunan dan pembuatannya. Saya merasakan banyak hal yang tanggung dari film ini. Baik dari script, maupun persiapannya. Seolah saat membuat ini Radit berkata pada dirinya sendiri "lo harus bikin yang beda dit, sebelom 2016 berakhir, lo harus tunjukkin kalo lo beda. Meskipun lo tetep belom nikah, lo harus tunjukkin kalo film yang lo buat bukan cuma film cinta-cinta ala remaja belum sunat", kemudian terciptalah Hangout. Sejujurnya film ini bukan film yang jelek, sama sekali tidak. Tapi sayangnya film ini terkesan dipaksakan. Mengapa saya bisa dengan sok tahunya berkata seperti itu? Karena film ini termasuk dari golongan ke tiga dari golongan yang telah disebutkan tadi. Film ini tentunya tidak hanya membaca untuk kemudian membuat dengan gaya sendiri, tidak juga secara terang-terangan Co-Pas, tapi film ini dengan cerdik mengambil garis besar dari And Then There Were None, merekonstruksi sedemikian rupa, dan membuatnya menjadi gaya Radit yang kocak. Saya sedikit menyayangkan beberapa detail dan garis besar cerita hampir seluruhnya terinspirasi dari mini-series yang diangkat dari novel tersebut. Memang ada unsur komedi yang diterapkan disini, namun unsur komedi yang ditampilkan terkadang "roaming", karena meskipun komedinya populer namun itu hanya bagi kalangan tertentu. Seperti opening film yang seolah menyindir film Triangle, atau line "Youtube kan lebih dari tv. Boom!" Tidak semua penonton memahaminya. Beberapa punchline pun tidak tepat terkena sasaran. But well, saya apresiasi usaha dari Raditya Dika untuk keluar dari zona nyamannya. Kita semua tahu bahwa selama ini ia membuat film dengan tema cinta, jomblo, patah hati, dan sejabanya. Hangout seolah menjadi sebuah batu loncatan yang ia susun untuk membuktikan bahwa ia tidak hanya mampu membuat film drama cinta komedi, tapi juga drama misteri komedi, meskipun hasil rekonstruksi, yang cukup menghibur. Tidak ada yang salah memang. Kita tahu banyak dari film-film hollywood yang diparodikan, bahkan karakter ikonik serta adegannya turut dihadirkan dalam versi nyeleneh seperti dalam Scary Movies. Tetapi kemudian ketika kita tahu bahwa Scary Movies adalah jelas-jelas film parodi, sedangkan Hangout adalah film 'karya', akan sedikit berbohong bila kemudian ada yang berkata, "keren ya, kok bisa kepikiran bikin film kaya gitu." Karena sebenarnya orisinalitas dari film ini adalah "hasil rekonstruksi". Tetapi bila ada hal yang saya nikmati dari film ini, yaitu kemampuan akting dari Prilly Latuconsina. Kita dapat melihat dalam film ini bahwa Prilly memiliki prospek karier yang cukup menjanjikan di dunia seni peran. Untuk ukuran film, tone, gaya cerita, serta keseluruhan elemen, saya akui Raditya Dika bekerja dengan cukup baik. 6/10 dari saya. Tetapi kemudian karena aspek "orisinalitas", 4/10 adalah angka yang tepat. Karena bagi personal seperti Raditya Dika, yang dianggap menginspirasi, kreatif, dan multi talenta, saya rasa ia seharusnya mampu membuat cerita yang lebih orisinil, bukan dengan merekonstruksi cerita yang sudah ada. But (ironically) as one of line from the movie said, "Lu mau bikin yang bagus, atau mau makan?" Pada akhirnya kita semua butuh makan, bukan? Overall: 4/10 - Kutu Klimis Genre: (Smart)Action
Runtime: 90 Menit Sutradara: Affandi Abdul Rahman Casts: Fachri Albar, Arifin Putra, Lukman Sardi, Cornelio Sunny, Richard Kyle, Melayu Nicole Hall, Imelda Therinne Coba ketik "poster film Headshot" di Google, lalu unduh salah satunya. Kemudian ketik "poster film The Professionals" di Google. Unduh juga? Sebentar, saya yakin setelah membuka halaman demi halaman, Kawan Kutu hanya akan menemukan poster film lawas dan 'mentok-mentok' film Leon: The Professional. Perlu "tambahan ekstra" untuk menemukan The Professionals yang kita maksud di Google. Berangkat dari hal tersebut, menurut hemat saya film yang menampilkan Fahri Albar, Arifin Putra, dan Imelda Therin sebagai pusat cerita ini adalah film "slepetan". Ibarat kita makan di warung Padang, The Professionals 'cuma' daun di kuah sayur yang ujung-ujungnya tidak akan termakan. Begitukah faktanya? Well, setelah ekspektasi saya diluluh-lantakkan oleh Headshot, saya sedikit antipati terhadap film yang belum apa-apa sudah digembar-gembor sebagai film aksi Indonesia yang "berbeda". Tetapi setelah diundang ke gala premiere-nya, bertemu para pemerannya, bersalaman dengan sutradaranya, saya harus akui film ini adalah film yang bagus. Eh, Lho ada yang aneh ya? Haha. Maksud saya, setelah berkesempatan menyaksikan film ini lebih awal, saya cukup mengamini bahwa film ini memiliki jalinan cerita yang lebih baik ketimbang Headshot. Meskipun tidak memiliki label festival film luar negeri, setidaknya film ini sedikit lebih tertata. Memang alur cerita terkadang melompat-lompat tak beraturan, seperti pocong dikejar pajak kuburannya, namun setidaknya kita dapat menangkap master plan dari cerita yang hendak ditampilkan oleh Affandi Abdul Rahman. Antipati lain saya rasakan ketika melihat bahwa MNC pictures merupakan rumah produksi dari film ini. Karena sejauh ini film-film produksi MNC pictures bagi saya terlihat seperti FTV di layar yang lebar. Entah itu dari segi tone, pengambilan gambar, maupun jalinan cerita. Tetapi lagi-lagi saya salah, memang dari segi visualisasi, sinematografi, serta tone, The Professionals kalah dari Headshot, tapi tidak seburuk yang ada dalam bayangan saya. Untuk yang agak risih mengapa saya terus membandingkan ini dengan Headshot, mohon dimaklumi saja ya. Saya masih sakit hati atas 60 ribu yang seharusnya bisa saya belikan donat "6 gratis 6", tetapi malah saya habiskan untuk melihat Iko Uwais akhirnya membuat film yang kurang "greget". Dari segi script, film ini bagi saya memiliki anomali tersendiri. Terkadang terkesan cair, namun mendadak menjadi kaku dan sedikit kikuk untuk dinikmati. Konsep cerita dengan ansamble cast, di mana semua karakter memiliki porsi milestone mereka tersendiri justru terkadang malah membuat film ini kehilangan arah. Tapi harus saya akui, tagline "film action yang beda" dan menyematkan genre Smart Action memang terasa. Karena praktis film ini lebih terasa seperti film yang menonjolkan aksi pikiran ketimbang aksi otot. Tetapi justru hal tersebut pula yang terkadang membuat film ini sedikit terasa nanggung. Secara keseluruhan bagi saya memang film ini mampu mengejutkan, tetapi masih banyak aspek yang bisa dikembangkan serta lubang yang harus ditambal untuk kemudian mengatakan film ini adalah film yang "keren". Overall: 6/10 - Kutu Klimis |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|