Jauh sebelum namanya dikenal banyak orang seperti saat ini, Natalie telah menunjukkan kecintaanya di dunia seni. Dia telah menggeluti seni tari sejak usia 4 tahun, ketika dia dan keluarganya belum lama pindah ke Amerika Serikat. Wanita yang lahir pada 1981 tersebut bahkan pernah menolak saran dari seseorang yang bekerja di Revlon untuk berkarier sebagai model. Seperti yang kita tahu, keputusannya untuk mengejar impian sebagai aktris adalah keputusan yang tepat. Portman melakukan debut filmnya di Léon: The Professional (1994). Melalui performanya di film garapan sutradara Luc Besson tersebut, dia langsung bisa menarik perhatian para penonton dan juga kritikus. Selain debutnya sebagai aktris, film tersebut juga menjadi debut bagi nama “Portman”. Ya, Portman bukanlah nama asli miliknya, melainkan nama yang diambil dari neneknya. Hal itu diakui Natalie untuk melindungi privasi dan identitas keluarganya. Setelah itu, Natalie mulai rutin mendapatkan peran di berbagai film seperti Heat (1995), Everyone Says I Love You (1996), dan Mars Attacks! (1996). Ada hal menarik sejak dia tampil di Beautiful Girls (1996), sejak saat itu dia mulai enggan untuk menerima tawaran yang perannya ia anggap mengeksploitasi seksualitas wanita muda. Dia tak ingin dirinya menjadi “fantasi para pedofil”. Dia menyatakan, "It dictated a lot of my choices afterwards 'cos it scared me...it made me reluctant to do sexy stuff, especially when I was young." Namanya semakin dikenal saat ia berperan sebagai Padmé Amidala di trilogi prekuel Star Wars. Selain itu, dia juga sukses ketika terlibat dalam film Anywhere but Here (2000), yang mengantarkan namanya meraih nominasi aktris pendukung terbaik. Pada tahun 1999, Natalie memutuskan untuk meneruskan studi di Harvard University. Dia pun mengambil keputusan yang cukup berat, dengan memilih untuk vakum dari dunia perfilman selama empat tahun ke depan untuk fokus pada studinya. Natalie hanya melakukan pengecualian pada proyek Star Wars. Portman pun lulus dari Harvard pada 2003 dengan gelar Bachelor of Arts. Meski sempat vakum, Natalie Portman tak kehilangan kemampuannya begitu saja. Dia kembali meraih sukses ketika berperan di film Closer (2004) dan film garapan Wong Kar-wai, My Blueberry Nights (2007). Ia juga meraih banyak pujian dari performanya di V for Vendetta (2005). Natalie pernah menyatakan alasannya menerima tawaran untuk tampil V for Vendetta, “The film doesn't make clear good or bad statements. It respects the audience enough to take away their own opinion." Puncak kesuksesan seorang Natalie Portman hadir kala ia tampil di Black Swan (2010). Demi perannya, Natalie bahkan rela berlatih keras untuk tari balet dan menurunkan berat badannya hingga 10 kg. Ya, pada akhirnya determinasinya membawa ia meraih berbagai penghargaan termasuk Academy Awards, Golden Globes, dan BAFTA. Kesuksesan tersebut hampir terulang ketika dia berperan sebagai Jacqueline Kennedy di Jackie (2016), sayangnya ia tak berhasil memenangkan ketiga penghargaan besar seperti di Black Swan.
Hingga kini Natalie telah membintangi lebih dari 40 judul film dan angka itu dipastikan terus bertambah. Bahkan ia telah memastikan akan tampil di beberapa judul seperti The Heyday of the Insentive Bastards (2017), Annihilation (2018), dan The Death and Life of John F. Donovan (2018). Selain itu ia juga akan membintangi sebuah mini series berjudul We Are All Completely Beside Ourselves. Di usianya yang baru menginjak 36 tahun, Natalie secara total telah memenangkan 79 penghargaan dan 124 nominasi lainnya. Mari tutup tulisan ini dengan kutipan dari Natalie Portman yang cukup membekas di benak saya, “I don’t care if college ruins my career, I’d rather be smart than a movie star.” - Kutu Kasur
0 Comments
Ada satu hal yang selalu melekat jika kita berbicara tentang George Lucas, Star Wars. Ya, Lucas adalah orang dibalik hadirnya salah satu franchise terbesar yang pernah ada di dunia hiburan. Bahkan Star Wars telah berubah menjadi ‘pop culture phenomenon’ yang terus bertahan hingga saat ini.
George Walton Lucas Jr lahir di Modesto, California, Amerika Serikat pada 14 Mei 1944. Kehidupan di Modesto membuat Lucas kecil memiliki ketertarikan pada balapan. Bahkan dia mengaku memang pernah ingin menjadi seorang pembalap. Namun hal itu berubah ketika dia mengalami kecelakaan fatal pada 1962. Sebuah kecelakaan yang akhirnya membawa Lucas kepada hal baru, sinematografi. Ia pun akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studi di USC School of Cinematic Arts. Di sanalah Lucas pertama kali bertemu dengan orang-orang seperti Randal Kleiser, Walter Murch, Hal Barwood, John Millius, dan juga Steven Spielberg. Ada dua orang di USC yang begitu mempengaruhi kemampuan Lucas dalam membuat film, Lester Novros dan Slavko Vorkapich. Lester banyak mengajarkan tentang elemen non naratif seperti warna, cahaya, ruang, waktu, dan juga pergerakan kamera. Sedangakan Vorkapich lebih menekankan pada kemampuan alami, keunikan, dan dinamisme yang ada di sebuah film. Ya tak heran jika melihat karyanya yang begitu unggul dalam hal visual. Dia pun menunjukkan ketertarikannya pada ‘pure cinema’, sebuah gaya pembuatan film yang berfokus pada elemen-elemen murni pada sebuah film seperti komposisi visual, pergerakan, dan ritme. Gaya ini memang mereduksi banyak hal dari sebuah film pada umumnya, terutama karakter dan cerita. Lucas akhirnya membuat beberapa judul film pendek ala ‘pure cinema’, seperti Look at Life, 1:42.08, dan Anyone Lived in a Pretty (how) Town. Tahun 1969 Lucas membentuk American Zoetrope, studio yang dibuat bersama dengan Ford Coppola. Mereka bertujuan untuk menyediakan ruang bagi para sineas yang ingin berkarya “di luar” sistem Hollywood. Namun, film pertama Lucas di studio ini, THX 1138, gagal menuai sukses. Pada akhirnya, Lucas memilih untuk membuat perusahaannya sendiri, Lucasfilm, Ltd., dan ia pun menuai kesuksesan dari American Graffiti (1973). Melalui reputasi dan kondisi ekonominya saat itu, ia secara perlahan mengembangkan sebuah cerita yang berlatar luar angkasa. Lalu muncullah Star Wars, yang diakuinya banyak terinspirasi dari The Hidden Fortress karya Akira Kurosawa. Di luar dugaan, Star Wars menuai sukses besar dengan menjadi film berpendapatan tertinggi saat itu. Fox yang kala itu terkesan dengan kesuksesan American Graffiti dan Star Wars, menawarkan Lucas angka 150 ribu dollar untuk menggarap sekuel Star Wars. Namun ia menolak dan memilih untuk bernegosiasi tentang hak kepemilikan dari lisensi dan juga merchandise Star Wars. Fox pun akhirnya menyetujuinya. Ternyata Lucas berhasil memanfaatkan hal tersebut dengan bijak. Pihak Lucasfilm pada akhirnya berhasil meraup jutaan dollar dari lisensi mainan, video game, dan segala barang koleksi yang dibuat untuk franchise Star Wars. Namun setelah Star Wars rilis, dia memasuki masa hiatus sebagai sutradara dan fokus sebagai penulis atau produser, termasuk spinoff Star Wars untuk film, televisi, dan media lainnya. Hal ini faktanya tetap menjaga kesuksesan seorang George Lucas, salah satunya adalah Body Heat (1981), Labyrinth (1986), The Land Before Time (1988), dan proyek bersama Steven Spielberg, Indiana Jones, yang keempat filmnya ditulis langsung oleh Lucas. Namun bukan berarti dia tak mengalami kegagalan. Toh, nyatanya ada beberapa film yang gagal menuai kesuksesan seperti More American Graffiti (1979), Tucker: The Man and His Dream (1988), dan Howard the Duck (1986) yang disebut-sebut sebagai kegagalan terbesar Lucasfilm. Setelah menuai berbagai ketidakberuntungan, Lucas akhirnya memutuskan untuk kembali turun tangan sebagai sutradara. Dia pun membuat trilogi prequel film Star Wars, yang dimulai pada 1999. Meski prequel tersebut menuai pujian dan kritik, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ketiga film tersebut menuai keuntungan yang besar. Dia pun kembali menulis untuk Indiana Jones, yang bertajuk Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull (2008). Pada 2012, Lucas menyatakan ingin mundur dari pembuatan film-film blockbuster dan memilih untuk memfokuskan kembali kariernya pada film-film independen. Di tahun yang sama, ia juga menunjuk Kathleen Kennedy sebagai tangan kanannya, dan akhirnya Lucasfilm pun dijual ke Disney. Sejak 2014, Lucas sudah berada di masa semi pensiun sebagai sineas. Dia pun hanya bekerja sebagai konsultan kreatif tentang franchise Star Wars dan Indiana Jones. Selain Star Wars dan Indiana Jones, ada satu hal yang hadir berkat Lucas, yaitu Pixar. Pada awalnya Pixar adalah salah satu divisi komputer di Lucasfilm. Namun grup tersebut dibeli oleh Steve Jobs pada 1986 dengan mahar 5 juta dollar. Kala itu memang Lucas ingin menghentikan kerugian yang mencapai 7 juta dollar akibat riset untuk teknologi yang dikembangkan. Atau lebih tepatnya Lucasfilm memilih untuk fokus pada produk hiburan ketimbang teknologi. Beruntung memang di dunia ini ada George Lucas. Seseorang yang berhasil menerjemahkan idealismenya ke dalam kreativitas dan membawanya ke dalam kesuksesan besar. Ya, sampai kapan pun baik Star Wars dan Indiana Jones akan tetap menjadi sejarah penting dalam dunia perfilman. - Kutu Kasur Kawan Kutu tentu tak asing dengan nama Audrey Hepburn. Namanya memang begitu mendunia, tak hanya dari kariernya sebagai aktris Hollywood saja, tetapi juga Audrey Hepburn telah menjadi salah satu wanita yang ikonik. Dengan paras yang menawan, Hepburn nyatanya tak hanya dikenal dari fisiknya, tetapi juga kegigihannya untuk membantu orang-orang di berbagai belahan dunia. Audrey Kathleen Ruston lahir pada 4 Mei 1929 di Brussels, Belgia dari Joseph Ruston dan Ella van Heemstra. Nama Hepburn sendiri berasal dari nama Belgianya, Edda Kathleen Hepburn-Ruston. Kata Hepburn diwarisi dari sang Ayah, yang mengubah namanya setelah ia merasa bahwa dirinya adalah keturunan James Hepburn, suami Mary I of Scotland. Sebagian besar masa kecil Hepburn berada di ranah Britania dan mengenyam pendidikan di Elham. Ketika Perang Dunia II pecah, dia dan ibunya pindah ke Belanda dengan harapan negara itu tetap netral dan terhindar dari serangan Jerman. Hepburn pun melanjutkan studinya di Arnhem Conservatory. Ketika Jerman menyerang, Hepburn dan ibunya kesulitan untuk bertahan hidup. Audrey juga dikabarkan ikut membantu perlawanan sebagai penyampai pesan. Saat perang usai, Hepburn melanjutkan untuk mengejar impiannya di bidang seni tari. Dia akhirnya mempelajari Tari Balet di Amsterdam, lalu melanjutkannya di London. Pada 1948, Hepburn melakukan debut panggungnya sebagai anggota paduan suara di drama musikal, High Button Shoes. Dua tahun kemudian, dia akhirnya mendapat peran besar di ‘Sauce Piquante’. Di tahun yang sama, Hepburn juga merambah dunia perfilman dengan peran-peran kecil di One Wild Oat, Laughter in Paradise, Young Wives’ Tale, dan The Lavender Hill Mob. Sebelum akhirnya dia mendapat peran pendukung yang lebih besar di The Secret People (1962). Di film tersebut, dia berperan sebagai balerina dan melakukan adegan tariannya sendiri tanpa pemeran pengganti. Kesuksesan Audrey hadir ketika ia berhasil mendapat peran besar di Roman Holiday (1953). Jauh di luar dugaan, dia meraih berbagai penghargaan mulai dari BAFTA, Golden Globe, hingga Oscar kategori Best Actress in a Leading Role. Bisa dibilang dari film inilah awal kepopuleran Audrey Hepburn. Selepas Roman Holiday, kariernya terbilang stabil bahkan terus melejit. Hal ini dibuktikan dari namanya yang sering menghiasi deretan nominasi untuk berbagai penghargaan. Sebutlah film-filmnya seperti Sabrina (1954), The Nun’s Story (1959), Breakfast at Tiffany’s (1961), dan juga Wait Until Dark (1967). Melewati tahun 1967, Audrey memutuskan untuk menghabiskan waktunya untuk keluarga. Dia pun semakin jarang untuk mengambil pekerjaan sebagai aktris film. Bisa dibilang dia memasuki fase semi pensiun. Namun sembilan tahun kemudian, dia kembali untuk film Robin and Marian. Setelah itu, tercatat Hepburn hanya berlaga di tiga film saja. Penampilan terakhirnya di layar lebar adalah Always (1989), yang disutradarai oleh Steven Spielberg. Kemunduran Audrey Hepburn memang disayangkan banyak orang, terutama para penggemarnya. Selain perihal keluarga, alasan terbesar dirinya untuk mundur adalah rasa pedulinya terhadap sesama manusia, terutama nasib para anak-anak. Pada akhirnya, dia mulai mengabdikan diri pada masyarakat dunia bersama UNICEF.
Kekhawatiran Audrey memang beralasan. Karena dia sendiri pernah mengalami masa-masa buruk ketika masih kecil. Masa di mana Audrey Hepburn merasa kelaparan dan selalu terancam akibat perang. Bersama UNICEF, Audrey menjadi bagian dari berbagai proyek kemanusiaan di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Pada 1993, Academy Award memberikan penghargaan khusus untuk pengabdiannya pada kemanusiaan. Namun sayangnya, Audrey telah lebih dulu meninggalkan dunia pada 20 Januari di tahun yang sama. Audrey meninggal setelah berjuang melawan kanker. Meski telah tiada, namun Audrey Hepburn telah meninggalkan banyak hal. Pengaruhnya di bidang fashion bahkan masih ada hingga saat ini. Banyak majalah yang sering merekomendasikan pembacanya untuk melihat bagaimana penampilan Audrey Hepburn. Bahkan survey yang dilakukan Evian di tahun 2004, dia dinobatkan menjadi ‘most beautiful woman of all time’. Audrey adalah salah satu dari sedikit bintang yang pernah memenangkan Oscar, Emmy, Grammy, dan Tony Awards selama kariernya. American Film Institute pun memasukkan namanya ke dalam Greatest Female Stars of All Time. Perjuangannya untuk kemanusiaan pun tidak berhenti sepeninggalannya. Anak Hepburn, Sean Ferrer dan Luca Dotti akhirnya memutuskan untuk membuat Audrey Hepburn Memorial Fund di UNICEF. Ya, tak semua manusia beruntung seperti Audrey Hepburn. Hidupnya seolah-olah begitu sempurna, paras yang menawan, karier yang fantastis, menjadi ikon fashion, hingga kerendahan hatinya untuk membantu orang lain. Namun kita harus sadar, bahwa itu semua diraihnya setelah melewati masa kecil yang kelam. Masa di mana Audrey Hepburn merasa ketakutan dan kesulitan untuk bertahan hidup akibat perang. -Kutu Kasur Nama John sebenarnya lebih dulu dikenal sejak masih menjadi seorang aktor. Dia mempelajari seni peran di American Academy of Dramatic Arts, tempat di mana ia juga bertemu dengan istrinya kelak, Gena Rowlands. Setelah lulus, ia tetap meneruskan kariernya dengan tampil di teater dan perlahan mulai merambah televisi dan layar lebar. Dia pun cukup sukses ketika berperan di serial antologi, Johnny Staccato (1959-1960).
Pada 1956, Cassavetes membuka workshop untuk mengajarkan metode improvisasi dalam berperan di New York. Dari metode itulah akhirnya ia terinspirasi untuk membuat film pertamanya sebagai sutradara. Dari hasil jerih payahnya selama menjadi aktor ia kumpulkan untuk memproduksi film pertamanya, Shadows (1959). Film tersebut memang pada akhirnya tak mendapatkan distributor, namun Shadows berhasil memenangkan Critics Award di Venice Film Festival tahun 1960. Dari kesuksesan Shadows, John mendapatkan kontrak untuk dua film selanjutnya, Too Late Blues (1961) dan A Child is Waiting (1963). Namun sayangnya, kedua film tersebut gagal memenuhi ekspektasi studio dari segi pendapatan. Akhirnya John kembali membuat film secara independen. Hasilnya pun tak sia-sia, film keduanya yang berjudul Faces (1968), mendapatkan tiga nominasi Academy Awards untuk kategori Best Original Screenplay, Supporting Actor, dan Supporting Actress. Cassavetes pun membentuk sebuah perusahaan distribusi yang bernama “Faces International”, untuk menangani semua film produksinya. Selain kesuksesan Faces, ia juga berjaya di film A Woman Under the Influence (1974) dengan nominasi Academy Awards dan Golden Globes di kategori Best Director. Ia juga pernah mendapatkan nominasi sebagai aktor dari perannya di film The Dirty Dozen (1967). Yang membuat seorang John Cassavetes spesial adalah gayanya dalam membuat film. Ia terkenal gemar menghadirkan karakter yang tak mudah dipahami begitu saja. Selain itu, ia juga terinspirasi dari metode “cinema verite”, sebuah gaya ‘documentary filmmaking’ yang diciptakan oleh Jean Rouch. Gaya ini memadukan improvisasi dengan penggunaan kamera untuk mengungkap atau menyoroti sesuatu dibalik realita. John menggunakan metode itu untuk mengakomodasi spontanitas dari sang aktor. Maka dari itu, Cassavetes tak pernah tertarik untuk bekerja sama dengan para aktor atau aktris yang lebih mementingkan penampilannya dibanding performanya sebagai suatu karakter. Gayanya yang terbilang unik ini sering membingungkan para penontonnya, karena filmnya memang mirip dengan sebuah dokumenter. Kecuali film Shadows, semua dialog dan ‘action’ di film-film Cassavetes telah direncanakan dan diatur melalui naskah skenario. Hanya saja John sangat membebaskan interpretasi dari para aktor dan tak mengatur bagaimana cara penyampaiannya. Ya, keberanian John Cassavetes memang patut diapresiasi. Bahkan kini John Cassavetes telah menjadi subjek dari berbagai buku tentang aktor atau sineas. Film-filmnya juga sering digunakan sebagai materi pembelajaran dan diskusi dalam studi pembuatan film. Namanya juga digunakan sebagai penghargaan, yaitu Independent Spirit John Cassavetes Award. Mari kita tutup tulisan ini dengan kutipan dari John Cassavetes, “The hardest thing for a film-maker, or a person like me, is to find people who really want to do something. They’ve got to work on a project that’s theirs.” - Kutu Kasur Clive Owen adalah salah satu aktor kelahiran Inggris yang namanya telah dikenal sejak lama di dunia perfilman. Lahir di Coventry, Inggris, Owen mengaku bahwa ia tumbuh dengan masa kecil yang berat. Ayahnya, Jess Owen, yang dikenal sebagai musisi country meninggalkan Clive dan keempat saudaranya ketika ia berusia tiga tahun.
Awalnya, Clive sempat menolak untuk masuk ke sekolah drama. Namun setelah sekian lama menghabiskan waktu untuk mencari pekerjaan, ia mengubah pikirannya. Clive Owen memutuskan untuk menimba studi di Royal Academy of Dramatic Art. Ketika lulus, kariernya sedikit demi sedikit terbuka dengan diawali dengan beberapa penampilan di drama Shakespear. Pada 1988, Owen mulai merambah dunia televisi dengan tampil di Precious Bane (BBC) dan Vroom (Channel 4). Barulah di 1990, ia mulai bermain secara reguler di panggung teater maupun serial televisi. Namanya mulai mendapat perhatian ketika tampil di serial Chancer (ITV) dan film Close My Eyes (1991). Owen pun akhirnya dilirik oleh Hollywood dengan tampil bersama Halle Berry di The Rich Man’s Wife (1996). Setahun kemudian, nama Clive Owen semakin mendunia ketika berperan sebagai Jack Manfred di film Croupier. Karier seorang Clive Owen berada di puncak ketika mulai memasuki era 2000-an. Melalui film Closer (2004), Owen meraih penghargaan dari BAFTA dan Golden Globes, serta masuk nominasi Academy Awards untuk kategori aktor pendukung terbaik. Selain itu, ia juga pernah masuk nominasi Golden Globes melalui Hemingway & Gellhorn (2012) dan The Knick (2014). Clive juga dikenal melalui film-film lainnya seperti Sin City (2005), Derailed (2005), Inside Man (2006), Children of Men (2006), dan juga The International (2009). Hingga saat ini, Owen masih aktif untuk tampil di beberapa film. Di tahun 2017 nanti, ia akan tampil setidaknya di tiga film, Andorra, Valerian and the City of a Thousand Planets, dan Anon yang masih dalam tahap produksi. |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|