Di gelaran ke-70 ini, Cannes Film Festival telah mengumumkan para pemenang dari berbagai kategori yang telah disiapkan. Ajang penganugerahan tersebut dilaksanakan di Lumiere Theatre.
Film 'The Square' garapan Ruben Östlund pun memenangkan Palme d'Or, kategori tertinggi dalam festival Cannes. Selain itu muncul juga nama seperti Sofia Coppolla yang memenangkan kategori Best Director. Berikut adalah daftar lengkap para pemenang Cannes Film Festival 2017: PALME D’OR: The Square - Ruben Östlund GRAND PRIX: (BPM) Beats Per Minute - Robin Campillo BEST DIRECTOR Sofia Coppola - 'The Beguiled' BEST ACTOR Joaquin Phoenix - 'You Were Never Really Here' BEST ACTRESS Diane Kruger - 'In the Fade' JURY PRIZE Loveless - Andrey Zvyagintsev BEST SCREENPLAY 'The Killing Of Sacred Deer' dan 'You Were Never Really Here' CAMERA D’OR Jeune Femme - Léonor Sérraille BEST SHORT FILM A Gentle Night - Qui Yang SHORT FILM SPECIAL MENTION Katto - Teppo Airaksinen 70th ANNIVERSARY PRIZE Nicole Kidman Sumber: Screen Daily - Kutu Kasur
0 Comments
Sutradara: Owen Harris Penulis: John Niven Pemeran: Nicholas Hoult, James Corden, Georgia King, Craig Roberts Genre: Comedy, Crime, Thriller Durasi: 103 menit Walaupun pada dasarnya musik adalah sebuah seni, setiap orang memaknainya dengan cara berbeda-beda. Ada yang menganggap musik sebagai sesuatu yang bernilai, bagaimana musik dapat menjadi sebuah sarana untuk menyiratkan pesan yang ingin disampaikan oleh si pencipta kepada pendengarnya. Ada juga yang menjadikan musik sebagai hiburan semata, sejauh ia dapat menikmati hasil karya komposer kesukaannya, ia merasa bahagia. Lalu, ada segelintir orang yang menjadikan musik sebagai alat untuk mengejar tujuan pribadinya. Film Kill Your Friends, memperkenalkan sosok Steven Stelfox (Nicholas Hoult), yang merupakan bagian dari segelintir orang tersebut. Stelfox berkecimpung di industri musik dengan bekerja sebagai manajer A&R bagi salah satu perusahaan label rekaman di Inggris, UNIGRAM. A Tough Job Terlibat di industri musik, terlebih lagi bekerja di dalamnya, tak semudah atau semenarik yang dikira. Orang A&R bertanggung jawab terhadap hadirnya lagu-lagu mendadak terkenal di publik, serta munculnya bintang baru yang tiba-tiba menarik perhatian media. Oleh karena itu, mereka haruslah visioner, (dituntut) memiliki selera musik yang bagus, punya kemampuan untuk melihat kapasitas dari sebuah musik; apakah memiliki selera pasar, atau sulit diterima oleh publik. Hal ini diamini oleh Stelfox. Ia menarasikan tantangan-tantangan yang selalu dihadapi seorang “Artist and Repertoire” secara detail dan interaktif, tanpa membuat penonton merasa digurui–akan selalu ingat betapa seksinya logat British seorang Hoult! Namun, bukannya mencari musisi bertalenta yang sanggup menciptakan lagu-lagu berkualitas, Stelfox hanya peduli bagaimana alunan nada yang disusun sedemikian rupa tersebut dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan label rekaman tempatnya bekerja. Unsur artistik sebuah musik? Bodo amat deh! Lain halnya dengan Parker-Hall, seorang Kepala A&R ternama yang musikalitasnya tinggi, memiliki kharisma, dan selalu bisa menarik perhatian musisi untuk menandatangani kontrak dengan label yang mempekerjakannya. Stelfox mengakui bahwa dirinya kalah jauh dibanding Parker-Hall. Tetapi ia tidak peduli, ia ingin menaklukannya. Ironisnya, pandangan Stelfox ini mempengaruhi kemampuannya dalam “melihat” musik. Ia terlanjur benci ketika harus menyeleksi demo-demo band, dan tidak mengindahkan rekomendasi dari rekan kerjanya. Berbeda dengan Darren, anak didik/bawahannya, yang memiliki prinsip bahwa merekrut musisi bertalenta itu bagian dari makna hidupnya. Tentu saja prinsip lugu ini dicibir oleh Stelfox, seolah Darren baru saja terlibat di dalam industri. A Tough Industry
Film Kill Your Friends menceritakan bagaimana industri musik merupakan dunia penuh persaingan, rekan-rekan bisa menusuk dari belakang kapanpun ketika mereka perlu melakukannya, dan hukum rimba pun juga berlaku. Tidak sanggup bersaing atau bertahan? Bersiaplah tersingkir. Nampaknya sudah menjadi rahasia umum, bahwa industri musik juga merupakan sebuah bisnis, dan akan ada pihak yang rela “mengotori tangan” mereka untuk menggapai sukses. Stelfox berambisi tinggi dan temperamental. Ia akan melakukan segala cara demi mendapatkan apa yang diinginkan, dan bisa menyingkirkan semua yang menghalangi proses untuk mencapai ambisinya. Termasuk menghabisi musuhnya rekannya, dalam arti yang sebenarnya. A Tough Record Performa memukau oleh aktor Nicholas Hoult, layaknya binatang buas yang berusaha memperluas teritori kekuasaannya. Sebagai sebuah film satir mengusung tema industri musik, Kill Your Friends, sedang mencoba membuat hit record menggunakan sudut pandang Steven Stelfox. Baginya, band adalah seburuk-buruknya musisi, dan musik electronic dance merupakan jawaban atas apa yang akan menjadi tren di Inggris. Stelfox menjadi kunci utama dalam menggiring alur cerita. Ia adalah orang serba tahu, dan hal ini tidak jarang menghantarkannya menuju masalah. Meskipun karakternya berkembang sesuai ekspektasi, tetapi sangat disayangkan, Stelfox (baca: sutradara) tidak sanggup mengendalikan cerita agar tetap fokus. Alurnya terpecah-pecah. Di satu waktu, penonton akan dibawa ke realita industri, lalu beberapa saat kemudian berganti ke perkembangan permasalahan yang dibuat oleh para tokohnya. Selain itu, tidak ada “bibit unggul” dari aktor-aktor lain. Peran mereka selain kurang mendapatkan screen-time yang layak, aktingnya juga tidak cukup kuat membentuk karakter tokoh yang mereka perankan. Dengan kata lain, Owen Harris menjadikan Hoult anak kesayangannya. Film Kill Your Friends juga hanya sebatas mencemooh, tanpa memperlihatkan “sisi terang” industri tersebut. Sebagai film suspense dengan adegan kekerasan, film hanya sanggup memberi perasaan tegang yang terkesan setengah-setengah. Setidaknya, percakapan pada film ini menarik, banyak perkataan Stelfox yang cukup quotable. Kehadiran Junkie XL sebagai komposer merupakan pilihan yang tepat. Hasilnya? Musik yang dibuat dan dipilih olehnya sanggup membentuk atmosfir dalam suatu adegan. Kepiluan seorang Stelfox terasa bermakna melalui lantunan “Karma Police” oleh Radiohead, ketika ia berada di titik terendah dalam karirnya. Kill Your Friends, a film which taking one man’s perspective about music industry that is so bad in thrilling you even murder scene wasn’t enough. Rating: 4.5/10 - Amelia, Yogyakarta (Penulis adalah pemilik blog Marry the Fiction) Silakan cek Tulisan Pembaca untuk melihat tulisan lainnya dari Kawan Kutu Setelah Spider-Man, Sony Pictures dikabarkan akan kembali menunjuk Tom Holland untuk membintangi salah satu franchisenya, Uncharted. Proyek film adaptasi game ini akan disutradarai oleh Shawn Levy dari skenario yang dibuat Joe Carnahan (The Grey).
Cerita film ini disebut-sebut merupakan kisah prekuel dari game, lebih tepatnya akan mengeksplorasi kisah Nathan Drake muda dan pertemuan pertamanya dengan Sullivan. Sumber: Deadline - Kutu Butara Ya, franchise 'Resident Evil' ternyata belum benar-benar berakhir. Setidaknya itulah yang diungkapkan oleh Martin Moszkowicz, pimpinan Constantin Film. Ia menyatakan ke Variety bahwa "reboot" untuk 'Resident Evil' memang telah dikembangkan saat ini. Tentunya proyek terbaru ini akan diproduksi oleh Constantin Film, studio besar asal Jerman pemilik lisensi franchise tersebut.
'Resident Evil' adalah film seri yang diangkat dari video game Capcom, dan film pertamanya dirilis pada 2002 lalu, di bawah arahan sutradara Paul W.S. Anderson. Jika dihitung dengan pendapatan film terakhirnya, 'Resident Evil: The Final Chapter', yang mencapai 312 juta Dollar, secara total franchise ini telah meraup hingga 1,2 milyar Dollar. Pencapaian di atas sekaligus membuat 'Resident Evil' menjadi franchise film horor independen tersukses yang pernah ada. Selain itu, franchise ini juga menjadi film adaptasi video game dengan pendapatan terbesar di dunia. Namun kabar ini belum disertai dengan keterangan lebih lanjut untuk detail cerita film dan waktu perilisannya. Sumber: Variety - Kutu Kasur Sutradara: Ridley Scott
Penulis: John Logan, Dante Harper Pemeran: Michael Fassbender, Katherine Waterston, Billy Crudup, Danny McBride, dan Demián Bichir Genre: Horror, Sci-Fi, Thriller Durasi: 123 Menit Setelah lama menanti, akhirnya saya berkesempatan juga untuk menyaksikan salah satu film yang saya tunggu-tunggu di tahun ini. Sebagai penikmat film-film Alien, kabar bahwa akan ada seri terbaru yang akan disutradarai oleh si Bapak (baca: Ridley Scott), berhasil menyita perhatian saya sejak jauh-jauh hari. Alien: Covenant hadir sebagai kelanjutan cerita dari film Prometheus (2012), di mana judul keduanya diambil dari nama kapal luar angkasa yang digunakan dalam misi di masing-masing film. Cerita yang "sekuel-able" di Prometheus, nampaknya dijadikan modal awal si Bapak untuk membangun cerita di Alien: Covenant, yang menurut saya, film ini sebenarnya sudah punya modal cerita yang kuat untuk menciptakan cerita orisinalnya sendiri tanpa harus menggunakan "ke-sekuel-able-an" Prometheus. Setidaknya itu yang saya rasakan pada sepertiga awal menonton Alien: Covenant. Dengan mengusung misi mulia, Kapal Covenant membawa sejumlah aset penting kehidupan demi kelanjutan peradaban manusia, yang bertujuan mencari tempat seperti Bumi di galaksi nun jauh di sana. Nuansa thriller pun tersaji sejak awal film ini dimulai, dengan sebuah kejadian misterius khas luar angkasa yang dampaknya lumayan parah untuk James Franco. Alhasil, dalam 10 hingga 15 menit duduk di bioskop, kita sudah diberi asupan-asupan drama, yang dampaknya cukup mengena di hati melankolis saya. Kedekatan dan rasa kekeluargaan yang disuguhkan oleh para awak Covenant pun, tak disangka berhasil menciptakan dinamika hubungan yang asyik di atas kapal. Perdebatan seketika hadir sesaat setelah seorang awak menemukan sebuah sinyal acak dari sebuah planet, yang diyakini berasal dari manusia yang tersesat dan memerlukan bantuan. Konflik ringan kemudian mencuat guna menetapkan sebuah keputusan, mau tetap melanjutkan misi atau mengecek tempat yang tak dikenal untuk menemukan asal sinyal tersebut. Kemudian mereka semua tidak peduli dengan sinyal-sinyalan serta memilih untuk tetap melanjutkan misi dan film ini pun habis dalam waktu 25 Menit. Yakali. Karena bukan opsi tersebut yang dipilih, sebagian besar awak kemudian melakukan penerbangan ke sebuah planet misterius dan melakukan ekspedisi darat guna mencari sumber sinyal yang mereka terima. Saat di planet inilah, transisi antara cerita Covenant dan Promotheus terjadi. Porsi nuansa horor resmi masuk dan mulai mendominasi cerita. Para Awak yang notabene excited dan kaget dengan suasana serta kondisi planet yang mereka jelajahi ini, menjadi lengah dan tak sadar bahwa ada kru yang tak "beres". Beberapa adegan khas film Alien juga tersaji, sebut saja adegan kejang-kejang hebat yang cenderung rusuh, gerak gemulai iconic Marc Marquez (baca: baby alien), hingga teriakan annoying dari si Makhluk. Membicarakan Alien, rasanya tak afdol jika tak memperhatikan peran dari karakter wanita utama. Sebut saja Ripley (Sigourney Weaver) dalam installment awal seri film ini, Elizabeth Shaw (Noomi Rapace) dalam Prometheus, dan kini Daniels (Katherine Waterston). Menurut saya, Daniels masih melanjutkan formula yang dibawa dari seri film terdahulu, di mana si karakter perempuan utama secara perlahan namun pasti akan menjadi vital seiring berjalannya film. Pemilihan Waterston rasanya cukup tepat untuk menggambarkan sosok wanita tangguh dan berani, yang entah mengapa di setiap adegan close-up, wajahnya sejenak menjadi terlalu baby face dan mengingatkan saya dengan pemeran Tina di Fantastic Beasts. Mirip sekali rasanya. Dari segi dukungan serta tatanan visual, film ini berhasil menyajikan CGI nomor wahid yang saya rasa mampu memanjakan mata siapa saja yang menyaksikannya. Dalam beberapa kesempatan, adegan jarak dekat Neomorph dan Xenomorph pun terasa nyata dan tidak kaku. Secara keseluruhan, Alien: Covenant mampu menuntaskan rindu dan penasaran saya atas lanjutan dari seri film Alien, dan kendati meninggalkan beberapa plot hole, film ini nyaman untuk disaksikan meski Kawan Kutu belum menonton Prometheus pun, film ini cukup berhasil memberikan cerita yang proporsional dalam melanjutkan kisah Prometheus. Endingnya juga dibuat twist, dengan rasa-rasa akan ada film lanjutannya. ps: Sebelum menonton film ini, ada baiknya menonton 2 Prolog videonya yang bisa kalian tonton di Youtube. pps: Film ini menggunakan rating R Rating: 7.3/10 - Kutu Butara |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|