Tanggal Rilis: 26 Agustus 2010 Genre: Drama Durasi: 113 Menit Sutradara: Anders Thomas Jensen Pemeran: Mikael Persbrandt, Trine Dyrholm, Ulrich Thomsen Film Denmark, yang berhasil meraih Piala Oscar dan Golden Globe di kategori Best Foreign Language, ini mengajarkan dua hal. Pertama, sebuah kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan lainnya. Dan yang kedua adalah pentingnya peran orangtua dalam perkembangan anak. Hævnen menceritakan tentang Elias (Markus Rygaard), seorang anak dari keluarga broken home. Ayahnya, Anton (Mikael Persbrandt) adalah seorang dokter yang bekerja di daerah penuh konflik, Sudan. Elias berteman dengan Christian (William Jøhnk Nielsen), anak baru di sekolahnya. Sama seperti Elias, Christian juga memiliki masalah di dalam keluarganya. Ibunya baru saja meninggal karena kanker, dan ia menyalahkan sang ayah yang dianggap tidak berusaha keras untuk menolong ibunya. Ikatan persahabatan pun semakin kuat saat Christian mengetahui bahwa Ellias sering di-bully di sekolahnya. Di situlah dia berusaha untuk membelanya, bahkan dengan menggunakan cara kekerasan. Bila mempunyai anak, tentu kita akan rela berkorban apa saja demi mereka. Walaupun kita sendiri terkadang tidak tahu apakah yang selama ini kita lakukan sudah baik atau tidak. Pesan ini ditunjukkan begitu kuat dalam film yang berhasil meraih pendapatan 9 juta dollar ini. Bagaimana Elias rindu dan mengagumi sosok ayahnya, namun karena kesibukan pekerjaan, ayahnya jarang menghabiskan waktu bersama dengan Ellias. Anton pun mengalami perkembangan karakter yang begitu baik. Konflik batinnya pun terjadi ketika ia sedang berada di daerah konflik. Prinsip hidup yang dipegangnya selama ini pun dengan terpaksa dia "langgar". "A broken character", salah satu subplot yang membuat film ini begitu baik.
Karakter Christian pun diperankan dengan begitu nyata. Seolah-olah kita ikut merasakan apa yang Christian rasa saat kita masih kecil. Apa yang semestinya kita lakukan saat seseorang mem-bully kita, dan apakah tindakan "balasan" yang kita lakukan terhadap pelaku itu sudah benar. Pada saat kita membalas kekerasan itu, hal yang tidak terduga malah terjadi dan bahkan melukai orang-orang yang kita sayangi, seperti ditunjukkan dalam film ini. Pesan moral dari film ini adalah kekerasan bila dibalas dengan kekerasan hanya akan menghasilkan rantai kebencian tiada ujung. Hingga akhirnya menyisakan pertanyaan, "Apakah kita bisa memutus rantai kebencian tersebut?" Overall: 9/10 - Kutu Kamar
0 Comments
Damien Walters merupakan seorang 'freerunner', 'former gymnast', dan 'stunt performer' asal Inggris yang telah mengisi beberapa film seperti Kick-Ass, Captain America: The First Avenger, Kingsman: The Secret Service, dan film yang akan tayang bulan depan, Assassin’s Creed. Dengan 'bantuan' Honda dan All4 (sebuah On Demand Channel di UK), Damien Walters mencoba memperlihatkan kemampuannya untuk menggambarkan beberapa adegan 'Iconic' dari beberapa film. Sumber: Collider - Kutu Butara Hati-hati SPOILER! Akhirnya saya bisa kembali melihat dua karakter yang memang telah ditunggu, Tara (Alanna Masterson) dan Heath (Corey Hawkins). Terakhir kali mereka terlihat adalah di season ke-6 lalu. Tara dan Heath memutuskan untuk melakukan perjalanan selama dua minggu untuk mencari persediaan, baik itu makanan, senjata atau apa pun yang berguna. Sebenarnya saya sangat menyayangkan dua karakter tersebut terlihat agak dipinggirkan oleh para produser. Bila merunut dari komiknya, Heath adalah salah satu karakter penting semenjak plot awal Alexandria. Sedangkan Tara adalah salah satu karakter original yang punya potensi menjadi pembeda, walau mungkin tak mencapai level Dixon bersaudara. Namun setidaknya cerita Tara memang telah dikembangkan secara mendalam, dan menurut saya malah jauh lebih menarik ketimbang Rosita (Christian Serratos), yang notabene adalah karakter asli dari komik. Tentu ada alasan dibalik hilangnya Tara dan Heath selama beberapa waktu. Salah satunya adalah (mungkin) kendala yang menyita waktu Alanna dan Corey sebagai pemerannya. Ya jika kalian penggemar Alanna tentu tahu, beberapa waktu lalu memang ia sedang mengandung dan mempersiapkan untuk memiliki anak pertamanya. Sedangkan Corey dihadapkan dengan jadwalnya yang padat, mengingat kariernya kini tengah menanjak. Dua hal itulah yang berimbas kepada dinamika penyusunan cerita The Walking Dead. Beruntung, kali ini mereka telah memasuki plot perseteruan dengan The Saviors. Kasarnya, para produser bisa mengalihkan perhatiannya dengan mengembangkan karakter kunci seperti Negan (Jeffrey Morgan), Dwight (Austin Amelio), dan Ezekiel (Khary Payton). Nah menurut saya, keputusan memberi satu episode kepada Tara dan Heath adalah salah satu keputusan yang menarik. Alasannya, bisa dibilang kedua karakter tersebut hanya memegang peran minor, jadi episode ini sejak awal telah menimbulkan kesan hanya sebagai “filler” saja. Tetapi bagi saya, episode seperti inilah yang sebenarnya membuat The Walking Dead menjadi lebih menarik. Swear mengingatkan saya pada episode Slabtown di season 4. Untuk yang sudah lupa, episode tersebut bercerita tentang Beth (Emily Kinney) yang ternyata berada di sebuah rumah sakit. Sedikit banyak memiliki kemiripan dengan cerita Tara kali ini. Mereka sama-sama diberi porsi satu episode penuh dan juga bertemu dengan orang-orang baru. Mungkin lebih tepatnya jika saya mengatakan kelompok baru ketimbang orang-orang baru. Karena Tara tak hanya bertemu dengan satu atau dua orang saja, namun satu kelompok beserta letak markas mereka (wow, spoiler!). Tak hanya itu, episode ini juga terbilang tanpa basa-basi langsung menceritakan sejarah kelompok tersebut. Jika diingat lagi, bisa jadi kelompok tersebut akan memiliki peran penting di kelanjutan plot The Walking Dead. Pemicunya adalah fakta tentang kelompok tersebut yang punya sejarah dengan The Savior (wow, spoiler!). Namun semua hal itu memang belum bisa dipastikan, karena ada kemungkinan kelompok tersebut hanya akan bernasib sama seperti The Wolf, alias numpang lewat saja. Tapi apabila hal itu terjadi, rasanya The Walking Dead seperti menyia-nyiakan kesempatan untuk berkembang.
Belum lagi di episode ini sepertinya mengalami masalah dalam hal penulisan. Karena terlihat sekali di beberapa adegan, karakter Tara seolah-olah ingin terlihat lucu dan mengundang tawa. Padahal seperti yang kita tahu, Tara adalah tipe wanita yang tomboi dan cuek. Jadi dialog ala Tara malah seakan-akan salah penempatan, hasilnya ya jadi tak enak dilihat dan membosankan. Kasihan Alanna. Apalagi jika kalian lihat di akhir-akhir pelarian Tara, ia melihat sosok walkers yang memiliki rambut mirip Heath (wow, spoiler!). Aneh memang, kenapa hanya dia saja yang rambutnya bersih dari pasir sementara walkers yang lain tidak. Momen tersebut saya rasa menjadi salah satu kekurangan terbesar di episode ini. Sayang sekali episode Swear ini diwarnai dengan penulisan yang kurang bagus. Padahal ide cerita dan pengembangan cerita Tara harusnya bisa jauh lebih baik lagi. Ya berharap saja, plot sampingan ini bisa berpengaruh dalam cerita The Walking Dead selanjutnya. Karena hanya itulah satu-satunya yang membuat episode ini lebih dari sekadar “filler” dan pengingat bahwa Corey Hawkins masih bagian dari The Walking Dead. Overall: 6.5/10 -Kutu Kasur Release Date: 26 - 28 December 2015 Episodes: 3 Episode Runtime: 180 Minutes (60 minutes each) Genre: Mystery, Drama, Thriller Director: Craig Viveiros Casts: Douglas Booth, Charles Dance, Maeve Dermody, Burn Gorman, Anna Maxwell Martin, Sam Neill, Miranda Richardson, Toby Stephens, Noah Taylor, Aidan Turner "10 orang dengan latar belakang berbeda, diundang oleh sosok misterius ke sebuah pulau di mana kemudian mereka mati satu per satu, mungkinkah pembunuhnya salah satu di antara mereka?" Kawan Kutu merasa familiar dengan narasi di atas? Bukan, saya tidak sedang mengutip Raditya Dika dan menampilkan trailer film terbarunya, tapi itu adalah gambaran dari "visualisasi" salah satu buku misteri best seller sepanjang masa karya Agatha Christie, And Then There Were None. And Then There Were None bercerita tentang 10 orang "asing" yang tidak saling mengenal yang diundang untuk sebuah "pesta" di sebuah pulau. Kemudian mereka mati satu per satu. Uniknya, kematian mereka seolah menggambarkan kenyataan dari sajak karya Frank Green yang berjudul Ten Little Soldier, yang dipajang dalam figura di kamar masing-masing. Berikut isi dari sajak tersebut: Ten little soldier boys went out to dine; One choked his little self and then there were Nine. Nine little soldier boys sat up very late; One overslept himself and then there were Eight. Eight little soldier boys travelling in Devon; One said he’d stay there and then there were Seven. Seven little soldier boys chopping up sticks; One chopped himself in halves and then there were Six. Six little soldier boys playing with a hive; A bumble bee stung one and then there were Five. Five little soldier boys going in for law; One got into chancery and then there were Four. Four little soldier boys going out to sea; A red herring swallowed one and then there were Three. Three little soldier boys walking in the Zoo; A big bear hugged one and then there were Two. Two little soldier boys sitting in the sun; One got frizzled up and then there was One. One little soldier boy left all alone; He went and hanged himself. And then there were None. Sebuah sajak yang sedikit creepy bagi saya. Sisi misteri dari 3 episode mini series ini begitu dipertahankan dari awal hingga akhir. Alur maju-mundur yang diterapkan dikemas begitu rapi, sehingga penonton mampu mencerna secara perlahan masa lalu masing-masing karakter dan motif mengapa mereka bisa diundang ke satu tempat yang sama. Setting pulau yang misterius lengkap dengan rumahnya begitu menawan, nuansa yang ditawarkan begitu pas dengan warna cerita. Akting dari masing-masing pemeran begitu baik dalam merepresentasikan tiap karakternya. Tidak heran karena hampir kesepuluh aktor/aktrisnya merupakan para pelaku peran yang telah malang melintang di beberapa film blockbuster Hollywood.
Plot cerita begitu rapi, temponya yang lambat membuat kesan misteri begitu lekat didapat. Penonton akan tetap menerka-nerka mengenai siapa pembunuh dari kesepuluh orang tersebut hingga menit terakhir. Selain karena suasana misterius yang dibangun, film ini bermain dengan psikologis penontonnya. Latar belakang masing-masing karakter akan diberikan secara perlahan, dan persepsi kita diputar balikkan dengan cepat. Sehingga membuat penonton yang sudah yakin dan berpikir, "dia nih pasti yang bunuh", akan menemukan "tersangka" dalam pikirannya tersebut mati di adegan selanjutnya. 3 episode yang dirilis betul-betul dimanfaatkan dengan baik untuk memvisualisasikan novel karya Agatha Christie tersebut. Sayangnya ada beberapa bagian dari cerita yang masih terkesan melompat dan kehilangan sentuhan. Hal itu membuat tensi sedikit menurun di pertengahan cerita. Namun secara keseluruhan, mini series ini merupakan tontonan yang amat saya rekomendasikan untuk mengisi weekend Kawan Kutu. Overall: 8,8/10 - Kutu Klimis Release Date: 23 November 2016
Director: Robert Zemeckis Genre: Drama, Action/War Runtime: 124 Minutes Casts: Brad Pitt, Marion Cotillard, Jared Harris, Simon McBurney, Lizzy Caplan. Allied adalah salah satu film "bombastis" tahun ini, jauh sebelum perilisannya. Bukan karena cerita filmnya yang berbeda, tetapi cerita di balik proses filmnya yang menjadi pembeda bagi salah satu pemeran utamanya, Brad Pitt. Jauh sebelum gaung sinopsis mengenai kisah cinta dua agen rahasia ini diketahui, publik sudah lebih dulu disuguhi drama Brad Pitt dan deja vu perceraian. Bila dulu ia bercerai dari Jennifer Aniston saat membintangi Mr. & Mrs. Smith bersama Angelina Jolie, kini Angelina seolah mendapat karma setelah kabar mengatakan Brad kembali terlibat affair dengan lawan mainnya, Marion Cotillard. Oke, sebelum saya berubah menjadi lambeturah versi hollywood, kita kembali fokus ke filmnya. Allied dimulai dengan pemandangan gurun pasir dengan nuansa yang sedikit "suram". Mengambil sebagian besar latar tempat di Casablanca dan London, film ini bagi saya memberikan detail tempat yang cukup baik dari suasana era perang dunia II di tahun 40-an. Script dari Steven Knight cukup detail dan mengalir dengan baik di tangan Brad Pitt dan Marion Cottilard dan arahan Robert Zemeckis. Sinematografi pun cukup terjalin dengan rapi sepanjang film. Brad Pitt kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam berakting kala ia harus berbicara dalam bahasa Perancis, dimana Marion menjadi tutornya di film ini. Bagi saya, kualitas peran kedua pemeran utama sudah tidak perlu diragukan. Namun ketika kita berbicara tentang tempo, film ini berjalan dengan lambat, terkadang terlalu bertele-tele. Selain itu Allied seolah kebingungan untuk mengukuhkan diri dalam sebuah genre yang pasti. Film ini terlalu "lembek" untuk sebuah film perang, namun terlalu "dingin" untuk film drama. Allied tidak pernah benar-benar mencapai klimaks. Bahkan saat adegan pamungkas disajikan, sensasi saya yang seharusnya histeris seperti para wota melihat geng JKT-48 berlenggak-lenggok, malah terkesan datar dan terasa seperti bersin yang tertahan. Memang tidak mudah untuk memberikan kadar yang pas untuk sebuah durasi yang terbatas. Terlalu bertele-tele malah justru kehilangan momen "wow", terlalu straight forward malah justru membuat pusing. Sayangnya film ini berada di yang pertama, dibalik kesolidannya, justru kualitas keseluruhan film tertahan pada lambatnya alur cerita. Selain itu terdapat beberapa lompatan dalam plot serta lubang yang cukup kentara. Beberapa adegan bahkan seolah dipaksakan untuk ditempel demi menambah durasi. Cukup saya sayangkan karena dengan Brad Pitt dan Marion Cotillard berada di jajaran pemerannya, seharusnya Allied mampu sedikit memberi aksi yang lebih dan tidak perlu khawatir akan elemen drama yang akan "tertinggal". Karena film perang selalu memiliki drama tersendiri. Bagi saya, sebuah film dengan latar perang justru akan terasa hambar bila adegan ledakan, tembakan, serta dentuman hanya menyusup dalam satu atau dua adegan, yang justru malah membuat keseluruhan cerita menjadi antiklimaks. Sebelum memutuskan untuk menyaksikan film ini, pastikan jenis film apa yang Kawan Kutu harapkan. Karena bila mengharapkan film dengan drama menguras air mata ala Kuch-kuch Hota Hai, atau film perang dengan ledakan, dentuman, dan kekacauan di mana-mana ala Fury atau yang terbaru, Hacksaw Ridge, mungkin film ini bukan film yang terlalu tepat. Tetapi bila Kawan Kutu ingin menyaksikan bagaimana Brad Pitt menghancurkan hubungannya dengan Angelina Jolie, well, jangan lewatkan! Overall: 6/10 - Kutu Klimis |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|