Genre : Horror
Runtime : 90 Menit Sutradara : Billy Christian Casts : Mentari De Marelle, Dayu Wijanto, Agung Saga, Roweina Umboh. Saya terlambat 10 menit memasuki studio untuk menyaksikan film yang poster dan selentingan "beritanya" sempat membuat saya tertarik. Tidak dapat dipungkiri, sekilas melihat poster promo dari film karya Billy Christian ini, saya seolah teringat akan poster dari film Battle Royal, film liar dari Jepang yang membuat sosok "Baginda Raja" di Benteng Takeshi berubah total image-nya di mata saya. Saya memiliki keyakinan bahwa saya akan terkesima dan "berbincang" dengan diri sendiri ketika menyaksikan ini, dan Billy Christian tidak mengecewakan saya. Film ini cukup "komplit". Skenario yang amat kaku menghipnotis saya untuk tetap meringkuk dan ikut kaku di bangku F-15. Perpindahan setiap adegan yang cepat dan kasar membuatnya seolah menjadi gabungan dari potongan film pendek berdurasi 40 detik, dan membuat mata saya berair (Bukan. Bukan karena terharu, tapi karena perih). Scoring dan sinkronisasinya seperti bermusuhan, amat tidak rapi. Seolah dilakukan oleh anak magang yang melakukan scoring dan sinkronisasi menggunakan aplikasi di ponsel Android miliknya. Akting dari seluruh pemerannya praktis membuat saya memuji diri sendiri ketika berperan sebagai raja lalim di pentas seni kala SD/SMP. Percakapan yang dilakukan pun seolah mencoba mengaplikasikan percakapan EYD, namun gagal. Jumpscare yang ditampilkan bukan membuat saya takut, malah justru ingin kentut. Bagi saya, premis dari cerita ini cukup unik. Saya akui Billy memiliki pikiran dan ide cerita yang "berbeda". Namun sayangnya, saya pribadi tidak dapat menangkap inti premis tersebut secara sempurna dengan penyampaian cerita yang dilakukannya. Satu hal yang dapat saya simpulkan adalah bahwa sang sutradara menggunakan pakem horor "khas Indonesia" dalam film ini, yakni H-T-B, Hentakan-Teriakan-Belahan. "Hentakan" melalui jumpscare gagal, beralih ke teriakan. Teriakan gagal? Well, belahan adalah senjata terakhir. Saya yakin 80% penonton bertahan di dalam studio (termasuk saya) bukan hanya karena merasa sayang akan uang yang sudah dibuang, tapi juga karena "pengalihan" yang diberikan Mentari de Marelle. Entah siapa yang terlibat dalam pemilihan kostum bagi Alex, karakter yang diperankan Mentari, praktis saya yakini mereka memiliki fetish tersendiri pada wanita menggunakan tanktop. Tanktop Alex di sini bagaikan Teh Botol Sosro, apapun bawahan dan luarannya, atasannya tetap tanktop. Sedikit disayangkan dari 90 menit film berlangsung, highlight utama saya bagi film ini hanyalah tanktop Mentari. Oh ya, bila Kawan Kutu penasaran, mengapa judul dari review ini "cara terbaik mengingat Tuhan", karena saat menyaksikannya tak terhitung berapa kali saya -istigfar- atau berujar "Ya Allah, gini amat ya." P.S: You can thank me later for saving your 30-60k. Overall: 3,5/10 - Kutu Klimis
0 Comments
Kawan Kutu tau sosok Wiji Thukul? Kisah aktivis & penyair yang fenomenal ini diangkat ke layar lebar dalam film berjudul "Istirahatlah Kata Kata". Menceritakan tentang perjuangan Wiji Thukul, penyair yang memperjuangkan ketertindasan melalui puisi-puisinya. Pada rezim Orde Baru, terdapat sejumlah aktivis yang memperjuangkan demokrasi. Wiji adalah salah satu aktivis tersebut, hidupnya pun dipenuhi dengan pelarian seperti melarikan diri ke Pontianak dan bahkan nasibnya hingga kini masih tidak jelas. Yosep Anggi Noen, sutradara film ini mengatakan, "Wiji Thukul sosok orang biasa, tapi dia sangat setia dan percaya bahwa puisi dan kata-kata mampu melawan ketertindasan," ungkap Anggi. Menurut Anggi, tak banyak generasi muda saat ini yang mengetahui sosok seperti Wiji Thukul, yang pernah berjuang untuk demokrasi, dan dibungkam. “Anak-anak muda tidak tahu siapa Wiji Thukul, atau dapat dikatakan hanya sedikit yang tahu. Menariknya, mereka sangat mengenal kata-kata, seperti 'Hanya ada satu kata, lawan!', tapi tidak tahu siapa yang menciptakan," katanya. Menariknya film ini sudah banyak sudah diputar di sejumlah festival film internasional, salah satunya Busan International Film Festival ke-21, pada 6-14 Oktober 2016. Gunawan Muryanto akan berperan sebagai Wiji Thukul. Ia juga akan beradu peran dengan Marissa Anita dan Melanie Subono. Film ini akan dirilis di Indonesia pada Januari 2017. - Kutu Kamar Hati-hati SPOILER!
Dengan hadirnya episode ini, rasanya saya boleh berkata bahwa kepingan awal untuk cerita melawan Savior sudah lengkap. The Walking Dead telah memperkenalkan The Kingdom dan Sanctuary, juga membangun cerita di Alexandria dan Hilltop pascar tragedi di episode pembuka. Ya, keempat kubu tersebutlah yang akan menjadi tokoh utama dalam peperangan ini. Seperti di tiga episode sebelumnya, setidaknya ada satu karakter yang diperkenalkan atau dikembangkan lebih jauh dari sebelumnya. Ya sebutlah nama seperti Ezekiel, Dwight, dan juga Rosita di episode lalu. Nah, kali ini giliran Gregory (Xander Berkeley) dan Simon (Steve Ogg) yang diberi kesempatan lebih. Sejujurnya, saya cukup suka melihat akting Xander dan Steve Ogg di episode kali ini. Terutama ketika adegan mereka berbicara empat mata di ruangan Gergory. Suasana hening dengan dialog yang penuh intimidasi, Xander cukup berhasil untuk membawa keluar sisi gelap Gregory. Ya, sisi pengecut seorang pemimpin Hilltop Colony. Namun adegan favorit saya jatuh pada adegan Carl (Chandler Riggs) dan Enid (Katelyn Nacon). Lebih tepatnya ketika mereka berjalan berdua dan Carl menemukan sepatu roda. Hal itu seolah mengingatkan kita bahwa meskipun mereka berada di dunia yang kejam, tapi tetap baik Carl dan Enid adalah remaja yang telah kehilangan masa untuk bersenang-senang. Romansa Carl dan Enid juga menjadi bumbu pemanis dalam season ini. Karena jika dipikir, dari episode pembuka yang penuh darah dan haru, sisa episode lainnya memberi nuansa resah dan penuh intimidasi. Belum lagi jika merujuk ke komiknya, hubungan percintaan Carl juga cukup menarik dan memiliki pengaruh kuat pada karakternya. Meski pembahasan di atas terlihat menarik, tapi tetap saja episode ini termasuk yang membosankan. Sebenarnya saya suka dengan melihat adegan-adegan yang penuh dialog. Namun sayang, meski telah diberi sedikit adegan yang cukup mengejutkan ala The Walking Dead, cerita yang ditawarkan Maggie (Lauren Cohan) dan Sasha (Sonequa Martin-Green) malah menurut saya kurang memberi kesan yang kuat. Episode ini juga menjadi kabar buruk sekaligus kabar baik. Karena kali ini kita tak menyaksikan aksi Negan serta Lucille-nya. Kabar buruk? Ya ada juga lho yang bosan karena melihat Negan terus menerus. Ya secara keseluruhan, episode ini terbilang baik tapi tetap ada kekurangan di dalamnya. Saya juga penasaran dengan episode selanjutnya yang akan bercerita tentang Tara (Alanna Masterson) dan si anak hilang, Heath (Corey Hawkins). Overall: 6.5/10 -Kutu Kasur Pernah dengar istilah muka "Rambo" hati "Hello Kitty"? Istilah itu biasa digunakan untuk seseorang yang tampilannya bagaikan tuan tanah parkiran, tapi ternyata "dalamnya" seperti bayi kelilipan. Ouija : Origins Of Evil garapan Mike Flanagan merupakan deskripsi nyata akan kalimat tersebut, but in a good way. Film ini adalah film horor yang "tidak begitu horor". Bagi kalian yang menjadi die hard fans bagi film-film horor klasik bertabur jumpscare yang melahirkan "film sampingan" dari "jurignya", saya berani jamin kalau film ini akan membuat kalian mengantuk. Tapi bila kalian melihat horor bukan hanya dari banyaknya anak kecil menangis, ibu-ibu latah ngomong kont** dalam studio, mas-mas nyengir kesenengan ditempel mbak-mbak sebelahnya, atau teriakan heboh rombongan bocah menuju akil baligh yang bikin satu studio menghamburkan popcorn 30.000 ke arah mereka (dan membuat mereka dapat cemilan gratis), Ouija: Origin of Evil adalah film yang amat menarik. Dirangkai dengan tempo yang lambat, prekuel dari Ouija ini merupakan salah satu film horor dengan pendalaman kisah yang cukup detail bagi saya. Kita tidak akan menemukan adegan "Keluarga Cemara" dengan make up tebal memasang senyum creepy di ruang tengah, layar gelap, suara menegangkan, atau kejutan intens berturut-turut. Tetapi semua itu diganti dengan runutan skenario yang menceritakan menit per menit, detail per detail, dan latar belakang cerita dengan adegan yang cukup terperinci. Latar tempat ala 60-an akhir pun begitu diperhatikan, nuansa yang dihadirkan seakan melengkapi suasana "jadul" yang coba divisualkan. Hal ini justru bukan hanya membangkitkan sisi ngeri kita dengan bayangan-bayangan sosok seram, tetapi dari suasana yang dibangun oleh keseluruhan aspek, yang mana rasa ngeri yang dihadirkan justru akan lebih membekas. Script yang disusun pun cukup solid, beberapa humor yang diselipkan cukup mampu menjadi ice breaker dalam suasana mencekam yang dibentuk. Meskipun terdapat beberapa plot hole di pertengahan dan bagian-bagian akhir cerita, serta percakapan kaku dan adegan cheesy ala horor mainstream, namun tidak menutup kerapian dari jalinan cerita secara keseluruhan.
Meskipun lambat, bukan berarti film ini tidak memiliki sisi creepy, sosok dari "bintang utama" horor ini cukup membuat bergidik, "tampilannya" yang merasuki anak perempuan membuat saya sedikit bergidik melihatnya. Film ini bagi saya penganut "save the best for the last" garis keras. Karena segala unsur horor yang dinantikan akan dikeluarkan pada 30 menit terakhir film. Bahkan film ini menghadirkan twist tersendiri yang membuat saya takjub. Bagi saya, Ouija: Origin Of Evil merupakan sebuah "paket komplit ayam dengan dada dan paha", jalinan cerita, kengerian, "rasa trauma", dan aksi ala horor terangkum jadi satu. A good "vibe" for Halloween. Overall: 7,5/10 - Kutu Klimis Kawan Kutu tentunya pernah memakai parfum bukan? Tentu secara mentah kita bisa mengklasifikasikan parfum menjadi dua, parfum "swalayan" dan parfum "sosialita". Bukan, bukan berarti parfum swalayan berbau tengik dan membuat mual, tidak semua. Tetapi biasanya parfum swalayan hanya memberi 1 macam aroma saklek, semisal wood atau sporty. Sedangkan parfum sosialita memiliki campuran wangi semisal vanilla, white musk, atau green tea yang kemudian digabung menjadi satu aroma yang khas. Perbedaan lain yang mencolok tentunya daya tahan parfum terhadap aktifitas kita dalam satu hari. Parfum swalayan biasanya akan mudah hilang harumnya, sedangkan daya tahan parfum sosialita tentunya lebih lama. Oh ya, harganya pun lebih mahal tentunya. Sebelum Kawan Kutu berpikir bahwa saya sedang berlatih menjadi penjual parfum, mari kita masuk kepada kaitan Hacksaw Ridge dengan parfum. Hacksaw Ridge adalah parfum sosialita. Film ini memiliki berbagai macam "wangi". Drama, aksi, ledakan, darah, semuanya seolah membentuk sebuah aroma tersendiri, "scent of a death". Saya bahkan sedikit kesulitan untuk berjalan keluar studio kala film ini selesai. Seketika film dimulai, saya dibuat jatuh cinta pada aroma awal yang dihembuskan film ini. Latar suasana perang dunia II dibalut dengan nuansa yang pas serta naskah yang solid. Kita akan disuguhkan adegan drama di sekitar 60 menit awal cerita. Alur yang bercampur dikemas dengan rapi sehingga tidak menimbulkan kesan "hilang" dari lanjutan adegan sebelumnya. Meskipun setidaknya ada dua lubang dalam plotnya, namun penuturan cerita yang rinci dengan latar belakang yang detail membuat film ini renyah untuk dinikmati. Unsur jokes dan komedi dikemas dengan apik, membuat seluruh penonton dapat menyatu dengan mudah untuk tertawa. Akting Andrew Garfield yang memerankan tokoh nyata Desmond Doss, patut diacungi jempol. Menggambarkan seorang believer (bukan belieber) yang begitu teguh pendiriannya akan serving his country dalam perang tanpa mengangkat senjata. Karakter Doss dihidupkan dengan baik oleh Andrew, meskipun dalam beberapa kesempatan saya berharap ia mendadak berubah menjadi Spiderman. Drama khas perang pun sukses menguras emosi dan air mata beberapa ibu-ibu yang menonton bersama keluarganya. Tokoh Doss yang merupakan seorang religius, begitu kuat digambarkan oleh Mel Gibson sebagai sutradara, sehingga drama pertentangan batin Doss mengenai keyakinannya dan realita yang ada seolah memiliki "kisah" tersendiri. Dukungan peran dari Vince Vaughn, Teresa Palmer, Luke Bracey, Sam Worthington, dan Hugo Weaving membuat film ini semakin hidup. Adegan aksi yang ditampilkan pun begitu intens. Ledakan, tembakan, tusukan, dan dentuman seolah mengepung penonton di dalam studio. Visualisasi "akibat perang" pun ditampilkan secara brutal, "vulgar" dan mengarah ke "porno". Bukan dalam artian mesum, tetapi Mel Gibson seolah tidak segan menampilkan ceceran organ tubuh, gelimpangan mayat, dan muncratan darah dalam adegan peperangannya. Bila diibaratkan semprotan parfum, Hacksaw Ridge akan meninggalkan aroma yang amat melekat pada diri saya. Aroma yang meninggalkan kesan yang cukup dalam, bagaikan semprotan parfum yang mahal. Ironisnya, aroma tersebut adalah aroma kematian. Karena bagi saya, film perang selalu meninggalkan kesan hampa, sesaat setelah menyaksikannya, terlebih dengan embel-embel "diangkat dari kisah nyata", dan Hacksaw Ridge cukup mampu memberikan kesan tersebut.
Meskipun terdapat beberapa cerita yang melompat, dan CGI yang sedikit merusak momen, bagi saya Hacksaw Ridge adalah salah satu film terfavorit di 2016 ini, 8/10 adalah angka yang tidak berlebihan bagi saya untuk film ini. Overall: 8/10 - Kutu Klimis |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|