Sutradara: Joe Watts Penulis: Jonathan Goldstein, John Francis Daley, Jon Watts, Christoper Ford, Chris McKenna, Erik Sommers Pemeran: Tom Holland, Michael Keaton, Jon Favreau, Zendaya, Donald Glover, Tyne Daly, Marisa Tomei, Robert Downey Jr. Genre: Superheroes, Action, Fantasy Durasi: 130 menit "Tapi-tetapi/te·ta·pi/ p kata penghubung intrakalimat untuk menyatakan hal yang bertentangan atau tidak selaras." Ada apa dengan "tapi-tetapi" hingga artinya berdasarkan KBBI mejeng menjadi judul serta kalimat pembuka review ini? Oh ya untuk yang bingung, "tapi" dan "tetapi" memiliki arti yang sama, hanya saja penggunaannya yang berbeda. Biasanya "tapi" digunakan untuk kalimat bertentangan yang pendek, dan sebaliknya, “tetapi” digunakan untuk kalimat bertentangan yang panjang. Sebagai contoh, "Spider-Man: Homecoming bagus, tapi gue lebih suka Spider-man yang jadul" atau "Sosok Peter Parker /Spider-Man yang digambarkan oleh Tobey Maguire merupakan perwujudan karakter yang cukup dalam danmemberikan pandangan lain tentang personal seorang superhero, tetapi sosok Peter/Spider-Man yang digambarkan Tom Holland di Spider-Man: Homecoming merupakan perwujudan karakter Spiderman paling konkrit dari komiknya." Kata “tapi” juga seolah menjadi sesuatu yang terkadang mengawali sebuah permusuhan atau munculnya rasa jengkel. Selain karena menjadi satu kata sambung untuk membandingkan, “tapi” juga dapat menggambarkan rasa tidak puas seseorang akan sesuatu. Hingga kini kita menghabiskan 24 jam setiap harinya, sudah berapa “tapi” yang kita terima? "Ganteng ya, tapi miskin", "Cerdas ya, tapi bukan sarjana", "Wiih mapan tuh, tapi jomblo", dan berbagai “tapi” lainnya. Jadi apakah sudah menangkap mengapa saya sok tahu memberikan 3 menit kelas bahasa (yang belum tentu tepat) untuk memulai review ini? Ya, Spider-Man: Homecoming menjadi film yang membuat saya berdiri di area abu-abu. Mengajak saya untuk menjadi orang sotoy yang akan menggunakan banyak tapi untuk film ini. "Saya menyukai tone-nya, tapi kemudian sedikit mengantuk karena temponya," dan “Saya mengagumi Peter Parkernya, tapi terganggu oleh Tony (yang dalam promo seolah akan mendapat porsi banyak dalam film ini namun fakta berbanding terbalik)," adalah 2 tambahan kalimat selain dari contoh yang saya berikan di awal. Memang sejujurnya film ini merupakan breathe of fresh air sebagai reboot dari The Amazing Spider-Man, yang membuat the most charming Peter Parker dalam sosok Andrew Garfield harus rela memberikan tongkat estafet kepada Tom Holland, tetapi ada beberapa hal dari film ini yang bagi saya, dieksekusi secara kurang maksimal. Penggambaran sosok Peter Parker yang memasuki Sophomore year, di mana ia masih berusia 15-16 tahun dan duduk di bangku SMA, membuat seluruh film Spider-Man yang pernah kita saksikan terhapus seluruhnya. Adegan ikonik "gigitan laba-laba" dan "kematian Uncle Ben" tak akan kita dapatkan lagi di sini. Dapat dikatakan Spider-Man: Homecoming merupakan film Spider-Man paling ringan dan fun, tanpa drama tangisan lebay, terutama dari sosok Aunt May. Oh Dear Lord, Marisa Tomei betul-betul membuat karakter Aunt May berubah di sini. Tetapi, apalah artinya Spider-Man tanpa sebuah drama, bukan? Hal itu pula yang sejujurnya saya rindukan di sini. Memang dengan latar usia seorang Peter, drama apa yang dapat disajikan selain drama sekolahan, di mana ia harus menghadapi dillema untuk memilih masa sekolahnya atau keinginannya menjadi seorang Spider-Man. Namun kemudian saya merindukan adegan haru biru Tobey ketika harus merelakan pertunjukkan MJ demi menghentikan perampokan, atau ketika sosok Peter dalam Andrew Garfield merelakan Gwen Stacy untuk melindunginya. Juga ketika Tobey menaiki motor butut yang hancur ditabrak truk, atau Andrew yang dalam beberapa adegan terlihat menghadapi kesulitan keuangan, dimana untuk Peter dalam Homecoming, dengan mudahnya berkata "I need a new backpack". Memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun Sosok Peter dan Spiderman sebelumnya terbentuk menjadi sosok yang dapat kita ambil pelajaran, di mana di dalam setiap kesusahan yang dialami Peter, Spider-Man akan selalu siap menjadi pahlawan dan membantu orang lain. Selain itu dari segi cerita, meskipun saya amini bahwa Homecoming cukup well written, yang juga membuat pembentukan karakter Vulture yang diperankan dengan prima oleh Michael Keaton sebagai villain yang dapat dimaklumi penonton, bagi saya jalinan cerita film ini berakhir dengan antiklimaks. Ada yang kurang dari film dengan durasi 130 menit ini. Salah satu highlight dalam film ini tentunya adalah Spider Suit, dimana saya cukup menyukai Spider Suit versi Homecoming. Meskipun sejujurnya saya tetap menyukai suit handmade Peter yang dijahit sendiri (di film ini terlihat cukup modis), dan merasa kostum di sini terlalu tech-y, tetapi kostum di Homecoming (terutama 1 kostum kejutan) merupakan sesuatu yang patut diapresasi. Dari segi casting, Tom Holland, Marisa Tomei, dan Michael Keaton saya rasa juga menjadi highlight tersendiri. Ketiganya tampil dengan kualitas yang patut diacungi jempol. Jon Watts yang duduk di kursi sutradara pun mampu menyusun film ini dan memberikan unsur humor yang pas dengan karakter Spider-Man. Skrip yang Ia susun bersama Jonathan Goldstein, John Francis Daley, Christopher Ford, Chris McKenna, dan Erik Sommers cukup detail meskipun terlalu bertele-tele di awal. Sayangnya ketika twist yang diberikan di 3/4 akhir film sudah cukup meningkatkan tensi, penutupannya terasa antiklimaks. Namun the grand ultimate dissapoinment dan hal yang paling saya kritik untuk Homecoming adalah bagaimana cara tim produksi "melukai" karakter Peter Parker. Bagi saya Peter merupakan sosok ikonik dan memiliki jalannya sendiri, di sini dia seolah menjadi attention whore agar dianggap oleh sosok Tony Stark. Nama terakhir yang saya sebutkan pun saya rasa terlalu dipromosikan secara berlebihan. Meskipun memainkan peran cukup sentral, namun Tony sejujurnya tidak sepantas itu untuk ditampilkan dalam poster, diulang-ulang dalam promo, bahkan seolah menjadi "safety net" bagi film ini. Padahal tanpa sosok Iron Man pun bagi saya Spidey mampu berdiri sendiri. Kepentingan bisnis memang di atas segalanya. Pada akhirnya Spider-Man: Homecoming tetap menjadi film layak tonton, yang juga aman untuk ditonton anak-anak dalam pengawasan orang tua. Meskipun bagi saya ada yang kurang dari film ini, dimana "babak pertama" film cukup membosankan dan sisanya naik-turun, ditambah rasa kurang puas terhadap Spiderman yang saya rasa hanya menjadi filler untuk semesta Marvel, film ini tetap sebuah film yang rapi serta ditulis dengan baik. Tetapi dari seluruh tulisan ini, saya tetap setuju pada kalimat Kirsten Dunst dalam sebuah wawancara:
"We made the best ones, so who cares? I'm like, 'You make it all you want.' They're just milking that cow for money." But still, it's a good start for the franchise. Good for business. Saya sebetulnya sudah bingung menentukan sebuah film dengan scoring angka. Film ini pun sejujurnya merupakan film dengan angka 8 ke atas. Tetapi bagi saya mungkin ada di kisaran 6.8-7 karena eksekusi promosi yang buruk, serta kesan yang kurang mendalam. Catatan: Ada 2 after credit scene. Tunggu sampai credit title habis ya. -Kutu Klimis
0 Comments
Joe Carnahan telah dipastikan akan menulis naskah film 'X-Force', meski sebelumnya kabar yang beredar untuk posisi penulis akan diisi oleh Simon Kinberg. X-Force sendiri memang akan dibuat dengan nuansa yang berbeda dengan X-Men. Film ini akan menghadirkan nuansa yang lebih gelap dan banyak adegan kekerasan.
Jika melihat kondisi yang ada, sepertinya penunjukan Joe Carnahan adalah langkah yang tepat. Ya apabila melihat kesuksesan Deadpool dan review awal Logan, artinya Fox tengah menikmati kejayaan film superhero dengan rating R. Maka dari itu pemilihan orang dengan kemampuan menghadirkan action dengan sentuhan yang "berani". Bagi yang asing dengan Joe Carnahan, kalian bisa melihat karyanya seperti The Grey (2011), Smokin' Aces (2006), dan The A-Team (2010). Bisa dibilang karier Joe sedang meningkat jika melihat proyek film yang ditulisnya seperti Uncharted dan Bad Boys for Life. Dia juga baru-baru ini dikabarkan memiliki rencana untuk membuat remake The Raid. Saat ini belum ada keterangan lebih lanjut tentang film X-Force. Namun masih ada kemungkinan Joe Carnahan untuk mengisi posisi sutradara. Tentu saja film superhero dengan kontribusi Joe Carnahan memang patut kita nantikan. Sumber: Collider Foto: Screen Rant - Kutu Kasur Bagi yang mengikuti serial Game of Thrones tentu tak asing lagi dengan aktor yang satu ini. Dia berhasil mencuri perhatian dengan kinerjanya ketika berperan sebagai Ramsay Bolton. Kini Iwan dikabarkan bergabung dengan proyek hasil kerja sama Marvel dan ABC, 'Inhumans'.
Karakter Inhumans sendiri sebenarnya telah muncul di serial 'Marvel's Agent of Shield'. Namun pihak produsen telah menyatakan bahwa ini bukanlah spin-off dari Agent of Shield. Karena serial 'Inhumans' nantinya akan fokus pada kisah sang pemimpin Inhumans, Black Bolt. Nantinya Iwan akan berperan sebagai Maximus the Mad, adik Black Bolt. Jeph Loeb pun menyatakan kekagumannya pada Rheon. "Iwan’s ability to be charming, roguish, and still completely unexpectedly dangerous were all the different sides we needed to bring the character to life. We’re thrilled to have him on board," ungkapnya. Selain Iwan Rheon, Elysia Rotaru juga kabarnya akan meramaikan serial ini dengan berperan sebagai Medusa. 'Inhumans' dijadwalkan tayang mulai 1 September mendatang di ABC. Sumber: variety.com Foto: IMDB - Kutu Kasur Akhirnya, salah satu superhero yang telah lama ditunggu kembali beraksi. Peter Parker kali ini akan kembali di Spider-Man: Homecoming. Film ke-16 dari Marvel Cinematic Universe ini akan dibintangi oleh Tom Holland, Michael Keaton, Zendaya, Donald Glover, Marisa Tomei, dan juga Robert Downey Jr. Spider-Man: Homecoming, yang disutradarai oleh Jon Watts, rencananya akan rilis sekitar 7 Juli 2017 mendatang. Pernah dekat dengan seseorang, namun ternyata kita terus menerus disakiti? Tetapi bukannya pergi, kita justru malah tetap bertahan. Mungkin pada posisi itu kita berdiri di perbatasan garis antara sayang dan bodoh. Menyaksikan Doctor Strange, tak ubahnya seperti berdiri pada garis tersebut. Saya tetap duduk manis kala film arahan Scott Derrickson ini mencabik-cabik isi kepala dan pandangan mata saya. Mengapa saya merasa berdiri di garis yang saya jadikan analogi di atas? Karena Doctor Strange menyajikan jalan cerita, visualisasi, beberapa adegan keluar pakem, serta "nyeleneh" dari film-film Marvel mana pun yang pernah ada. Dan sejujurnya saya merasa "tersiksa" menyaksikannya, but yet, saya tetap duduk manis di kursi. Call me stupid, tidak memahami "seni", IQ-nya gak nyampe or anything, but I have to be honest, I didn't quite enjoy the storyline, tapi cukup terhibur dengan visualisasinya. Secara skrip, film yang skenarionya disusun oleh lima orang sekaligus ini saya akui (awalnya) cukup berstruktur. Cerita latar belakang dari seorang Stephen Strange dipaparkan dengan cukup mendetail, tetapi sayangnya rentan waktu ketika ia mulai berguru hingga mampu mengendalikan kekuatannya saya rasa amat terlalu singkat. Namun saya akui, awalan cerita yang disampaikan seolah membuat penonton tidak sadar bahwa ini adalah film superhero yang akan menyajikan kegilaan dari bagian tengah hingga akhir. Visualisasi yang ditampilkan patut diapresiasi. Adegan pertarungan yang disajikan seolah membuat kita menyaksikan Inception (2010) dengan versi "liar". Setting tempat "berantakan", visual ala disko 80an, serta adegan loop berulang seolah menjadi hal yang biasa dalam film ini. Namun sayangnya film ini bagi saya "kurang ramah". Memang dengan adanya film ini, menunjukkan keberanian Marvel dalam menyajikan sebuah film yang berbeda dari yang lain, namun sayangnya gaya penuturan terstruktur hanya berlangsung hingga 1/4 bagian film, sisanya adalah kilatan cahaya sana-sini yang tak ubahnya membuat perasaan sedikit teraduk seolah dalam angkot yang memutar lagu "Mungkin Nanti" - Peter Pan namun diremix menggunakan musik house jedak-jeduk. Tidak semua penonton akan merasa nyaman dengan hal tersebut, yang sejujurnya sedikit saya sayangkan. Tempo cerita pun berjalan cukup datar dan lambat. Meski disajikan visualisasi megah dengan warna-warni cerah, tempo cerita terkadang seolah tersendat, sehingga membuat mata saya sempat berat ketika menyaksikannya. Selain itu terdapat beberapa plot hole yang cukup ketara dan membuat penonton akan sedikit mengerenyitkan dahi mereka. Namun secara keseluruhan, Doctor Strange cukup menghibur. Hadirnya installment ini dalam Marvel Cinematic Universe, seolah memperkaya portofolio jenis film heroes mereka yang sudah "kaya" sebelumnya. Kehadiran Doctor Strange juga seolah mempertegas bahwa Infinity War nantinya akan memiliki sebuah cerita dan universe yang amat luas.
Akting dari Bennedict Cumberbatch pun tidak perlu diragukan. Disokong oleh pemeran lain seperti Rachel McAdams, Tilda Swinton, Mads Mikkelsen, dan Chiwetel Ejiofor, membuat setiap adegan terasa cukup natural. Beberapa jokes yang diselipkan pun cukup menghibur, meskipun belum tentu semua akan mengerti. Pada akhirnya bagi saya pribadi, film ini kurang tepat untuk disaksikan tanpa kita "mengenal" terlebih dahulu siapa itu Doctor Strange melalui literatur (baca: komik) yang ada. Karena dengan kita mengetahui latar belakang cerita dari dalam bacaan, setidaknya mempersiapkan kepala kita akan kegilaan yang akan disaksikan. Hanya ada dua tipe orang yang menyebut film ini "keren", yaitu yang benar-benar mengerti dan yang saking tidak mengertinya, maka akan menyerah dan mengeluarkan kata "keren". Karena seusai menyaksikan film ini, kita akan keluar teater dengan rasa pening seolah kepala kita baru saja bertemu Lucille. Saya? Saya jelas bukan yang kedua, namun tidak juga yang pertama. Jika membicarakan visual, saya akan memberi angka 8/10 dengan mudah. Bila kita berbicara film secara keseluruhan, 6,8/10 adalah angka yang cocok untuk film ini, tetapi yang jelas saya masih sedikit "pusing", bahkan saat menulis review ini. p.s: as always, beli cemilan ekstra untuk kurang lebih tiga menit duduk manis manja menunggu mid credit dan post credit scene. Iya, ada dua. Overall: 6.8/10 - Kutu Klimis |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|