Serial TV Tetangga Masa Gitu yang dibintangi oleh Sophia Latjuba, Deva Mahenra, Dwi Sasono, dan Chelsea Islan ini sedang tahap proses syuting untuk episode terakhirnya. Dilansir dari akun Instagram-nya Sophia Latjuba @sophia_latjuba88 :
"Dwi, Deva and Chelsea... my beautiful co-workers for the past 3 years. Hari ini shooting episode terakhir. Sedikit kehabisan kata-kata karena this wonderful journey akan berakhir sebentar lagi. Walaupun hampir tiap hari bertemu, dengan emosi dan cerita masing-masing, tapi kami selalu bisa jaga sikap dan saling menghibur. Nggak pernah ada kata-kata enggak enak dari mereka. Enggak pernah mereka nggak kasih 100 persen buat team. Begitu juga team dan crew TMG yg saya anggap seperti keluarga sendiri, mereka luar biasa. I love you so much and will miss working with you even more. I am honored to have been a part your life. Buat penonton setia TMG, thank you so much for your love and support! ❤🙏🏻" Tetangga Masa Gitu adalah serial komedi situasi yang menampilkan kehidupan sehari-hari dari dua pasangan suami istri yang hidup bertetangga. Serial yang telah hadir dari sekitar Maret 2014 ini memang menjadi salah satu favorit banyak orang. Alasannya adalah karena ceritanya yang dekat dengan sehari-hari dan juga mudah mengundang tawa para penonton. - Kutu Kamar
0 Comments
Genre: Drama/Action
Runtime: 120 Minutes Director: Timo Tjahjanto - Kimo Stamboel (Mo Brothers) Casts: Iko Uwais, Chelsea Islan, Julie Estelle, Sunny Pang, Zack Lee. "Maen PS yuk?" Ajakan itu adalah "panggilan surga" bagi saya kala menginjak bangku kelas 3 SD di sebuah sekolah di desa yang jauh dari hingar bingar perkotaan. Jangankan PS, dahulu acara televisi saja saya harus puas menyaksikan Dunia Dalam Berita 'saban' hari 'saban' jam di TVRI karena hanya stasiun TV itu yang tertangkap antena saya. Ketika demam PS mewabah ke kampung saya, yang notabene kurang terjamah teknologi, ajakan tersebut tentunya merupakan "bisikan malaikat" yang tidak pernah gagal menimbulkan rasa excited tersendiri. Tapi ada satu dari banyaknya hari menyenangkan, yang membuat "panggilan surga" itu terasa seperti "penistaan" untuk diri saya, yaitu kala seorang teman dengan pede-nya menyebut kalimat sakti "main PS yuk?!", yang kemudian saya sambut dengan suka cita seakan hari raya, untuk kemudian menemukan fakta bahwa PS bagi dia adalah PolyStation, bukan PlayStation. Bastard. Lalu apa hubungan PS dengan Headshot? Headshot adalah muara dari kalimat "Main PS yuk?!", namun sayangnya, Headshot adalah PolyStation. Tentunya tidak akan ada yang menyangsikan iming-iming yang ditawarkan film ini. Memajang seorang Iko Uwais sebagai karakter utama saja, seolah sudah memegang kartu 2 wajik ketika kocokan pertama bila bermain capsa dibagikan. Kemudian diikuti oleh Julie Estelle dan Chelsea Islan yang membuat kocokan kartu berikutnya semakin membuat jumawa dan bergumam, "gue nih yang menang". Sunny Pang kemudian melengkapi jajaran cast yang membuat film ini seolah semakin di atas angin. Tetapi satu "tromol" nasi + martabak telor kemudian, segala rasa jumawa tadi seolah terhempas begitu saja di hadapan saya, bagai terhempasnya Sun Go Kong yang disentil oleh jari Buddha Julai. Rasa excited saya hilang seketika. Setelah The Raid (dan mungkin Azrax dan DPO), tentunya ekspektasi orang-orang akan film action Indonesia akan berada di level Burj Khalifa, cukup tinggi. Terlebih film ini memasang salah satu "aktor laga terbaik Indonesia masa kini" dalam cast utamanya. Tetapi kemudian Mo Brothers seolah lupa bagaimana membuat sebuah film yang well-received. Sebegitu parah kah? Bila melihat jajaran tim mulai dari rumah produksi, sutradara, hingga cast, ya! Cukup parah bagi saya. Bagaimana tidak? Film ini seolah tidak memiliki juntrungan yang jelas. Skenario tidak rapi, plot yang sedikit acak adut, tempo cerita yang kurang renyah, camera work yang "maksa", serta percakapan yang cheesy dan kaku. Cukup disayangkan karena film ini melibatkan aktor dan aktris yang tidak bisa dikatakan receh dalam dunia perfilman Indonesia, khususnya film laga. Film ini seolah bermain di area abu-abu. Drama tidak ngena, action tidak jelas. Permasalahan utama dalam The Raid, yaitu bahasa yang digunakan terlalu kikuk dan kurang berkembang juga masih begitu kentara di film ini. Padahal jelas, penulis skenarionya berbeda. Tetapi entah mengapa pakem tersebut seolah mendarah daging. Iko Uwais yang mendapat line percakapan yang cukup banyak malah membuat saya semakin yakin kalau Iko "kurang piawai" untuk berperan di adegan non laga. Adegan-adegan cheesy dengan jokes yang tidak menyentuh klimaks, percakapan dan aksi sok keren para pemeran pembantunya, camera work yang shaky, serta scoring musik yang miss place menambah kacaunya film ini. Penggunaan adegan slow motion untuk menambah kesan dramatis justru membuat saya melihat ini seperti film-film komedi ala Simon Pegg atau parodi kelas 2 Hollywood. Mungkin setelah membaca sampai sini, pernyataan sekaligus pertanyaan tentang melenggangnya film ini di kancah internasional pun akan diajukan karena gembar-gembor media yang mengatakan bahwa film ini mendapat apresiasi, bahkan penghargaan tingkat internasional. Kalimat seperti, "Lah, katanya kan ini menang di banyak festival", "lah ini kan tayang di luar negeri, katanya pada demen", pasti akan terlontar. Well, setelah saya lihat lebih jauh, Headshot ternyata hanya menjadi Official Selection, yang artinya menjadi satu dari puluhan atau mungkin ratusan film yang ditayangkan di festival-festival film tersebut. Ada yang dimenangkan, namun selebihnya hanya numpang mejeng. Memang suatu kebanggaan tersendiri mungkin turut berkontribusi di beberapa festival film besar, karena untuk masuk ke sana pun harus melalui seleksi dan screening. Namun bila diibaratkan, keikutsertaan Headshot dalam beberapa festival seperti sebuah tim nasional yang mengklaim diri mereka main di Piala Dunia kala mereka masih berjuang di babak kualifikasi regional. Yaa, teknik marketing. Saya tidak bermaksud antipati atau menjatuhkan, tapi saya menyayangkan dengan ekspektasi yang begitu tinggi dam disertai jajaran kru yang mumpuni, film ini justru hanya mampu "main air di pinggiran tanpa menyelam lebih dalam". Oh ya, mengenai kru, saya mulai sedikit merasa bahwa kalangan ini memiliki inner-circle tersendiri terkait mereka yang terlibat di dalamnya. Karena di awali dari Merantau, hampir kebanyakan kru yang terlibat, utamanya dalam koreogorafi pertarungan mutlak milik Iko dan kru nya. Terlebih para pemeran utamanya yang "itu lagi-itu lagi". Dua sisi mata pedang bagi saya, di satu sisi semakin solid, di sisi lain segera butuh penyegaran. Karena bila tidak, film-film laga Indonesia ke depannya akan semakin monoton. Hype tidak akan berlangsung selamanya, bukan? Terakhir, Mo Brothers seolah memberi petunjuk mengapa film ini berjudul Headshot. Karena setelah beberapa waktu film berjalan, seperti judul review ini saya bergumam, "Damn, just 'headshot' me already", karena menyaksikan 120 menit film ini, kinda killing me, slowly. Overall: 4,5/10 p.s: Meskipun saya akui beberapa adegan pertarungannya tetap "kelas atas", tapi itu masih jauh dari ekspektasi saya. Dan sayangnya, highlight utama saya untuk film ini bukan adegan pertarungannya, meskipun terselip dalam adegan pertarungan antara Iko Uwais dan Julie Estelle di pantai, bukan pertarungannya yang menjadi highlight, tapi yaaa. Hmm. Well, kalau kata Tatan, "gak sopan" kalau saya tulis di sini. Ada yang tahu siapa itu Donald Pandiangan, Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani? Bila ada yang bilang "gue tahu" sebelum menyaksikan film ini, berarti ada 3 kemungkinan:
1. Sudah "berumur" 2. Rak buku sejarah, RPUL, dan Buku Pintar merupakan rak pertama yang didatangi bila ke Gramedia 3. Termasuk tipe personal "yang penting bilang iya dulu". Karena saya pribadi, (ironisnya) baru mengetahui nama tersebut setelah menyaksikan film ini. Film biopik ini berkisah tentang Donald Pandiangan serta 3 Srikandi Indonesia, Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani yang merupakan mantan atlet panahan papan atas Indonesia pada masanya. Donald Pandiangan yang kala itu bertindak sebagai pelatih, bahkan mendapat julukan "Robin Hood dari Indonesia". Namun seperti biasa, saya tidak akan membahas isi dari film, karena tentunya kalian harus menyaksikan sendiri film ini. Ya, kalian tidak salah baca. Bagi saya film ini salah satu film yang "worth your penny". Bahkan bila dibandingkan dengan (mudah-mudahan gak kena semprot) Suicide Squad. Sejujurnya, saya sempat sinis terhadap film ini dan bergumam, "Buset! Reza Rahadian lagi?". Lalu saat melihat para pemeran wanita, "anjir ini mah Reza's Angels reunian". Tetapi tentunya kesinisan tersebut murni karena rasa spontan dan bawaan "budaya". Karena secara kualitas, para pemeran 3 Srikandi merupakan aktor dan aktris papan atas di Indonesia. Setelah mengetahui premis cerita, saya pun semakin merutuki kesinisan saya di awal. Bagi saya pribadi, film ini memang membutuhkan sosok seperti Reza Rahadian, Bunga Citra Lestari, Tara Basro, serta Chelsea Islan. Karena merekalah magnet utama bagi film ini. Kejelian departemen casting untuk menunjuk mereka patut saya apresiasi (meskipun terkesan itu lagi- itu lagi). Mengapa saya katakan bahwa film ini merupakan film yang "berani" serta "beresiko"? Karena tokoh-tokoh yang diangkat serta latar belakangnya merupakan salah satu yang tidak populer. Terlepas dari peran besar mereka dalam mempersembahkan medali pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade, setelah bertahun-tahun keikutsertaan Indonesia yang nirgelar. Namun mungkin akan lebih "booming" bila biopik seorang Rudy Hartono yang berhasil meraih juara All England sebanyak 8 kali, atau kisah pesepakbola tanah air semacam Ronny Pattinasarani, Ricky Yacobi, atau Ronny Pasla. Tetapi saya rasa akan terlalu mainstream bila hal itu dilakukan. Justru hal itu akan menghadirkan cetusan "itu lagi-itu lagi" bagi premis yang dibawakan. Karena pada faktanya, Indonesia bukan melulu tentang Badminton, histeria masyarakat akan olahraga bukan melulu melalui sepak bola, dan putra-putri bangsa yang mengharumkan nama Sang Saka Merah Putih di kancah dunia juga tidak itu-itu saja. Film ini dipadukan dengan script yang cukup baik. Penuturan cerita serta pendalaman karakter dari masing-masing Srikandi dilakukan dengan cukup detail dan dalam. Elemen drama dan humor yang diselipkan amat pas. Emosi yang dibawa oleh cerita turut membawa penonton ikut dalam tiap adegannya. Meskipun ada beberapa lubang dalam plot, serta kesimpangsiuran setting tempat, namun film ini masih cukup renyah untuk diikuti. Akting dari para pemeran sudah tidak perlu saya komentari. Masing-masing pemeran memberikan porsi yang pas. Reza Rahadian mampu membawakan karakter Bang Pandi dengan baik, meskipun saya tidak memiliki pembanding pasti, karena sang tokoh telah tiada. BCL pun tampil natural dalam perannya sebagai "Yana" dan membuat aktingnya seolah tanpa beban. Saya memberikan kredit tersendiri kepada Chelsea Islan sebagai "Lilies" dan Tara Basro sebagai "Suma" yang mampu mendalami peran dan karakter yang memiliki suku tertentu dengan amat baik. Sayangnya ada beberapa minus serta detail yang kurang maksimal dalam film ini. Ada beberapa adegan build up yang kemudian tidak dieksekusi sehingga menjadi adegan yang sebetulnya tidak perlu. Durasi film pun seakan dipaksakan agar menjadi lebih panjang, dan tidak langsung menuju inti. Detail extras ketika setting di Korea, terlihat terlalu modern untuk tahun 1988. Serta properti merk Aqua menggunakan logo terbaru (ini lebay sih, tapi tetap merupakan bagian detail properti). CGI pun bagi saya sebetulnya tidak begitu diperlukan untuk film ini. Namun secara keseluruhan, Iman Brotoseno sebagai sutradara berhasil mengarahkan film ini menjadi sebuah film yang fun dan fresh, juga mengingatkan kita bahwa Indonesia pun memiliki tokoh macam Coach Carter atau Michael Oher yang pantas diangkat kedalam sebuah biopik. Film ini pun mengajarkan kita untuk selalu berjuang dan percaya akan mimpi. Karena hal-hal besar, selain diraih karena perjuangan, (hampir selalu) berawal dari mimpi. Overall: 7/10 - Kutu Klimis |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|