Setiap tahunnya Metacritic selalu menyajikan skor dari tiap season TV show yang telah direview oleh para kritikus. Berikut merupakan daftar lengkap peringkat teratas dari TV show tiap tahun, mulai tahun 2000.
Hasilnya pun beragam, mulai dari Breaking Bad, The Wire, hingga salah satu musim terbaik dari Mad Men. 2000: "The Sopranos" (Season 2) Critic score: 97/100 User score: 9.3/10 Menurut kritikus: "It's difficult to single out any particular aspect of the show: It's just plain brilliant." — Variety 2001: "The Office: UK" (Season 1) Critic score: 98/100 User score: 8.6/10 "It takes a little while to get into it (episode two clinched it for me), but once you get used to the accents and dry humor, you're hooked." — The Chicago Sun-Times 2002: "The Office: UK" (Season 2) Critic score: 93/100 User score: 8.9/10 "The pleasure to be taken from 'Office' isn't merely that of laughter — it's the pleasure of watching a piece of entertainment so perfectly made and so delicately acted." — Entertainment Weekly 2003: "The Office: UK" (Season 3) Critic score: 98/100 User score: 8.2/10 "Quite possibly the finest closing chapter ever for a TV series." — The San Francisco Chronicle 2004: "The Wire" (Season 3) Critic score: 98/100 User score: 9.5/10 "If you do that rare TV thing of actually paying close attention, HBO's complex, richly detailed crime drama will sweep you away like a fine novel." — The Detroit Free Press 2005: "Deadwood" (Season 2) Critic score: 93/100 User score: 9.1/10 "Magnificently profane and entirely engaging, 'Deadwood' remains one of TV's best character-driven dramas." — The Pittsburgh Post-Gazette 2006: "The Wire" (Season 4) Critic score: 98/100 User score: 9.5/10 "Brilliant, scathing, sprawling, 'The Wire' has turned our indifference to urban decay into a TV achievement of the highest order." — USA Today 2007: "Curb Your Enthusiasm" (Season 6) Critic score: 89/100 User score: 8.6/10 "It has become one of the most reliably amusing comedies on TV, taking little annoyances, indignities, and offenses, and worrying at them until they bubble into fantastically overblown debacles." — Entertainment Weekly 2008: "The Wire" (Season 5) Critic score: 89/100 User score: 9.2/10 "Every single scene of 'The Wire' is meticulously scripted and dramatically riveting." — Salon 2009: "Mad Men" (Season 3) Critic score: 87/100 User score: 8.8/10 "It all makes for a rich, captivating series to look at. And listen to. Even, or especially, when it's not saying anything at all." — Time 2010: "Mad Men" (Season 4) Critic score: 92/100 User score: 9.0/10 "True-blue fans will swoon. Everything they — you — love about this classic is laid out, banquet-like, Sunday night — the fashions, style, elegance, writing, characters, precision, beauty and most of all, the humor." — Newsday 2011: "Breaking Bad" (Season 4) Critic score: 96/100 User score: 9.5/10 "'Breaking Bad' is unquestionably one of the greatest dramas in TV history." — The Hollywood Reporter 2012: "Breaking Bad" (Season 5) Critic score: 99/100 User score: 9.7/10 "The arc of this character — series creator Vince Gilligan's invention of Walter White as a sick soul — is, it's clear now, one of the great narratives in television history." — Entertainment Weekly 2013: "Enlightened" (Season 2) Critic score: 95/100 User score: 7.6/10 "The show's must-see second season is one of the best stories I've experienced in a long time." — The Huffington Post 2014: "Game of Thrones" (Season 4) Critic score: 94/100 User score: 9.2/10 "The acting is delightful, the visuals are sumptuous, the stories couldn't be more surprising." — The Wrap 2015: "Fargo" (Season 2) Critic score: 96/100 User score: 9.3/10 "The new season of 'Fargo' shows TV-making at its most impressive, with every single aspect — the writing, the acting, the directing, the cinematography, the music, the set design — spot on and in sync." — The Boston Globe 2016: "Rectify" (Season 4) Critic score: 100/100 User score: 9.2/10 "It allows us to know and care for these characters even when they try to hold us at arm's length, by embracing their truths in quiet moments that connect us to their loneliness, uncertainty, and ultimately their hope." — Collider -- Bagaimana Kawan Kutu? Ada serial favorit kamu? Atau mungkin tertarik untuk menambah referensi tontonan baru? - Kutu Butara
0 Comments
Film dari negara yang dahulu bernama Persia ini memang tak henti-henti untuk selalu membuat saya penasaran, yang berimbas kepada rasa takjub setelah menontonnya. Kali ini bukan genre drama yang mereka tawarkan, melainkan horor. Under the Shadow merupakan film arahan Sutradara Babak Anvari dari skrip yang juga ia tulis sendiri, menceritakan tentang keluarga di Tehran (Iran) yang diteror oleh makhluk halus pada masa pasca revolusi tahun 1980-an. Film ini mungkin akan sedikit mengingatkan kita dengan The Babadook (2014), yang juga memiliki kesamaan cerita mengenai hubungan ibu-anak dalam melawan makhluk tak kasat mata yang ada di dalam rumah. Terlepas dari itu, Under the Shadow mampu menawarkan lebih dan memiliki keistimewaan sendiri. Dari segi pembangunan cerita, film ini tidak terburu-buru untuk segera memberikan rasa takut instan kepada penonton. Babak Anvari jeli untuk memaksimalkan nilai-nilai budaya ke dalam Under the Shadow, salah satunya dengan memadukan kondisi perang yang sedang terjadi dengan makhluk gaib menurut ajaran Islam. Pun tak ketinggalan unsur politik dan kondisi sosial dalam masyarakat yang menjadikan film ini terasa pas dan benar adanya. Rasa takut dari horor yang disajikan Under the Shadow diisi pada titik dimana anda tak menduganya, sehingga menjadikan nuansa horor tersebut semakin menjadi-jadi. Gabungan psychology horor dan jump scare di film ini juga saling melengkapi dan tak bisa anda terka mau dibawa kemana arah ceritanya.
Akting dari masing-masing pemeran juga patut diacungi jempol, terutama Narges Rashidi. Ia mampu menggambarkan seorang Ibu yang Independen, namun ringkih setelah ditinggal suami yang pergi mengemban tugas. Avin Manshadi yang berperan sebagai Dorsa juga tampil maksimal dengan ke-innocent-an nya sebagai bocah lucu yang sebegitunya terikat dengan boneka bernama Kimia, yang pada satu titik, saya merasa si Dorsa ini lebih mirip bocah Jepang daripada Timur Tengah. Dengan durasi yang tak lebih dari 84 menit, Under the Shadow berhasil menjadi salah satu film (horor) terbaik tahun ini versi saya. Dan anda pun rasanya sangat-sangat tak boleh untuk melewatinya. Rating: 8/10 - kutu butara Begitu saya selesai menonton film ini, reaksi saya adalah "Kenapa saya baru tahu film ini dan kenapa film ini tidak pernah terdengar?" Pertanyaan saya ini lebih banyak dibandingkan pertanyaan mengenai vonis 20 tahun kasus Jessica. Salah satu film terbaik tahun ini yang saya yakin banyak orang tidak tahu. Film yang kaya dengan makna humanis dan pesan mendalam mengenai struktur sosial modern manusia saat ini. Film ini bercerita tentang keluarga dari Ben (Viggo Mortensen) dan Leslie Cash (Trinn Miller). Mereka memutuskan untuk mendidik keenam anaknya untuk menjalani kehidupan tradisional alamiah di hutan dengan mengajarkan mereka berburu, menggunakan insting bertahan hidup, dan mempelajari segala jenis ilmu dalam buku dari bahasa asing sampai ke kuantum fisika. Ben dan Leslie juga menolak segala macam bentuk modernisasi karena mereka membenci sistem kapitalisme di Amerika. Konflik dimulai saat Leslie mengalami bipolar disorder dan dirawat di rumah sakit, sampai akhirnya dia memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Ben pun kembali memikirkan apakah jalan yang ditempuh selama ini sudah benar dan apakah cara didikan ini adalah yang terbaik untuk anak-anaknya. Konflik pun bertambah saat salah satu anak Ben, Rellian (Nicholas Hamilton), mulai merasa muak dan bosan dengan gaya hidup yang dijalaninya selama ini. Apa sesungguhnya yang terbaik buat anak-anak kita? Ini adalah garis besar utama dari film ini. Captain Fantastic cukup berhasil mempertanyakan apakah sistem pendidikan modern yang selama ini diterapkan sudah baik. Kehebatan Ben dalam mengajari anak-anaknya agar menjadi cerdas, tangguh, dan mandiri pun ditunjukkan begitu baik dalam film ini. Bagaimana anak terkecil Ben, Zaja (Shree Crooks), sudah mengerti tentang paham Marxist, Trotskyism sampai Maoist (yang bahkan saya harus googling dulu untuk tahu apa artinya).
Walaupun Ben adalah seorang ayah yang ketat dan disiplin, tapi dia tetap memiliki sifat lembut penyayang untuk anak-anaknya. Bahkan "sisi lembut" inilah yang membuat Captain Fantastic begitu menyentuh, bahwa sesungguhnya orang tua akan rela berkorban demi anak-anaknya, walaupun pengorbanan itu terasa sangat berat. Viggo Mortensen berhasil membawakan perannya sebagai Ben dan menunjukkan sisinya sebagai seorang ayah, yang terkadang membuat saya lupa kalau dia lebih banyak berperan sebagai tough guy seperti dalam Lord of The Rings dan Eastern Promises. Saya sangat mengharapkan kalau Viggo bisa mendapat nominasi Golden Globes atau bahkan Academy Awards. Kredit utama juga saya berikan untuk Matt Ross sebagai sutradara dan penulis naskah, yang memahami bagaimana rumit dan kompleksnya menjadi orang tua. Entah kenapa film berdurasi dua jam ini terasa begitu cepat selesai. Saya masih ingin melihat bagaimana anak-anak Ben berinteraksi dan bersosialisasi dengan anak-anak lain yang normal. Saya juga ingin melihat apakah mereka dapat beradaptasi dengan struktur sosial modern. Intinya adalah: "Kurang euy! Pengen nambah lagi hahahaha," Bila film ini dijadikan serial televisi, akan langsung saya tonton. Untuk Kawan Kutu yang belum menonton, ini saran saya: "Stop what you're doing and go watch this movie right now" - Kutu Kamar Pernah dekat dengan seseorang, namun ternyata kita terus menerus disakiti? Tetapi bukannya pergi, kita justru malah tetap bertahan. Mungkin pada posisi itu kita berdiri di perbatasan garis antara sayang dan bodoh. Menyaksikan Doctor Strange, tak ubahnya seperti berdiri pada garis tersebut. Saya tetap duduk manis kala film arahan Scott Derrickson ini mencabik-cabik isi kepala dan pandangan mata saya. Mengapa saya merasa berdiri di garis yang saya jadikan analogi di atas? Karena Doctor Strange menyajikan jalan cerita, visualisasi, beberapa adegan keluar pakem, serta "nyeleneh" dari film-film Marvel mana pun yang pernah ada. Dan sejujurnya saya merasa "tersiksa" menyaksikannya, but yet, saya tetap duduk manis di kursi. Call me stupid, tidak memahami "seni", IQ-nya gak nyampe or anything, but I have to be honest, I didn't quite enjoy the storyline, tapi cukup terhibur dengan visualisasinya. Secara skrip, film yang skenarionya disusun oleh lima orang sekaligus ini saya akui (awalnya) cukup berstruktur. Cerita latar belakang dari seorang Stephen Strange dipaparkan dengan cukup mendetail, tetapi sayangnya rentan waktu ketika ia mulai berguru hingga mampu mengendalikan kekuatannya saya rasa amat terlalu singkat. Namun saya akui, awalan cerita yang disampaikan seolah membuat penonton tidak sadar bahwa ini adalah film superhero yang akan menyajikan kegilaan dari bagian tengah hingga akhir. Visualisasi yang ditampilkan patut diapresiasi. Adegan pertarungan yang disajikan seolah membuat kita menyaksikan Inception (2010) dengan versi "liar". Setting tempat "berantakan", visual ala disko 80an, serta adegan loop berulang seolah menjadi hal yang biasa dalam film ini. Namun sayangnya film ini bagi saya "kurang ramah". Memang dengan adanya film ini, menunjukkan keberanian Marvel dalam menyajikan sebuah film yang berbeda dari yang lain, namun sayangnya gaya penuturan terstruktur hanya berlangsung hingga 1/4 bagian film, sisanya adalah kilatan cahaya sana-sini yang tak ubahnya membuat perasaan sedikit teraduk seolah dalam angkot yang memutar lagu "Mungkin Nanti" - Peter Pan namun diremix menggunakan musik house jedak-jeduk. Tidak semua penonton akan merasa nyaman dengan hal tersebut, yang sejujurnya sedikit saya sayangkan. Tempo cerita pun berjalan cukup datar dan lambat. Meski disajikan visualisasi megah dengan warna-warni cerah, tempo cerita terkadang seolah tersendat, sehingga membuat mata saya sempat berat ketika menyaksikannya. Selain itu terdapat beberapa plot hole yang cukup ketara dan membuat penonton akan sedikit mengerenyitkan dahi mereka. Namun secara keseluruhan, Doctor Strange cukup menghibur. Hadirnya installment ini dalam Marvel Cinematic Universe, seolah memperkaya portofolio jenis film heroes mereka yang sudah "kaya" sebelumnya. Kehadiran Doctor Strange juga seolah mempertegas bahwa Infinity War nantinya akan memiliki sebuah cerita dan universe yang amat luas.
Akting dari Bennedict Cumberbatch pun tidak perlu diragukan. Disokong oleh pemeran lain seperti Rachel McAdams, Tilda Swinton, Mads Mikkelsen, dan Chiwetel Ejiofor, membuat setiap adegan terasa cukup natural. Beberapa jokes yang diselipkan pun cukup menghibur, meskipun belum tentu semua akan mengerti. Pada akhirnya bagi saya pribadi, film ini kurang tepat untuk disaksikan tanpa kita "mengenal" terlebih dahulu siapa itu Doctor Strange melalui literatur (baca: komik) yang ada. Karena dengan kita mengetahui latar belakang cerita dari dalam bacaan, setidaknya mempersiapkan kepala kita akan kegilaan yang akan disaksikan. Hanya ada dua tipe orang yang menyebut film ini "keren", yaitu yang benar-benar mengerti dan yang saking tidak mengertinya, maka akan menyerah dan mengeluarkan kata "keren". Karena seusai menyaksikan film ini, kita akan keluar teater dengan rasa pening seolah kepala kita baru saja bertemu Lucille. Saya? Saya jelas bukan yang kedua, namun tidak juga yang pertama. Jika membicarakan visual, saya akan memberi angka 8/10 dengan mudah. Bila kita berbicara film secara keseluruhan, 6,8/10 adalah angka yang cocok untuk film ini, tetapi yang jelas saya masih sedikit "pusing", bahkan saat menulis review ini. p.s: as always, beli cemilan ekstra untuk kurang lebih tiga menit duduk manis manja menunggu mid credit dan post credit scene. Iya, ada dua. Overall: 6.8/10 - Kutu Klimis Sutradara 'The Raid' Gareth Evans, akan membesut film yang diberi judul Apostle, yang juga ditulis dan disutradarai oleh dirinya.
Filmnya sendiri akan bercerita tentang seorang pria misterius yang pergi ke sebuah pulau terpencil untuk mencari saudara perempuannya yang hilang. Kemudian sang adik diketahui telah diculik oleh sebuah 'religious cult', yang kemudian meminta tebusan. Tak disangka ternyata si pria mencoba menggali lebih dalam tentang rahasia dibalik komunitas tersebut. Produksi Apostle dikabarkan akan dimulai pada Maret 2017 di UK. Menarik untuk menantikan apakah Evans tetap akan memakai aktor-aktor Indonesianya dikarenakan lokasi produksi, atau bisa saja proyek ini merupakan film pertamanya tanpa aktor Indonesia(?). Sumber: Collider - Kutu Butara |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|