Halo, Kawan Kutu.
Kamu suka nulis review film? Punya rekomendasi film atau serial? Ingin tulisan kamu dimuat di jejaring Kutu Film? Yuk berbagi dengan Kawan Kutu yang lain dengan menjadi Contributor Writer di Kutu Film! Caranya gampang kok, Kawan Kutu bisa menulis ulasan mengenai film/serial apapun (tahun rilis dan genre yang bebas), dengan syarat: - Tulisan diketik dalam Bahasa Indonesia, - Minimal 500 kata, - Gaya bahasa & penulisan bebas, selama tidak mengandung kata-kata kasar, unsur pornografi, dan SARA, - Sertakan Rating untuk film/serial tersebut (skala 1-10), Nama atau Inisial kamu, nomor telepon, domisili dan akun media sosial (opsional), - Diutamakan untuk Film Non-Hollywood, Film Asia, dan Animasi, - Tulisan belum pernah dimuat di media manapun dan bukan hasil copas dari orang lain. Kirim segera tulisan kamu ke [email protected] Draft yang masuk akan melalui proses editing terlebih dahulu (jika diperlukan), setelah itu akan kami posting tiap Hari Jumat pukul 08.00 WIB, di Website dan media sosial Kutu Film. Info lebih lanjut bisa hubungi kami melalui chat personal di akun Line @kutufilm. Kami tunggu tulisan kalian! Regards, - Kutu Film
0 Comments
Sutradara: Monty Tiwa, Robert Ronny
Penulis: Monty Tiwa, Jenny Jusuf, Ika Natassa Pemeran: Adinia Wirasti, Reza Rahadian, Astrid Tiar, Hamish Daud, dan Hannah Al Rashid Genre: Drama Durasi: 135 menit Reza Rahadian akhirnya kembali meramaikan belantika perfilman tanah air setelah vakum selama kurang lebih 2 minggu sejak Kartini dirilis. Dua minggu? Tentu dua minggu itu waktu yang lama bagi seorang Reza Rahadian. Saya ingat di tahun lalu film yang ia bintangi atau paling tidak ia ikut terlibat, hampir bersahut-sahutan di bioskop, terlebih sebelum Kartini dirilis, cukup lama nama Reza tidak tercatat dalam kredit para pemeran. Critical Eleven menjadi salah satu dari 3 film yang tercatat akan ia bintangi di tahun ini. Dipasangkan kembali bersama Adinia Wirasti setelah sebelumnya berpasangan dalam film Kapan Kawin, mereka disebut-sebut sebagai pasangan on screen dengan chemistry melebihi Mickey dan Minnie Mouse. Critical Eleven adalah film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Ika Natassa. Novel? Hmm, tentu Kawan Kutu yang terbiasa membaca review saya akan tahu bahwa saya tidak akan membandingkan buku dan novelnya. Jadi tenang saja, saya tidak akan menghabiskan waktu membedah adegan untuk menyandingkannya dengan deskripsi dalam halaman. Satu hal yang tertangkap dari film ini, bahkan ketika baru berjalan selama 10 menit, film ini dibuat hanya untuk mereka yang peka. Ya, hanya untuk mereka yang memiliki daya investigasi mendalam serta intuisi untuk mengaitkan adegan demi adegan dengan detail. Bagaimana tidak? Ketika film masih dalam periode prolog, kita mendadak sudah ditarik dalam untuk berpindah setting cerita. Saya bahkan sempat terperanjat ketika adegan pembuka langsung berpindah ke adegan inti tanpa ada pengantar sebelumnya. Saya sempat merasa bahwa sepertinya ada bagian film yang terhapus sehingga alur melompat begitu jauh. Bahkan saya sempat berharap 30 menit film berlalu, itu adalah khayalan dari salah satu pemeran utama untuk kemudian penonton ditarik kembali ke adegan awal dan diberi penuturan cerita yang lebih santai. Tetapi ternyata tidak. Betul-betul membutuhkan analisa tajam dan daya investigasi kuat sekelas Kogoro Mouri untuk tetap mengikuti alurnya. Menit-menit berikutnya pun dibalut dengan adegan yang begitu "berwarna", sehingga setiap adegan yang terjadi seolah menyaksikan Cover Story dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti ketika mereka sedang liburan di New York. Skrip yang disusun patut diacungi jempol karena mampu menghadirkan percakapan Bahasa Inggris dasar nan cheesy yang dapat digunakan sebagai bahan referensi anak sekolahan bila mereka ingin terlihat keren di depan gebetannya. Dari segi kualitas pemeran serta akting tentu tidak perlu diragukan lagi, selain dua orang yang saya sebut-sebut di atas, masih ada Astrid Tiar, Hamish Daud, Hannah Al Rashid, Widyawati, Slamet Rahardjo, Revalina S Temat, hingga Anggika Bolsterli yang turut meramaikan Cover Story Reza Rahadian dan Adinia Wirasti ini. Para pemeran pendukung tersebut memiliki peran yang cukup sentral. Bahkan saking sentralnya peran salah satu pendukung, yakni Hamish Daud, saya yakin bila Ia dan Raisa menyaksikan film ini bersama di gala premiere, Raisa akan menatap lekat-lekat mata Hamish Daud setelah film ini selesai, dan berkata "Babe, mending kemaren kamu jadi koordinator pengadaan air mineral galon buat aku mandi pas aku tur". Betul-betul sentral sekali. Akting Reza dan Ardinia Wirasti sebagai pasangan pun amat luar biasa. Tidak salah memang menyebut chemistry mereka amat kuat. Bagaimana cara menguatkan chemistry ala mereka? Give each other a kiss. Tercatat ada sekitar 20 adegan ciuman yang membuat film ini menjadi salah satu film lokal dengan adegan ciuman terbanyak. Gerak dikit cium, nengok dikit cium, senyum dikit cium, pulpen jatoh cium, laper cium, makan cium, liat-liatan cium, update insta cium, ciuuuuummmm terus hingga ketika saya nengok ke atas, penonton pun ikut-ikutan cium. Luar biasa. Adegan emosional yang ditampilkan oleh mereka berdua pun begitu menguras emosi saya, terbukti ketika mereka menangis tersedu-sedu saya tidak dapat menahan diri untuk tertawa geli. Betul-betul adegan yang menguras emosi. Tetapi ada dua hal yang akhirnya dapat diterima oleh orang awam macam saya, yaitu tone cerita dan scoring/soundtrack yang disajikan terasa cukup megah. Sejujurnya apabila dikemas dengan rapi film ini memiliki makna yang cukup dalam. Hanya saja tim penyusun naskah seolah tenggelam dalam cerita mereka sendiri, sehingga membuat kisah Ale dan Anya tidak ubahnya menjadi sebuah potongan-potongan kisah yang tidak terajut dengan baik. Konflik yang ada terkesan terlalu dipaksakan, karena sejujurnya film ini seolah tidak dibuat untuk mendapat konflik. Cukup disayangkan "modal" besar film ini disia-siakan dengan skenario yang kurang tertata. Namun sepertinya modal tersebut tidak besar-besar amat, mengingat film ini seperti baliho digital untuk memaksa menyelipkan iklan telkomsol, lone, bank mausendiri, dan aplikasi nonton yook dalam beberapa adegannya. Critical Eleven pun menjadi tambahan bukti, bahwa jajaran aktor mumpuni tetap membutuhkan arah yang jelas. Karena menyaksikan film ini dengan para pemerannya namun dipadu dengan skrip yang ada, seolah mengantri "cheese cake yang happening", namun setelah sudah di tangan dan kita makan, ternyata kue tersebut sudah basi. A really, really, huge waste. Rating: 3,5/10 - Kutu Klimis Ada satu hal yang selalu melekat jika kita berbicara tentang George Lucas, Star Wars. Ya, Lucas adalah orang dibalik hadirnya salah satu franchise terbesar yang pernah ada di dunia hiburan. Bahkan Star Wars telah berubah menjadi ‘pop culture phenomenon’ yang terus bertahan hingga saat ini.
George Walton Lucas Jr lahir di Modesto, California, Amerika Serikat pada 14 Mei 1944. Kehidupan di Modesto membuat Lucas kecil memiliki ketertarikan pada balapan. Bahkan dia mengaku memang pernah ingin menjadi seorang pembalap. Namun hal itu berubah ketika dia mengalami kecelakaan fatal pada 1962. Sebuah kecelakaan yang akhirnya membawa Lucas kepada hal baru, sinematografi. Ia pun akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studi di USC School of Cinematic Arts. Di sanalah Lucas pertama kali bertemu dengan orang-orang seperti Randal Kleiser, Walter Murch, Hal Barwood, John Millius, dan juga Steven Spielberg. Ada dua orang di USC yang begitu mempengaruhi kemampuan Lucas dalam membuat film, Lester Novros dan Slavko Vorkapich. Lester banyak mengajarkan tentang elemen non naratif seperti warna, cahaya, ruang, waktu, dan juga pergerakan kamera. Sedangakan Vorkapich lebih menekankan pada kemampuan alami, keunikan, dan dinamisme yang ada di sebuah film. Ya tak heran jika melihat karyanya yang begitu unggul dalam hal visual. Dia pun menunjukkan ketertarikannya pada ‘pure cinema’, sebuah gaya pembuatan film yang berfokus pada elemen-elemen murni pada sebuah film seperti komposisi visual, pergerakan, dan ritme. Gaya ini memang mereduksi banyak hal dari sebuah film pada umumnya, terutama karakter dan cerita. Lucas akhirnya membuat beberapa judul film pendek ala ‘pure cinema’, seperti Look at Life, 1:42.08, dan Anyone Lived in a Pretty (how) Town. Tahun 1969 Lucas membentuk American Zoetrope, studio yang dibuat bersama dengan Ford Coppola. Mereka bertujuan untuk menyediakan ruang bagi para sineas yang ingin berkarya “di luar” sistem Hollywood. Namun, film pertama Lucas di studio ini, THX 1138, gagal menuai sukses. Pada akhirnya, Lucas memilih untuk membuat perusahaannya sendiri, Lucasfilm, Ltd., dan ia pun menuai kesuksesan dari American Graffiti (1973). Melalui reputasi dan kondisi ekonominya saat itu, ia secara perlahan mengembangkan sebuah cerita yang berlatar luar angkasa. Lalu muncullah Star Wars, yang diakuinya banyak terinspirasi dari The Hidden Fortress karya Akira Kurosawa. Di luar dugaan, Star Wars menuai sukses besar dengan menjadi film berpendapatan tertinggi saat itu. Fox yang kala itu terkesan dengan kesuksesan American Graffiti dan Star Wars, menawarkan Lucas angka 150 ribu dollar untuk menggarap sekuel Star Wars. Namun ia menolak dan memilih untuk bernegosiasi tentang hak kepemilikan dari lisensi dan juga merchandise Star Wars. Fox pun akhirnya menyetujuinya. Ternyata Lucas berhasil memanfaatkan hal tersebut dengan bijak. Pihak Lucasfilm pada akhirnya berhasil meraup jutaan dollar dari lisensi mainan, video game, dan segala barang koleksi yang dibuat untuk franchise Star Wars. Namun setelah Star Wars rilis, dia memasuki masa hiatus sebagai sutradara dan fokus sebagai penulis atau produser, termasuk spinoff Star Wars untuk film, televisi, dan media lainnya. Hal ini faktanya tetap menjaga kesuksesan seorang George Lucas, salah satunya adalah Body Heat (1981), Labyrinth (1986), The Land Before Time (1988), dan proyek bersama Steven Spielberg, Indiana Jones, yang keempat filmnya ditulis langsung oleh Lucas. Namun bukan berarti dia tak mengalami kegagalan. Toh, nyatanya ada beberapa film yang gagal menuai kesuksesan seperti More American Graffiti (1979), Tucker: The Man and His Dream (1988), dan Howard the Duck (1986) yang disebut-sebut sebagai kegagalan terbesar Lucasfilm. Setelah menuai berbagai ketidakberuntungan, Lucas akhirnya memutuskan untuk kembali turun tangan sebagai sutradara. Dia pun membuat trilogi prequel film Star Wars, yang dimulai pada 1999. Meski prequel tersebut menuai pujian dan kritik, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ketiga film tersebut menuai keuntungan yang besar. Dia pun kembali menulis untuk Indiana Jones, yang bertajuk Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull (2008). Pada 2012, Lucas menyatakan ingin mundur dari pembuatan film-film blockbuster dan memilih untuk memfokuskan kembali kariernya pada film-film independen. Di tahun yang sama, ia juga menunjuk Kathleen Kennedy sebagai tangan kanannya, dan akhirnya Lucasfilm pun dijual ke Disney. Sejak 2014, Lucas sudah berada di masa semi pensiun sebagai sineas. Dia pun hanya bekerja sebagai konsultan kreatif tentang franchise Star Wars dan Indiana Jones. Selain Star Wars dan Indiana Jones, ada satu hal yang hadir berkat Lucas, yaitu Pixar. Pada awalnya Pixar adalah salah satu divisi komputer di Lucasfilm. Namun grup tersebut dibeli oleh Steve Jobs pada 1986 dengan mahar 5 juta dollar. Kala itu memang Lucas ingin menghentikan kerugian yang mencapai 7 juta dollar akibat riset untuk teknologi yang dikembangkan. Atau lebih tepatnya Lucasfilm memilih untuk fokus pada produk hiburan ketimbang teknologi. Beruntung memang di dunia ini ada George Lucas. Seseorang yang berhasil menerjemahkan idealismenya ke dalam kreativitas dan membawanya ke dalam kesuksesan besar. Ya, sampai kapan pun baik Star Wars dan Indiana Jones akan tetap menjadi sejarah penting dalam dunia perfilman. - Kutu Kasur Sutradara: John Lee Hancock
Penulis: Robert D. Siegel Pemeran: Michael Keaton, Nick Offerman, John Carroll Lynch, Patrick Wilson, dan Laura Dern Genre: Drama, Biografi Durasi: 115 Menit Salah satu film underrated tahun 2016 lalu yang kurang mendapat apresiasi dan tidak menghasilkan pendapatan yang baik dalam bioskop. Saya pun sempat heran padahal film periodik biografi tentang Mcdonald's pasti banyak orang yang akan menonton. Michael Keaton pun bersinar dengan baik dalam film ini dan salah satu performa terbaiknya setelah film Birdman (2014). Entah kenapa, begitu selesai menonton film ini saya langsung berpikir "Gw harus beli McDonald's habis ini!" Bila Kawan Kutu sempat tahu sejarah McDonald's, pasti sempat mendengar nama Ray Kroc, yang diceritakan sebagai protagonis film ini dan dibintangi oleh Michael Keaton). Namun setelah selesai menonton The Founder, pasti Kawan Kutu akan terkejut dengan sejarah "sebenarnya" dari McDonald's. Bagaimana peran Ray Kroc sangat penting dalam sejarah dan kemajuan McDonald. Perlu diperhatikan, Ray Kroc adalah sosok kunci dalam film ini. Film dibuka dengan adegan Roy Kroc menjual mesin milkshake dan melihat kalau restoran baru McDonald sangat laku dan laris dengan menggunakan "speedy sistem". Sebuah sistem yang menjadi cikal bakal lahirnya istilah "Fast Food". Pertemuan Ray Kroc dengan Dic McDonald's dan Mac McDonald bersaudara dipadu dengan begitu baik. Plot dibawa mengalir dengan semenarik mungkin bahkan dari 30 menit pertama. Seolah kita terus dibawa penasaran dan tidak bisa menebak bagaimana jalan ceritanya. Dari restoran kecil sampai menjadi restoran franchise terbesar yang paling diketahui dan terkenal di seluruh dunia. Film berbudget 25 juta dolar ini juga meningatkan betapa kerasya kompetisi bisnis dan ketatnya persaingan. Saya pun sangat mengagumi kutipan Ray dalam film ini: "If my competitor were drowning I'd walk over and I'd put a hose right in his mouth." Rating: 8/10 - Kutu Kamar Kabar mengejutkan datang dari salah satu sutradara nyentrik, David Lynch, yang mengungkapkan bahwa dirinya tak akan membuat film lagi. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, saat ditanya mengenai Inland Empire (2006), David Lynch mengindikasikan bahwa film tersebut merupakan feature film terakhirnya, dan juga karena budaya pembuatan film Amerika saat ini,
“Things changed a lot…So many films were not doing well at the box office even though they might have been great films and the things that were doing well at the box office weren’t the things that I would want to do.” David Lynch dikenal dengan gaya filmnya yang surrealist, juga terpadu dengan nuansa misteri dan horor. Sebut saja Eraserhead (1977), The Elephant Man (1980), Blue Velvet (1986), hingga Mulholland Drive (2001). Namun banyak orang percaya bahwa karya terbaik David Lynch adalah ketika dirinya membuat serial Twin Peaks, yang menjad hit di awal 90-an. Setelah lebih kurang 25 Tahun, Twin Peaks akan kembali pada bulan Mei ini dengan tajuk revival, sekaligus melanjutkan cerita dan masih akan dibintangi oleh pemeran aslinya. Jika David Lynch benar, maka lewat serial inilah kita bisa menikmati karya 'terakhir' dari "the most important director of this era." Sumber: Screen Rant - Kutu Butara |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|