[Review] Jilbab Traveler: Love Sparks In Korea; Kisah Picisan Mainstream dengan Penyampaian Indah13/7/2016 Awalnya jujur saya sedikit antipati terhadap film ini, terutama ketika mengetahui ketika film ini (lagi-lagi) adaptasi dari salah satu novel Asma Nadia. Bukan, bukan karena saya sinis terhadap sang penulis, tetapi beberapa film terakhir yang diangkat dari novelnya gagal menunjukkan kualitas yang maksimal.
Ternyata secara mengejutkan film ini berhasil, setidaknya sedikit, menyihir saya untuk menikmati jalinan ceritanya. BCL, Morgan, dan Giring beradu peran dengan sangat baik. Ringgo pun mampu menjadi pe-netral keadaan yang membuat film tetap "segar" dengan dialog "banyolannya". Dipadu dengan setting Korea dan (sedikit) Indonesia yang indah, serta teknik pengambilan gambar di beberapa adegan yang pas, membuat film ini cukup fun untuk diikuti. Namun jalinan cerita yang sudah tertebak sejak awal tentunya menjadi kelemahan tersendiri. Sejak trailer dirilis, bohong kalau ada yang menonton film ini untuk mengetahui endingnya akan seperti apa. Product placement pun(lagi-lagi)menjadi momok bagi saya ketika menyaksikam film Indonesia. Terlebih dalam film, beberapa kali seolah menyempilkan iklan pendek untuk beberapa produk, yang tak jarang merusak ritme cerita. Skrip dialog para pemeran terkadang tidak konsisten dan menggunakan kosakata yang sedikit kurang pas, tetapi semua itu cukup terbantu dengan akting para pemeran serta setting tempatnya. Plot cerita cukup banyak lubang dan melompat-lompat, meski tetap dapat diikuti. Namun kekosongan begitu terasa, dan pikiran "lah mendadak gini" pasti akan tersebar sepanjang film diputar. Secara overall, Jilbab Traveler adalah film yang cukup menyenangkan untuk ditonton. Namun ending ala Rosalinda dan plot yang cukup banyak lubang membuat saya memberi nilai 6 dari 10 untuk skala film Indonesia bagi film ini. Overall: 6/10 - Kutu Klimis
0 Comments
Selesai menyaksikan film ini saya memiliki masing-masing satu kesimpulan dan satu pertanyaan. Satu kesimpulan yang saya tarik yaitu bagaimana kagumnya tim produksi dari film ini beserta seluruh elemen yang terlibat terhadap sosok Bapak Habibie, serta pertanyaan "memang rata-rata film biopik itu selalu menggunakan "Gameshark" untuk sang tokoh dan memilih pilihan "God Mode", ya?".
Oh, saya akan dikutuk dan merutuk bila saya mengatakan film ini film "jelek", karena saya mengamini, film ini adalah film yang sangat baik, namun saya memiliki beberapa ganjalan untuk mengagumi film ini seperti mengagumi film "Habibie & Ainun". Berbeda dari film Habibie & Ainun, film ini mengambil setting sebelum Bapak Habibie bertemu Ibu Ainun dan menabsihkan diri menjadi Romeo-Juliet versi Indonesia, film ini berkisah mengenai perjuangan Bapak Habibie ketika masa mudanya menuntut pendidikan di Jerman. Catatan saya untuk film ini adalah, saya melihat penggambaran sosok Bapak Habibie yang amat dominan, terlepas dari inti cerita yang memang menceritakan perjalanan hidupnya. Cerita "jatuh bangun" Pak Habibie disini di satu sisi seolah terlalu didramatisir dan terlalu disisipi percakapan yang cheesy, namun di sisi lain mencoba untuk menggambarkan fakta nyata. Pada akhirnya saya kurang merasakan kejujuran yang saya rasakan ketika menyaksikan Habibie & Ainun. Selain itu Bapak Habibie digambarkan sebagai sosok tegas namun disisi lain "kurang berempati". Sosok yang pantang menyerah tapi disisi lain rentan "pecah". Tetapi di atas itu semua, Pak Habibie digambarkan terlalu luar biasa disini. Memang ada beberapa momen "kegoyahan", namun semuanya selesai dengan "indah". Tentu saja saya tahu, Pak Habibie adalah seorang yang luar biasa dan dalam perjalanan hidupnya pasti banyak jatuh bangun yang sudah ia lewati, namun bila meminjam istilah Raditya Dika dalam film "Koala Kumal", saya tidak melihat "patah hati luar biasa" Pak Habibie dalam film ini. Bukan dalam artian cinta, tapi dalam segala problematika. Namun dari segi akting sudah tidak bisa saya pungkiri lagi bahwa Reza Rahadian tentu akan kembali masuk dalam nominator "Pemeran Utama Pria Terbaik" dalam FFI mendatang. Aktingnya sebagai Pak Habibie saya rasa membuat sang tokoh pun bangga melihatnya. Seluruh pemeran pendukung turut menampilkan akting yang prima. Pandji, Ernest, Boris, Chelsea Islan, semuanya menampilkan penampilan yang amat baik. Sinematografi serta warna film pun begitu pas dengan setting cerita, sehingga membuat mata dapat menikmati setiap detik adegan. Saya hanya menyayangkan penambahan CGI yang sangat buruk untuk film "sekelas" ini. Alur cerita yang bercampur maju-mundur pun dirunut secara rapi meskipun di 3/4 akhir terasa sedikit kehilangan jejak. Catatan saya untuk skrip, dari beberapa film Hanung yang saya ikuti, terlihat beberapa pesan "menonjol" yang selalu saya tangkap, dimana Hanung(hampir)selalu menyelipkan bahasan "nasionalisme" dan "pluralisme" dalam film arahannya. Entah ini baik atau buruk, tergantung dari kaca mata mana penonton melihatnya. Pada akhirnya saya memiliki 2 skor untuk film ini. Untuk keutuhan film dimana saya tidak melihat film ini sebagai film "based on true story" , saya memberikan nilai 7,5 dari 10 untuk keseluruhan. Namun sebagai biopik, film ini hanya mendapat nilai 6 dari saya, karena penyampaian karakter yang terlalu berlebihan sehingga terkesan kurang jujur dan apa adanya. Namun terlepas dari itu semua, kita dapat memetik satu pelajaran berharga, dimana seorang jenius seperti Bapak Habibie, pernah merelakan tawaran cuma-cuma menjadi warga negara Jerman demi mempertahankan Indonesia-nya. Sudahkah kita memberi lebih untuk bangsa kita? P.S : Film ini (surprisingly) memiliki after credit. - Kutu Klimis Film 'Gambit' yang akan dibintangi oleh Channing Tatum ini memang telah direncanakan dalam waktu yang cukup lama. Namun pelaksanaannya beberapa kali menemui hambatan sehingga film ini harus tertunda lebih lama lagi.
Meski begitu, kali ini 'Gambit' sedikit memiliki titik terang setelah produser Simon Kinberg memberikan pernyataan yang cukup melegakan. "Kita punya naskah yang bagus dan semoga bisa memulai shooting pada awal -atau saat musim semi- tahun depan", ucapnya saat diwawancara di Saturn Awards 2016 lalu. Film ini sebenarnya dijadwalkan untuk rilis di 2016, tetapi ada pergantian di kursi sutradara yang berpindah ke Doug Liman dari Rupert Wyatt. Pada akhirnya, 'Gambit' ditunda hingga waktu yang tak ditentukan. Saat diwawancara, Kinberg juga menyatakan bahwa 'Deadpool 2' akan memulai proses shooting di awal 2017, dan ia juga akan menulis proyek film 'X-Men' terbaru. Selain itu, Kinberg juga membenarkan tentang rencana tentang film superhero lainnya, meski belum diketahui siapa karakter yang dimaksud. Sumber: indiewire.com - Kutu Kasur Film yang mengambil judul dengan inspirasi dari tulisan mengharukan seorang pramugari korban kecelakaan pesawat salah satu maskapai beberapa waktu lalu pada secarik kertas ini, membuat saya menangis dan menarik nafas dalam-dalam.
Tapi sayangnya bukan karena terharu, tetapi karena saya merasa membuang percuma 90 menit saya dalam bioskop serta 50.000 saya untuk tiket. Film ini adalah tipe film dimana bila refund untuk film bisa dilakukan, akan saya lakukan. Warna dari film ini tidak ubahnya dengan warna sebuah FTV di salah satu stasiun televisi, namun perbedaannya, ini diambil dengan kamera yang (mungkin) lebih baik. Script dan cerita yang ditawarkan terlalu picisan dengan akting berlebihan dari para pemerannya. Saya tidak memiliki banyak kata untuk film ini karena sejujurnya saya pribadi kurang menyaksikan dengan seksama. Memang pemandangan laut serta beberapa spot yang ditampilkan dalam film ini ada yang saya acungi jempol, namun tidak serta merta mampu menaikkan penilaian saya disini, karena saya hadir di studio untuk menonton sebuah film, bukan untuk melihat profil Instagram seorang backpacker. Bahkan untuk ukuran Film Indonesia, bagi saya film ini mendapat nilai 3 dari 10. Overall: 3/10 - Kutu Klimis Alfred: "Master Bruce, why do we fall?"
Bruce: "So we can pick ourselves up again" Penggalan percakapan antara Alfred Pennyworth dan Bruce Wayne dalam film The Dark Knight seolah menjadi gambaran "perjuangan" seorang Raditya Dika dalam karier perfilmannya. Ya, Raditya Dika bukan Bruce Wayne, Alfred Pennyworth pun tidak ada di dalam rumahnya untuk membuat percakapan seperti itu dengannya. Namun percakapan tersebut menggambarkan perjuangan Raditya Dika dalam belajar dan menambal segala kekurangannya. Memang film-film terdahulunya pun tidak bisa dikatakan gagal secara pasar, namun dari segi kualitas, bagi saya pribadi, masih belum mumpuni. Terutama film Single, yang meskipun berhasil menyedot penonton menyentuh 7 angka sebelum koma, masih kurang berkesan. Bila diibaratkan, perjalanan karier film Raditya Dika seperti Caterpie yang berevolusi menjadi Metapod dalam beberapa waktu, kini akhirnya sukses menjadi Butterfree dalam film Koala Kumal. Dari seluruh film Raditya Dika, film ini adalah film paling rapi dari segi plot dan alur cerita. Tidak ada "eksperimen nekat" untuk membuat "wow moment" yang menjadi bumerang. Penuturan cerita dilakukan dengan amat berstruktur sehingga penonton tidak akan kehilangan arah ketika menonton. Kembali merangkap menjadi "man in a spotlight" dengan meraup kursi sutradara, penulis skenario, dan pemeran utama, Radit mampu berbagi peran dengan amat baik. Memang sepertinya film ini menyasar target penonton "remaja baru mimpi basah" hingga "anak tanggung pemuja cinta", namun ia mampu memposisikan cerita hingga dapat dinikmati semua usia, meskipun jujur saya merasa film ini sedikit cheesy dan membosankan di tengah cerita. Namun bagi saya Radit melakukan pekerjaan yang luar biasa mengingat ia "sedikit rakus" dalam keterlibatannya dalam film ini. Film ini pun menjadi gambaran tentang betapa detailnya seorang Raditya Dika dalam menyusun sebuah set adegan. Posisi bangku, pergerakan extras, aksesoris pemeran, hingga penempatan makanan dan suasana setting dibuat sedemikian rupa sehingga mampu membuat film ini sangat nyaman dinikmati mata. Tone dari filmnya pun amat sangat baik dan memanjakan mata. Tidak percuma rasanya melakukan prosesnya di Bangkok. Akting dari (hampir seluruh) pemerannya amat maksimal dan mampu membawa suasana, sehingga dapat membuat penonton merasa terlibat di dalamnya. Namun tentu saja, tidak ada gading yang tidak retak. Retakan dari film ini terdapat pada "pakem" Raditya Dika dalam menyusun sebuah script. Mungkin karena basicnya yang juga seorang stand up comedian, Radit seolah berpegang pada urutan "premis-punchline" serta menggunakan beberapa "call back" untuk mengundang tawa. Penyusunan ini memang terlihat semakin matang dalam Koala Kumal, namun seolah menurunkan "tensi" di tengah film, dimana arah film sempat menjadi membosankan. Product placement yang ia lakukan pun terlalu "mengganggu". Ini membuat studio terpecah dalam pendapat "hahaha ada iklan" dan "njir, gajelas banget ini", di mana saya berada pada pihak kedua. Scene yang dibuat seolah "terlalu ngiklan" dan menunjukkan seakan-akan Radit memiliki "hutang besar" pada produk tersebut sehingga memiliki keharusan untuk menyelipkan produk tersebut dalam filmnya. Akting dari Sheryl Sheinafia surprisingly amat menghibur. Fresh dan "luwes". Sedikit mengejutkan karena ini merupakan film pertamanya sebagai pemeran utama wanita. Soundtrack buatannya berjudul "Kedua Kalinya" pun memiliki aransemen dan lirik yang baik dan tidak terkesan picisan. Namun kembali lagi, dibalik semua peningkatan "skill" nya, Radit masih belum mampu "keluar" dari comfort zone dalam membuat film. Film ini merupakan film baru dengan rasa lama, dimana Radit mengeksploitasi percintaan remaja, patah hati, dan jomblo sebagai "senjata utamanya". Untuk penggemar Radit sendiri, mungkin film ini sempurna, namun bagi saya film ini "hanya" film yang baik, dinilai dari kerapihan alur, keterkaitan jalan cerita, dan warna film. Bagi saya pribadi, saya merasa film ini kehilangan sentuhan di pertengahan cerita, namun sudah sangat baik dibanding film-film terdahulu. Namun alangkah lebih baik bila kedepannya Radit berhenti memberi image dirinya yang "polos", "bloon", "culun", "planga-plongo" tentang cinta dalam tokoh "Dika" di filmnya. Terlebih dalam kehidupan nyata ia merupakan kebalikan dari tokoh yang ia perankan, dimana ia tidak jomblo, dan tidak "bloon". Sejujurnya film ini memiliki skor 6, namun saya tidak bisa memungkiri bahwa elemen pendukung yang menyusun keutuhan film ini cukup solid, sehingga 7 dari 10(untuk skala film Indonesia)merupakan angka yang cukup bagi saya. Mungkin kedepannya pun, Radit harus mencari ramuan lain untuk diberikan pada khalayak, karena kehidupan remaja bukan melulu perkara cinta. Overall: 7/10 - Kutu Klimis |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|