Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Penulis: Jenny Jusuf, Irfan Ramly, Angga Dwimas Sasongko Pemeran: Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Luna Maya, Nadine Alexandra, dan Tio Pakusadewo Genre: Drama Durasi: 108 menit Salah satu alasan yang membuat film Filosofi Kopi disukai banyak orang adalah materi yang disajikannya. Ya tak sekadar pembahasan yang berkaitan dengan kopi saja, tetapi juga bagaimana film itu mengungkit tentang mimpi dan cita-cita dua pria yang bersahabat sejak lama, Ben dan Jody. Sepertinya kita memang harus berterima kasih pada Dewi Dee Lestari yang telah menghadirkan kisah Filosofi Kopi. Karena menurut saya, karakter Ben dan Jody bagaikan bahan baku dengan kualitas baik yang siap diolah dan disajikan lewat berbagai cara. Kasarnya hanya tinggal menambahkan sedikit bumbu saja, bahan ini bisa langsung disantap dan tetap meninggalkan rasa yang enak walau tak sempurna. Jadi, wajar halnya jika Angga Sasongko ingin mengeksplorasi karakter Ben dan Jody lebih jauh lagi. Yang ia perlukan hanya memilih bumbu dan meraciknya sedemikian rupa sesuai selera. Apalagi di sekuel Filosofi Kopi ini dia kembali bekerja sama dengan Jenny Yusuf dan Irfan Ramly, dua penulis yang tak perlu diragukan lagi kemampuannya. Sejak film pertama, karakter Ben dan Jody telah digambarkan dengan jelas. Dilihat dari luarnya memang sederhana, Ben (Chicco Jerikho) adalah orang yang idealis sedangkan Jody (Rio Dewanto) lebih realistis. Dua karakter yang memang cocok untuk dipasangkan, keduanya akan saling melengkapi kelemahan masing-masing. Nah di film yang kedua ini, karakter mereka dieksplorasi lebih dalam lagi. Salah satu caranya adalah membumbuinya dengan berbagai konflik. Sejujurnya saya suka dengan pendekatan para penulis mengenai konflik yang dihadirkan. Karena konflik yang diangkat memang dekat dengan kenyataan. Ya sebutlah tentang masalah karyawan, investor, hingga keluarga. Masalah yang biasa hadir di kehidupan sehari-hari, khususnya para pengusaha. Namun mengingat yang ada di Filosofi Kopi 2 lebih banyak konflik eksternal, tentunya karakter-karakter di luar Ben dan Jody akan berpengaruh. Untuk mendukungnya, para penulis menghadirkan dua sosok baru, Tarra (Luna Maya) dan Brie (Nadine Alexandra). Dengan hadirnya dua wanita artinya akan ada satu potensi konflik yang diselipkan para penulis, yaitu tentang asmara. Tapi tenang saja, romansa di film ini tidak terlihat membosankan seperti cinta segitiga ala film-filmnya Asep Kusdinar, juga tak semanis drama-drama korea, atau sedalam kisah Toru Watanabe di Norwegian Wood-nya Haruki Murakami. Ya, kisah cinta di Filosofi Kopi 2 ini masih bisa dinikmati dan tak terkesan berlebihan. Baik Tarra dan Brie memiliki karakter yang berbeda, dan hal ini jelas tergambarkan di sepanjang film. Kesamaan yang ada dalam diri mereka hanya ketertarikan pada kedai Filosofi Kopi. Tarra ini ibaratnya gabungan koleris dan plegmatis, tipe orang yang mandiri tapi punya ambisi dan tekad besar dalam menggapai apa yang diinginkan. Sedangkan Brie terlihat lebih melankolis dan straight-forward, tipe yang agak kaku dalam berkomunikasi tetapi suka memperhatikan berbagai detail. Tentunya dua karakter tersebut memberi perbedaan dan warna baru di Filosofi Kopi. Alhasil cerita di film ini terasa jauh lebih segar dan kompleks dibanding yang sebelumnya. Pemilihan dan penempatan musik latar juga pantas menuai pujian. Dengan deretan berbagai lagu dari band-band indie, Filosofi Kopi 2 semakin terasa berbeda dibanding film-film Indonesia lainnya. Namun tetap ada kok score melengking dan menyayat khas film Indonesia, yang tujuannya untuk mendramatisir adegan sedih. Satu hal menarik adalah latar tempat Filosofi Kopi 2 tak melulu berada di Jakarta. Namun ada juga beberapa adegan yang diambil di Yogyakarta, Makassar, dan kota lainnya. Jarang-jarang saya melihat film Indonesia yang memiliki adegan menyetir sembari disinari matahari dengan latar hamparan sawah. Namun sayangnya cerita Filosofi Kopi 2 masih terdapat lubang di beberapa tempat. Seperti kenapa Jody tertarik untuk mengajak Brie menjadi ‘barista’. Atau di tengah-tengah ketegangan antara Ben dan Jody, tiba-tiba mereka sudah bertemu dan berbaikan. Juga asal-usul kekayaan Tarra yang diakui hanya diraihnya dari kerja keras selama beberapa tahun. Meski semuanya masih bisa diterima, tetapi cukup membuat saya agak terganggu di tengah-tengah film. Secara keseluruhan, Filosofi Kopi 2: Ben dan Jody adalah film yang bagus. Dari segi penulisan cerita, pemilihan para aktor, serta berbagai elemen lainnya saya rasa film ini harus dicontoh para sineas lainnya. Namun jika ditanya apakah ini film terbaik Angga Sasongko? Saya rasa tidak, dan jangan sampai terjadi. Karena sebagai penggemar, saya ingin melihat seorang Angga Sasongko terus berkembang. Rating: 7.5/10 - Kutu Kasur
0 Comments
Sutradara: Joe Watts Penulis: Jonathan Goldstein, John Francis Daley, Jon Watts, Christoper Ford, Chris McKenna, Erik Sommers Pemeran: Tom Holland, Michael Keaton, Jon Favreau, Zendaya, Donald Glover, Tyne Daly, Marisa Tomei, Robert Downey Jr. Genre: Superheroes, Action, Fantasy Durasi: 130 menit "Tapi-tetapi/te·ta·pi/ p kata penghubung intrakalimat untuk menyatakan hal yang bertentangan atau tidak selaras." Ada apa dengan "tapi-tetapi" hingga artinya berdasarkan KBBI mejeng menjadi judul serta kalimat pembuka review ini? Oh ya untuk yang bingung, "tapi" dan "tetapi" memiliki arti yang sama, hanya saja penggunaannya yang berbeda. Biasanya "tapi" digunakan untuk kalimat bertentangan yang pendek, dan sebaliknya, “tetapi” digunakan untuk kalimat bertentangan yang panjang. Sebagai contoh, "Spider-Man: Homecoming bagus, tapi gue lebih suka Spider-man yang jadul" atau "Sosok Peter Parker /Spider-Man yang digambarkan oleh Tobey Maguire merupakan perwujudan karakter yang cukup dalam danmemberikan pandangan lain tentang personal seorang superhero, tetapi sosok Peter/Spider-Man yang digambarkan Tom Holland di Spider-Man: Homecoming merupakan perwujudan karakter Spiderman paling konkrit dari komiknya." Kata “tapi” juga seolah menjadi sesuatu yang terkadang mengawali sebuah permusuhan atau munculnya rasa jengkel. Selain karena menjadi satu kata sambung untuk membandingkan, “tapi” juga dapat menggambarkan rasa tidak puas seseorang akan sesuatu. Hingga kini kita menghabiskan 24 jam setiap harinya, sudah berapa “tapi” yang kita terima? "Ganteng ya, tapi miskin", "Cerdas ya, tapi bukan sarjana", "Wiih mapan tuh, tapi jomblo", dan berbagai “tapi” lainnya. Jadi apakah sudah menangkap mengapa saya sok tahu memberikan 3 menit kelas bahasa (yang belum tentu tepat) untuk memulai review ini? Ya, Spider-Man: Homecoming menjadi film yang membuat saya berdiri di area abu-abu. Mengajak saya untuk menjadi orang sotoy yang akan menggunakan banyak tapi untuk film ini. "Saya menyukai tone-nya, tapi kemudian sedikit mengantuk karena temponya," dan “Saya mengagumi Peter Parkernya, tapi terganggu oleh Tony (yang dalam promo seolah akan mendapat porsi banyak dalam film ini namun fakta berbanding terbalik)," adalah 2 tambahan kalimat selain dari contoh yang saya berikan di awal. Memang sejujurnya film ini merupakan breathe of fresh air sebagai reboot dari The Amazing Spider-Man, yang membuat the most charming Peter Parker dalam sosok Andrew Garfield harus rela memberikan tongkat estafet kepada Tom Holland, tetapi ada beberapa hal dari film ini yang bagi saya, dieksekusi secara kurang maksimal. Penggambaran sosok Peter Parker yang memasuki Sophomore year, di mana ia masih berusia 15-16 tahun dan duduk di bangku SMA, membuat seluruh film Spider-Man yang pernah kita saksikan terhapus seluruhnya. Adegan ikonik "gigitan laba-laba" dan "kematian Uncle Ben" tak akan kita dapatkan lagi di sini. Dapat dikatakan Spider-Man: Homecoming merupakan film Spider-Man paling ringan dan fun, tanpa drama tangisan lebay, terutama dari sosok Aunt May. Oh Dear Lord, Marisa Tomei betul-betul membuat karakter Aunt May berubah di sini. Tetapi, apalah artinya Spider-Man tanpa sebuah drama, bukan? Hal itu pula yang sejujurnya saya rindukan di sini. Memang dengan latar usia seorang Peter, drama apa yang dapat disajikan selain drama sekolahan, di mana ia harus menghadapi dillema untuk memilih masa sekolahnya atau keinginannya menjadi seorang Spider-Man. Namun kemudian saya merindukan adegan haru biru Tobey ketika harus merelakan pertunjukkan MJ demi menghentikan perampokan, atau ketika sosok Peter dalam Andrew Garfield merelakan Gwen Stacy untuk melindunginya. Juga ketika Tobey menaiki motor butut yang hancur ditabrak truk, atau Andrew yang dalam beberapa adegan terlihat menghadapi kesulitan keuangan, dimana untuk Peter dalam Homecoming, dengan mudahnya berkata "I need a new backpack". Memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun Sosok Peter dan Spiderman sebelumnya terbentuk menjadi sosok yang dapat kita ambil pelajaran, di mana di dalam setiap kesusahan yang dialami Peter, Spider-Man akan selalu siap menjadi pahlawan dan membantu orang lain. Selain itu dari segi cerita, meskipun saya amini bahwa Homecoming cukup well written, yang juga membuat pembentukan karakter Vulture yang diperankan dengan prima oleh Michael Keaton sebagai villain yang dapat dimaklumi penonton, bagi saya jalinan cerita film ini berakhir dengan antiklimaks. Ada yang kurang dari film dengan durasi 130 menit ini. Salah satu highlight dalam film ini tentunya adalah Spider Suit, dimana saya cukup menyukai Spider Suit versi Homecoming. Meskipun sejujurnya saya tetap menyukai suit handmade Peter yang dijahit sendiri (di film ini terlihat cukup modis), dan merasa kostum di sini terlalu tech-y, tetapi kostum di Homecoming (terutama 1 kostum kejutan) merupakan sesuatu yang patut diapresasi. Dari segi casting, Tom Holland, Marisa Tomei, dan Michael Keaton saya rasa juga menjadi highlight tersendiri. Ketiganya tampil dengan kualitas yang patut diacungi jempol. Jon Watts yang duduk di kursi sutradara pun mampu menyusun film ini dan memberikan unsur humor yang pas dengan karakter Spider-Man. Skrip yang Ia susun bersama Jonathan Goldstein, John Francis Daley, Christopher Ford, Chris McKenna, dan Erik Sommers cukup detail meskipun terlalu bertele-tele di awal. Sayangnya ketika twist yang diberikan di 3/4 akhir film sudah cukup meningkatkan tensi, penutupannya terasa antiklimaks. Namun the grand ultimate dissapoinment dan hal yang paling saya kritik untuk Homecoming adalah bagaimana cara tim produksi "melukai" karakter Peter Parker. Bagi saya Peter merupakan sosok ikonik dan memiliki jalannya sendiri, di sini dia seolah menjadi attention whore agar dianggap oleh sosok Tony Stark. Nama terakhir yang saya sebutkan pun saya rasa terlalu dipromosikan secara berlebihan. Meskipun memainkan peran cukup sentral, namun Tony sejujurnya tidak sepantas itu untuk ditampilkan dalam poster, diulang-ulang dalam promo, bahkan seolah menjadi "safety net" bagi film ini. Padahal tanpa sosok Iron Man pun bagi saya Spidey mampu berdiri sendiri. Kepentingan bisnis memang di atas segalanya. Pada akhirnya Spider-Man: Homecoming tetap menjadi film layak tonton, yang juga aman untuk ditonton anak-anak dalam pengawasan orang tua. Meskipun bagi saya ada yang kurang dari film ini, dimana "babak pertama" film cukup membosankan dan sisanya naik-turun, ditambah rasa kurang puas terhadap Spiderman yang saya rasa hanya menjadi filler untuk semesta Marvel, film ini tetap sebuah film yang rapi serta ditulis dengan baik. Tetapi dari seluruh tulisan ini, saya tetap setuju pada kalimat Kirsten Dunst dalam sebuah wawancara:
"We made the best ones, so who cares? I'm like, 'You make it all you want.' They're just milking that cow for money." But still, it's a good start for the franchise. Good for business. Saya sebetulnya sudah bingung menentukan sebuah film dengan scoring angka. Film ini pun sejujurnya merupakan film dengan angka 8 ke atas. Tetapi bagi saya mungkin ada di kisaran 6.8-7 karena eksekusi promosi yang buruk, serta kesan yang kurang mendalam. Catatan: Ada 2 after credit scene. Tunggu sampai credit title habis ya. -Kutu Klimis England is Mine adalah film biografi Steven Patrick Morrissey yang berfokus pada kehidupannya di tahun 1970-an. Lebih tepatnya sebelum Morrissey memulai kariernya bersama The Smiths di 1980-an.
Film tersebut melakukan debut penayangannya di Edinburgh Film Festival beberapa hari lalu. Sayangnya, film ini menuai kritikan yang cukup tajam dari salah satu rekan Morrissey, James Maker. James adalah teman kecil Morrissey yang juga pernah bekerja sama dengan Moz di berbagai proyek. Dia bahkan mengatakan bahwa film tersebut merupakan sebuah "fiksi historis". Berikut adalah pernyataannya yang diambil dari laman Facebook James Maker: Statement: ‘ENGLAND IS MINE’ (film) According to the trailer of ‘England Is Mine’, Morrissey was an autistic, retiring creature with both curly hair and a natural crimp, who had to be physically pushed into becoming a singer by a well-meaning friend (one who did not actually communicate with Morrissey throughout The Smiths’ success) . Worse, they have put him in a green duffle coat and given him not one line of the Morrissyean wit we have all come to know. It is not a biopic, but historical fiction. A strange move, considering that those formative years have been so abundantly well-documented. I knew him then, and I knew the house at 384 Kings Road. Morrissey’s mother should sue the filmmakers on their misrepresentation of her curtaining, alone. But the fact is, this is not Morrissey. The premise that if Morrissey could be a singer, then anybody could, is disingenuous, and rather insulting to his original talent as an artist. At the time, and previous to the formation of The Smiths, Morrissey had very few close friends. This is documented in Morrissey’s memoir, ‘Autobiography’, and my memoir, ‘AutoFellatio’. I do not appear in the film, and characters who did not exist in real life are invented by the film-makers. I am relieved not to be included, because if they can portray the protagonist as a person with crimped hair who relies upon guiding hands on shoulders, to thrust him through life’s revolving doors, then I am merely someone who, miraculously, managed to venture further than the ‘NO BALL GAMES’ sign posted adjacent to my bedroom window. England is Mine dibintangi oleh Jack Lowden, Jessica Findlay, Jodie Comer, Laune Kynaston, dan Peter McDonald. Film yang disutradarai oleh Mark Gill rencananya akan dirilis mulai 4 Agustus di UK. Sumber: The Hollywood Reporter - Kutu Kasur Annete Bening, aktris peraih empat nominasi Oscar, telah ditetapkan untuk memimpin ajang Venice Film Festival yang ke-74. Bening juga menjadi pimpinan wanita pertama sejak 11 tahun, yang berturut-turut dipimpin oleh juri pria.
Terakhir kali sosok wanita yang memimpin Venice adalah Catherine Deneuve, aktris yang pernah meraih nominasi Oscar lewati film Indochine (1992), pada 2006 lalu. Annette menjadi wanita keenam yang pernah memimpin festival film tertua ini, sebelumnya ada Suso Cecchi D'Amico (1980), Sabine Azéma (1987), Jane Campion (1997), dan Gong Li (2002). "Saya merasa terhormat diminta menjadi presiden juri di Venice Film Festival tahun ini," ungkap Bening. "Saya berharap untuk segera bekerja dengan rekan-rekan juri untuk merayakan film-film terbaik dari seluruh dunia." Dalam beberapa tahun ke belakang, Venice menjadi salah satu festival yang penting. Berbagai film yang hadir di ajang ini seringkali berakhir dengan raihan Oscar, termasuk Gravity (2013), Birdman (2014), Spotlight (2015), dan La La Land. Sebagai aktris, Annette secara total telah meraih 50 penghargaan dan 109 nominasi. Dia Namun hingga kini, dia belum pernah memenangkan Oscar. Sebelumnya dia menjadi nominasi lewat film The Grifters (1990), American Beauty (1999), Being Julia (2004), dan The Kids Are All Right (2010). Bening juga masih aktif sebagai aktris. Di tahun ini, telah dipastikan dia akan berlaga di The Seagull dan Film Stars Don't Die in Liverpool. Selain itu, dia akan hadir di serial American Crime Story dan film Life Itself pada tahun depan. Ajang Venice Film Festival akan diselenggarakan pada 30 Agustus hingga 9 September. Sedangkan deretan film yang hadir akan diumumkan pada 27 Juli. Sumber: Variety - Kutu Kasur Sutradara: James Mangold
Penulis: Halsted Welles, Michael Brandt, Derek Haas Pemeran: Russell Crowe, Christian Bale, Logan Lerman, Ben Foster, Gretchen Mol, Peter Fonda Genre: Adventure, Crime, Drama Durasi: 122 Menit Untuk kalian yang merindukan film bernuansa western maupun kamu yang memang menyukai genre ini, 3:10 to Yuma menjadi tidak boleh kalian lewatkan atau bahkan tidak menahuinya. Film yang saya maksud ini merupakan buah karya sutradara James Mangold dan dibintangi sederetan aktor kawakan seperti Russell Crowe, Christian Bale, Peter Fonda, serta tambahan amunisi unsur drama dari Gretchen Mol, Logan Lerman serta Ben Foster. Film ini sendiri merupakan versi remake dari film dengan judul yang sama keluaran tahun 1957. 3:10 to Yuma bercerita tentang sebuah keluarga petani, dimana sang ayah Daniel Evans harus berjuang mencari nafkah ditengah musim kemarau berkepanjangan dan tekanan penagih utang yang mulai melakukan tindakan perusakan. Sang ayah yang diperankan oleh Christian Bale, merupakan veteran perang yang telah kehilangan 1 kakinya. Pada sebuah kesempatan, ia bertemu dengan Ben Wade (Russell Crowe) yang merupakan pemimpin dari sebuah Gang yang baru saja menjarah kereta kuda dipenuhi uang. Singkat Cerita, Ben Wade ditangkap dan sheriff setempat mempekerjakan Dan Evans serta beberapa orang lagi untuk mengawal Ben Wade ke sebuah stasiun, yang setibanya disana, Ben Wade akan diangkut oleh kereta api untuk kemudian menuju penjara. Mendengar kabar bahwa pemimpinnya terciduk pihak berwenang, para anak buah Ben Wade yang mendengar berita tersebut kemudian memutuskan untuk melakukan pengejaran guna membebaskan sang Bos. Film ini bukan hanya menampilkan keseruan dari sebuah petualangan a la western, namun juga menyajikan banyak intrik serta drama yang membuat 3:10 to Yuma semakin menarik. Suguhan setting tempat di setiap adegan, interaksi para karakter dengan orang-orang di sekitar, dan bentang alam khas film cowboy, mampu menjadikan 3:10 to Yuma sebagai film adventure yang tak membosankan. Dari sisi akting, Christian Bale yang memang selalu habis-habisan di setiap penampilannya, mampu membuktikan diri dalam memerankan seorang Ayah sekaligus kepala keluarga yang berusaha sekuat tenaga untuk terus menghidupi keluarga serta anak-anaknya ditengah keterbatasan yang ia miliki. Juga Russell Crowe yang mampu menggambarkan seorang penjahat yang manipulatif, cerdas, namun tetap memiliki titik-titik sensitif. Penampilan yang tak diduga-duga justru datang dari Ben Foster yang memerankan “anak buah kesayangan” Ben Wade, dia mampu menjadi sosok caretaker yang menyeramkan dan berdarah dingin ditengah absennya sang pemimpin. Akhir kata, 3:10 to Yuma merupakan sebuah paket lengkap dari sebuah film bertema western, yang bukan hanya penuh dengan petualangan, namun juga hangat dan sarat akan nilai-nilai kehidupan. Rating: 7.9/10 - Kutu Butara |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|