Sutradara: M. Night Shyamalan
Penulis: M. Night Shyamalan Pemeran: James McAvoy, Anya Taylor-Joy, Betty Buckley, Haley Lu Richardson Genre: Horor, Thriller Durasi: 117 Menit Setelah berkali-kali menuai kritikan tajam dari para kritikus film, Sutradara M. Night Shyamalan berhasil comeback dan mendapatkan momentumnya kembali untuk membuat film berkualitas semenjak film terbaiknya, The Sixth Sense (1999). Entah mengapa karier Shyamalan terus menurun dan saya pun sempat skeptis dengan situasi karirnya. Walaupun begitu, pihak studio pun terus memberikan kesempatan kepada Shyamalan (yang membuat saya sempat bingung kenapa, sampai akhirnya saya melihat berapa jumlah pendapatan film yang disutradarainya). Split bercerita tentang seorang pria bernama Kevin (James McAvoy), yang memiliki DID (Dissociative Identity Disorder) dan mengakibatkan dia memiliki 24 kepribadian yang berbeda. Ya, Kawan Kutu tidak salah, 24! Kalau Kawan Kutu pikir dua kepribadian saja sudah cukup unik, ini mungkin jauh lebih unik. Kevin pun menculik ketiga orang gadis remaja untuk "persembahan" kepada kepribadiannya yang ke-24. Untuk memerankan 24 karakter yang berbeda, James Mcavoy dapat membawakan karakternya dengan begitu baik. Dari anak kecil sampai wanita dewasa pun, James seolah-olah menyatu dan benar-benar memiliki banyak kepribadian. Saya pun kagum dengan kedalaman masing-masing kepribadian yang ditunjukkan, dengan adanya detail ciri khas dari tiap kepribadian. Seperti anak kecil yang mempunyai "lisp" sampai wanita yang terlihat "anggun". Plot pun berjalan penuh tensi dan kita seolah dibuat penasaran untuk melihat hal apa lagi yang akan Kevin lakukan berikutnya. Karakter pendukung yang diperankan oleh Anya Taylor Joy pun cukup baik membawa karakternya sebagai "troubled-outcast-teenager with-horrible-childhood". Ending pun diakhiri dengan baik dan tidak terlalu klise. Yang akan direncanakan akan ada film ketiganya. Oh iya, bila Kawan Kutu tidak tahu, film ini adalah sekuel tematik dari film Unbreakable (2000), film yang juga distrudarai oleh M. Night Shyamalan. Di post credit scene, akan dijelaskan hubungan film ini dengan film Unbreakable. Rating: 8/10 - Kutu Kamar
0 Comments
Sutradara: Bill Condon
Penulis: Stephen Chbosky, Evan Spiliotopoulos Pemeran: Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, Josh Gad, Ewan McGregor Genre: Drama, Fantasi Durasi: 129 Menit Tren film live action Disney tampaknya masih belum berakhir. Setelah Alice in Wonderland, Maleficient, Cinderella, dan The Jungle Book, kali ini giliran Beauty and The Beast. Saya pun sempat berharap lebih dari versi animasinya yang dirils pada tahun 1991. Namun ekspektasi saya langsung pupus seusai menonton film ini. Menceritakan tentang Belle, seorang gadis kutu buku cantik cerdas yang disukai oleh pria egois pujaan wanita, Gaston. Ayah Belle yang tengah dalam perjalanan pulang menuju desanya, tersesat dalam kastil besar yang dihuni oleh seorang "Beast". Beast pun marah saat mengetahui bunganya dicuri dan ia mengurung Ayah Belle dalam penjara. Belle yang khawatir, akhirnya menemukan ayahnya dan menukar posisinya sebagai tawanan Beast. Di sinilah jalinan asmara Belle dan Beast dimulai. Untuk ukuran remake, Disney mencoba bermain aman dengan tidak banyak merubah plot yang sudah ada terlebih dahulu dalam animasinya. Plot hole yang sebelumnya ada dalam film animasinya pun terlihat ditutup dengan baik dalam film ini. Emma Watson, pemeran Belle, seolah kembali memerankan karakter yang sama dalam Harry Potter sebagai Hermione Granger. "A kinda weird smart pretty girl who loves to read books". Animasi CGI pun dibuat dengan rapi. Memang bisa dimaklumi karena bujet film ini cukup besar, yaitu mencapai 160 juta dollar. Sayangnya, tiap karakter dalam film ini dibuat dengan simpel dan sederhana, tidak ada pengembangan karakter. Terutama untuk Gaston, "another-one-dimensional-disney-villain". Hambar. Mungkin Kawan Kutu bingung, kenapa Disney terus membuat live-action film? Jawabannya sederhana. Uang. Rata-rata film live-action Disney berhasil meraup pendapatan di atas 500 juta dollar. Film ini bahkan hampir meraup 1 milyar dollar. Mulan, Dumbo, dan bahkan Lion King pun sudah direncanakan akan dibuat live-action-nya. Semoga kedepannya Disney membuat film lebih baik dari film ini. Rating: 6/10 - Kutu Kamar Sutradara: Rupert Sanders
Penulis: Jamie Moss, Ehren Kruger, dan Willian Wheeler Pemain: Scarlett Johansson, Michael Pitt, Pilou Asbæk, Chin Han, dan Juliette Binoche Durasi: 120 Minutes Genre: Action, Adventure Bagaimana rasanya bila seorang Cristiano Ronaldo harus bersaing dengan Rafael Nadal untuk memperebutkan Grand Slam? Atau seorang koki diserahi pekerjaan sebagai juru mudi kapal selam? Bila keduanya terlalu "menyebrang", mari kita sedikit persempit. Apa rasanya bila Falcao, seorang superstar lapangan futsal, harus menjadi pesepakbola lapangan rumput. Meskipun sama-sama menendang bola dan mengincar gol, tentunya keduanya memiliki aturan dasar dan ukuran lapangan yang berbeda bukan? Begitupun dalam perfilman. Adaptasi bukanlah hal yang selalu dapat dijalankan dengan mulus, meskipun bukan mustahil. Namun dari sekian banyak, adaptasi komik atau anime tentu merupakan tantangan tersendiri. Menghidupkan sebuah karakter, lingkungan, dan imajinasi sang pengarang tentunya bukan hal yang mudah. Namun faktanya, dalam satu dekade terakhir, dunia perfilman seolah ingin membuktikan bahwa teknologi terus berkembang. Suatu hal yang tadinya dianggap mustahil untuk ditampilkan dalam sebuah adegan visual, perlahan mampu dipatahkan. Film-film adaptasi semakin bermunculan, superheroes komik mulai mendapat panggung besar di layar lebar. Tidak hanya di perfilman Hollywood, film-film adaptasi pun banyak dilakukan di Jepang. Terlebih karena di Jepang merupakan pusat dari ratusan, bahkan ribuan judul manga yang tidak cukup untuk disajikan melalui lembaran halaman. Namun menghidupkan sebuah kisah manga menjadi versi live-action (sebutan bagi adaptasi manga ke film), bahkan tidak selalu mendapat sambutan yang hangat di sana. Tidak jarang live action justru mendapatkan tanggapan dingin, karena dianggap tidak memenuhi ekspektasi dari para penggemar manga suatu judul tertentu. Saya sesungguhnya cukup terkejut pada keberanian (atau ke-nekad-an?) Hollywood untuk ikut serta "bergerilya" mencoba menghidupkan kisah manga ke layar lebar. Ketika di Jepang sana, bahkan mereka kesulitan untuk melakukannya. Perbedaan budaya yang mendasar menjadi salah satu kesulitan tersendiri menurut saya. Tentunya sebuah manga ketika dibuat, meskipun temanya universal, tidak akan menanggalkan grassroot dari si pengarang. Dalam hal ini, elemen khas ketimuran pasti akan melekat di sana. Tanpa bermaksud menyinggung SARA dan semacamnya, tentunya sang tokoh utama pun akan amat sangat "berbeda". Inilah yang kemudian memunculkan fenomena istilah "whitewashing" di perfilman Hollywood untuk adaptasi cerita dari luar budaya barat. Apa itu whitewashing? Saya mengartikannya lebih kepada usaha orang Barat mempertahankan "pride" dengan memaksakan karakter bule memerankan karakter oriental. Baik, sekarang kita masuk ke film dari Ghost In The Shell. Seperti biasa, apabila ada film yang mengambil cerita dari sebuah sumber tertulis (baik itu komik maupun novel), saya tidak ingin went blind dan menyaksikan serta menilai dari apa yang disajikan di bioskop. Saya kemudian mencoba membaca beberapa volume komik Ghost In The Shell, memahami karakter-karakternya serta apa cerita yang coba diangkat dari komik tersebut. Meskipun hanya sekilas, saya berhasil mendapatkan sebuah gambaran besar, yang kemudian saya bawa ke dalam studio. Ketika film dimulai, saya cukup terhibur dengan bagaimana film ini mampu menggambarkan latar Section 9, Distrik Niihama (New Port City), yang cukup futuristik dan sesuai penggambaran di komiknya. Animasi serta efek visual dari film ini pun cukup halus dan memanjakan mata. Beberapa adegan saya tangkap mencoba mengaplikasikan yang ada di komik ke dalam realita. Namun kemudian, film yang memusatkan cerita pada karakter yang diperankan oleh Scarlett Johansson ini memiliki tempo yang begitu lambat. Penonton seolah menonton konser band dengan personel yang memiliki dandanan ala KISS tetapi membawakan lagu Payung Teduh. Alur yang berjalan lambat secara pribadi membuat saya tertidur selama hampir 15 menit, nuansa cerita yang sedikit gelap membuat suasana semakin mendukung untuk mata saya untuk terpejam. Penampilan para pemeran di film ini pun bagi saya seolah berusaha diredam demi maksimalnya peran Scar-Jo sebagai pemeran utama. Trio penulis, Jamie Moss, William Wheeler, dan Ehren Kruger pun sepertinya sedikit banyak cukup memperhatikan isu whitewashing. Mereka mencoba merekonstruksi latar belakang dari sang karakter utama menjadi sedikit lebih kompleks, dan berusaha untuk dapat diterima secara universal. Hal ini pun berimbas pada karakter sang Major, yang dalam beberapa chapter saya baca adalah karakter yang ceplas-ceplos di komik, menjadi karakter penuh kebingungan dan tak tahu arah dalam filmnya. ScarJo-sentris di film ini pun cukup saya sayangkan, karena sebetulnya pemeran pendukung yang dihadirkan pun berpotensi mampu memberikan warna dan jalan cerita yang lebih kuat bila dieksplorasi lebih dalam. Nama-nama seperti Takeshi Kitano, sang raja Benteng Takeshi, dan Ng Chin Han yang pernah menjadi pemeran pendukung di film The Dark Knight dan Captain America, hanya diberi adegan pelengkap tanpa eksplorasi lebih jauh. Namun satu hal yang cukup saya kagumi adalah bagaimana Takeshi Kitano tetap memberi elemen Jepang yang kental dengan berbahasa Jepang sepanjang film, meskipun dialognya ditanggapi dengan bahasa Inggris. Scoring dan musik pengiring yang disajikan pun seolah kurang digarap dengan maksimal karena menggiring penonton untuk tertidur ketimbang menikmati adegan. Secara keseluruhan, sejujurnya saya merasa bahwa Ghost In The Shell versi Hollywood ini tidak akan dianggap sebagai fan service atau suatu apresiasi bagi para penggemarnya di Jepang sana. Pun bagi penonton film awam, dibalik halusnya visual dan pesona Scar-Jo, film ini mungkin hanyalah film yang tidak akan terlalu meninggalkan kesan kuat (kecuali baju ketat Scar-Jo yang membuat kesan shirtless). Sekali lagi, live action merupakan sebuah pedang bermata dua. Suatu perjudian panjang. Sayangnya Ghost In The Shell bagi saya berada pada sisi pedang yang menusuk dan merupakan perjudian yang cukup merugikan. Entah dari segi pemasukan nantinya, namun secara keutuhan film, Ghost In The Shell bukanlah sesuatu yang istimewa. Rating: 5/10 - Kutu Klimis Sutradara: Awi Suryadi
Penulis: Lele Laila, Ferry Lesmana Pemain: Prilly Latuconsina, Sandrinna Michelle, Indra Brotolaras, Shareefa Daanish, dan Asha Kenyeri Genre: Horor Durasi: 78 Menit Sebelum berpanjang lebar, film Danur adalah sebuah adaptasi dari buku karangan Risa Saraswati, musisi yang juga gemar menulis. Buku yang berjudul Gerbang Dialog Danur itu bercerita tentang pengalaman supernatural yang dialami Risa sejak ia masih anak-anak. Film ini dibuka dengan lantunan lagu Boneka Abdi. Lagu yang sekaligus berperan sebagai elemen penting dalam keseluruhan cerita Danur. Prilly Latuconsina, yang berperan sebagai Risa, melantunkan lagu ini sembari memainkan piano. Nuansa seram pun langsung terasa saat ia bernyanyi dengan perlahan, sembari meneteskan air mata. Tentang Danur dan Kebutuhan Antagonis Salah satu alasan ketertarikan saya untuk menonton film ini adalah karena kebetulan beberapa tahun lalu pernah membaca buku ‘Danur’. Buku pertama yang ditulis oleh Risa dan terbit pada 2011 lalu. Saya setuju dengan pendapat Soleh Solihun, bahwa ‘Danur’ bukanlah buku misteri namun tetap bisa membuat bulu kuduk merinding. Ketika ada berita tentang pembuatan filmnya pun saya langung jauh-jauh hari bertekad untuk menyaksikannya. Oh ya, kira-kira Kawan Kutu tahu apa arti ‘danur’? Memang kata ini termasuk jarang digunakan dan terkesan asing ya. Menurut pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘danur’ adalah air yang keluar dari bangkai (mayat) yang sudah membusuk. Tentu ‘danur’ bukanlah sebuah kata yang akan dengan mudah muncul di obrolan sehari-hari. Lagipula belum tentu semua orang tahu bentuk atau bau danur itu seperti apa. Jadi ya wajar sepertinya jika kata ini terdengar asing. Bahkan seingat saya, kata tersebut juga jarang digunakan di film-film horor. Mungkin kalau film ini bukan diambil dari bukunya Risa, bisa jadi judulnya tak akan menggunakan kata ‘danur’. Risa menyematkan sebuah kalimat yang merangkum kaitan danur dengan yang ia alami dalam pembuka bukunya. “Ketika penciumanku tertutup sedang mata hati terbuka lebar untuk yang biasa kalian sebut...Hantu.” Dari sini sebenarnya Risa telah memberi tanda bahwa cerita Danur bukanlah seperti pengalaman supernatural pada umumnya. Namun sayangnya, film yang saya saksikan sepertinya agak kesulitan untuk menghadirkan pengalaman supernatural yang “berbeda” a la Risa. Karena jika kalian penggemar film horor, cepat atau lambat akan sadar bahwa film Danur seolah tak ada bedanya dengan cerita film horor lainnya. Masalah ini mungkin hadir karena perbedaan pendekatan dalam mengangkat kisah Risa. Ya, sejujurnya saya juga belum membaca Gerbang Dialog Danur, jadi saya tak tahu persis apa yang ada di dalam buku itu. Agak sulit memang untuk membahasnya. Walau begitu, salah satu kelemahan yang saya rasakan dari film ini adalah mudah tertebaknya jalan cerita. Contohnya seperti kehadiran Mbak Asih yang diperankan oleh Shareefa Danish. Nah, kira-kira apakah kalian tahu karakter yang diperankannya? Ya kasarnya, ketika saya sedang menonton film horor, lalu ada Shareefa Danish, kemungkinan untuk menebak dirinya akan berperan sebagai wanita lemah yang berteriak-teriak, mungkin hampir tidak ada. Hal lainnya adalah permasalahan yang biasa hadir dalam film horor, yaitu lemahnya karakter antagonis. Dalam sebuah cerita, sosok antagonis memang diperlukan. Salah satu fungsinya adalah untuk menghadirkan konflik ke dalam cerita. Nah dalam film horor, peran antagonis tentunya diberikan pada sosok yang menghadirkan rasa takut. Apa pun bentuknya, entah itu hantu, zombie, monster, ataupun seorang pembunuh berantai, dan lain sebagainya. Seperti pada film horor pada umumnya, kemungkinan untuk mengetahui penyebab dan motif si antagonis di awal atau pada pertengahan film tentu sangat kecil. Hal inilah yang menurut saya membuat film Danur menjadi kurang istimewa. Ya hal itu juga salah satu alasan mengapa film horor sulit bersaing dengan film-film drama pada umumnya. Karena ceritanya yang terlihat “tipis”. Saya juga agak kecewa dengan detail yang kurang dimaksimalkan. Contohnya seperti pada awal film, mungkin dari yang sudah menonton tak menyadari latar film ini berada di mana dan waktunya kapan. Hanya tiba-tiba langsung mencoba menakuti penonton dengan adegan ‘Boneka Abdi’. Padahal berbagai detail seperti itu yang menurut saya penting, lagipula film ini juga berdasarkan kisah nyata kan. Meski begitu, sebagai orang yang penakut, menurut saya Danur adalah sebuah film horor yang bagus. Ya sesuai dengan asal-usul horor, yaitu seni yang mengeksploitasi rasa takut para penikmatnya. Danur memang mencekam sepanjang film. Seakan-akan saya ini tak diperbolehkan untuk mengatur nafas sejenak. Dari segi akting, Prilly Latuconsina menampilkan performa yang bagus menurut saya. Dari beberapa adegan ketika dia harus berteriak ketakutan atau menangis pun tak terasa dilebih-lebihkan. Berbeda sedikit dengan apa yang dihadirkannya dalam sinetron. Selain Prilly, pemeran dengan penampilan yang memukai adalah Shareefa Daanish. Ya kalian tahulah alasannya mengapa. Kekecewaan saya sebenarnya dari segi pendekatan cerita yang ditampilkan. Di sini, Peter dan lainnya memang digambarkan dengan baik. Hanya saja kurang dieksplorasi secara lebih mendalam. Karena menurut saya, penggambaran yang dilakukan ketika Risa masih kecil itu sesuatu yang bagus. Memang pada intinya, Risa ini adalah seorang anak yang senang “bermain” dengan makhluk halus. Namun berbeda dengan hantu yang biasa digambarkan di film horor pada umumnya, pengalaman Risa mengenai Peter dkk adalah lebih kepada ikatan persahabatan. Sebuah ikatan yang menembus dimensi dua dunia yang berbeda. Padahal sejak bukunya yang pertama, Risa terbilang berhasil dalam “memanusiakan” hantu melalui tulisannya. Hal itu memang dicoba dalam awal-awal film. Namun sayang, sebuah perbedaan yang membuat cerita Danur istimewa, harus mengalah karena kehadiran Mbak Asih. Secara keseluruhan, menurut saya Danur adalah sebuah karya mencekam yang tanggung dari segi kedalaman cerita. Di satu sisi bisa menyeramkan, di satu sisi kita kebingungan. Kita dibuat kaget berkali-kali sekaligus juga bertanya-tanya di berbagai kesempatan. Rating: 6.5/10 -Kutu Kasur |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|