Sutradara: Lenny Abrahamson Penulis: Emma Donoghue Pemeran: Brie Larson, Jacob Tremblay, Joan Allen, Sean Bridgers, William H. Macy Genre: Drama, Thriller Durasi: 118 min "Survive is only the beginning" adalah tagline dalam Room yang saya rasa sangat cocok mengambarkan film tersebut. Kenapa cocok? Saya tidak akan memberikan informasi secara detail menceritakan tentang apakah film ini dan mengapa tagline tersebut cocok menurut saya. Kawan Kutu cukup browsing di internet untuk tahu tentang sinopsis film tersebut. Yang jelas di saat semua film di bioskop beberapa bulan belakangan ini menceritakan tentang hubungan ayah dan anak, Room menceritakan tentang hubungan Ibu dan anak. Film ini saya klasifikasikan ke dalam film keluarga, sangat cocok ditonton oleh orang tua yang sudah memiliki anak, para remaja yang nantinya akan punya anak, atau remaja yang belum sama sekali kepikiran akan punya anak. Singkatnya, saya merasa nyaman menonton film ini, tanpa ada prasangka-prasangka tebak-tebak buah manggis di sela-sela film berjalan, dan tanpa rasa penasaran yang berlebih, itu tidak ada sama sekali, enak. Ya, enak-enak sajalah menontonnya.
Sedikit trivia, Brie Larson pun dalam memerankan film ini, sempat melakukan eksperimen pendalaman karakter selama 1 bulan dengan sangat total. Eksperimen apa? saya rasa Kawan Kutu tahu kenapa saya tidak menjelaskan perihal ini. Menonton film ini tentunya akan membuka mata kalian terhadap isi dunia, keluarga, dan kenyataan kehidupan yang ada, walau film ini diangkat dari sebuah novel, tapi nyatanya banyak kejadian nyata yang serupa dan sejalur dengan cerita dalam film Room. ps: Before y'all watch Room, please do not browsing anything about it. Rating: 9/10 - Kutu AntMan
0 Comments
Jauh sebelum namanya dikenal banyak orang seperti saat ini, Natalie telah menunjukkan kecintaanya di dunia seni. Dia telah menggeluti seni tari sejak usia 4 tahun, ketika dia dan keluarganya belum lama pindah ke Amerika Serikat. Wanita yang lahir pada 1981 tersebut bahkan pernah menolak saran dari seseorang yang bekerja di Revlon untuk berkarier sebagai model. Seperti yang kita tahu, keputusannya untuk mengejar impian sebagai aktris adalah keputusan yang tepat. Portman melakukan debut filmnya di Léon: The Professional (1994). Melalui performanya di film garapan sutradara Luc Besson tersebut, dia langsung bisa menarik perhatian para penonton dan juga kritikus. Selain debutnya sebagai aktris, film tersebut juga menjadi debut bagi nama “Portman”. Ya, Portman bukanlah nama asli miliknya, melainkan nama yang diambil dari neneknya. Hal itu diakui Natalie untuk melindungi privasi dan identitas keluarganya. Setelah itu, Natalie mulai rutin mendapatkan peran di berbagai film seperti Heat (1995), Everyone Says I Love You (1996), dan Mars Attacks! (1996). Ada hal menarik sejak dia tampil di Beautiful Girls (1996), sejak saat itu dia mulai enggan untuk menerima tawaran yang perannya ia anggap mengeksploitasi seksualitas wanita muda. Dia tak ingin dirinya menjadi “fantasi para pedofil”. Dia menyatakan, "It dictated a lot of my choices afterwards 'cos it scared me...it made me reluctant to do sexy stuff, especially when I was young." Namanya semakin dikenal saat ia berperan sebagai Padmé Amidala di trilogi prekuel Star Wars. Selain itu, dia juga sukses ketika terlibat dalam film Anywhere but Here (2000), yang mengantarkan namanya meraih nominasi aktris pendukung terbaik. Pada tahun 1999, Natalie memutuskan untuk meneruskan studi di Harvard University. Dia pun mengambil keputusan yang cukup berat, dengan memilih untuk vakum dari dunia perfilman selama empat tahun ke depan untuk fokus pada studinya. Natalie hanya melakukan pengecualian pada proyek Star Wars. Portman pun lulus dari Harvard pada 2003 dengan gelar Bachelor of Arts. Meski sempat vakum, Natalie Portman tak kehilangan kemampuannya begitu saja. Dia kembali meraih sukses ketika berperan di film Closer (2004) dan film garapan Wong Kar-wai, My Blueberry Nights (2007). Ia juga meraih banyak pujian dari performanya di V for Vendetta (2005). Natalie pernah menyatakan alasannya menerima tawaran untuk tampil V for Vendetta, “The film doesn't make clear good or bad statements. It respects the audience enough to take away their own opinion." Puncak kesuksesan seorang Natalie Portman hadir kala ia tampil di Black Swan (2010). Demi perannya, Natalie bahkan rela berlatih keras untuk tari balet dan menurunkan berat badannya hingga 10 kg. Ya, pada akhirnya determinasinya membawa ia meraih berbagai penghargaan termasuk Academy Awards, Golden Globes, dan BAFTA. Kesuksesan tersebut hampir terulang ketika dia berperan sebagai Jacqueline Kennedy di Jackie (2016), sayangnya ia tak berhasil memenangkan ketiga penghargaan besar seperti di Black Swan.
Hingga kini Natalie telah membintangi lebih dari 40 judul film dan angka itu dipastikan terus bertambah. Bahkan ia telah memastikan akan tampil di beberapa judul seperti The Heyday of the Insentive Bastards (2017), Annihilation (2018), dan The Death and Life of John F. Donovan (2018). Selain itu ia juga akan membintangi sebuah mini series berjudul We Are All Completely Beside Ourselves. Di usianya yang baru menginjak 36 tahun, Natalie secara total telah memenangkan 79 penghargaan dan 124 nominasi lainnya. Mari tutup tulisan ini dengan kutipan dari Natalie Portman yang cukup membekas di benak saya, “I don’t care if college ruins my career, I’d rather be smart than a movie star.” - Kutu Kasur Sejak diumumkan bahwa jumlah episode musim ke-7 Game of Thrones akan menjadi 7 episode saja, banyak fans yang merasa khawatir akan seperti apa cerita yang ditampilkan nanti.
Namun tak perlu gundah, pasalnya rataan waktu di season terbaru nanti akan menjadi yang terlama (63 menit) dibanding season-season terdahulu (rataan episode tertinggi 56 menit, season 1), dengan 2 episode terakhir yang resmi memecahkan waktu tayang terlama untuk serial ini (sebelumnya dipegang oleh episode finale season 6 "The Winds of Winter”, 68 menit). Berikut daftar lengkapnya: Episode 1: 59 menit. Episode 2: 59 menit. Episode 3: 63 menit. Episode 4: 50 menit. Episode 5: 59 menit. Episode 6: 71 menit. Episode 7: 81 menit. Dengan skema seperti ini, para fans akan disuguhkan dengan total durasi sebanyak 7 jam 20 menit. Dan rasanya, tak masalah dengan jumlah episode yang lebih sedikit, jika nyatanya Showrunners lebih memilih kualitas dibanding kuantitas. Benar begitu, bukan? Sumber: Watchers on the Wall - Kutu Butara Kolaborasi Jordan dan Coogler memang bukan hal yang baru. Ya, bisa dibilang hasil kerja sama merekalah yang mengantarkan nama Jordan dan Coogler lebih dikenal. Sebelumnya mereka telah berkolaborasi di Fruitvale Station (2013) dan Creed (2015). Selain itu, mereka berdua juga akan bekerja sama lagi di Black Panther.
Wrong Answer adalah film yang akan mengangkat tulisan karya Rachel Aviv yang diterbitkan oleh The New Yorker. Film ini akan menceritakan skandal tentang standarisasi kecurangan pada ujian, yang terjadi di sekolah-sekolah Atlanta pada 2006. Jordan akan berperan sebagai Damany Lewis, seorang guru yang ikut berjuang mempertahankan sekolahnya. Naskah Wrong Answer kabarnya akan ditulis oleh Ta-Nehisi Coates. Aviv dan Damany Lewis sendiri pun ikut berperan sebagai konsultan. Hingga saat ini belum ada kabar pasti tentang tanggal perilisan film ini. Sumber: Variety - Kutu Kasur Sutradara: Asghar Farhadi Penulis: Asghar Farhadi Pemeran: Taraneh Alidoosti, Shahab Hosseini, Babak Karimi Genre: Drama, Thriller Durasi: 124 menit "My absence is out of respect for the people of my country." - Asghar Farhadi Kutipan di atas adalah sepotong kalimat dari speech yang Asghar Farhadi tulis saat The Salesman menang di Oscar, Februari 2017 kemarin, untuk kategori Best Foreign Language Film. Ini merupakan Oscar kedua buat dirinya, setelah menang juga di kategori yang sama melalui A Separation (2012). Beliau sengaja gak hadir, sebagai bentuk protes atas kebijakan #MuslimBan yang menutup pintu masuk AS buat 7 negara, termasuk negaranya om Farhadi, Iran. Entah kebetulan atau emang sengaja, The Salesman garapannya dia, menang di perhelatan bergengsi itu. The Salesman sendiri adalah film bergenre drama-thriller dan mengambil setting di kota Tehran. Alkisah suatu malam, Emad (Shahab Hosseini) dan istrinya Rana (Taraneh Alidoosti), bersama penghuni lainnya terpaksa harus keluar dari gedung apartemen mereka yang goyang. Seperti terkena gempa dan mau runtuh, karena bangunannya memang sudah tua. Walaupun akhirnya tidak benar-benar runtuh, gedung apartemen itu udah tak layak dihuni lagi karena rusak. Alhasil, sepasang suami istri ini harus mencari tempat tinggal lain. Tak memakan waktu lama, mereka menemukan flat yang lusuh dan kumuh. Kebetulan flat ini pemiliknya juga teman Emad sendiri, Babak Karimi (Babak). Emad beserta istri memutuskan untuk tinggal di situ. Masalah tak berhenti sampai sana. Waktu mereka pindahan ke flat yang baru, di suatu ruangan yang terkunci masih ada banyak barang-barang milik seorang wanita yang sebelumnya tinggal disitu. Dan setelah ditelusuri, rupanya wanita ini seorang prostitute. Walaupun udah dihubungi berkali-kali, si wanita ini tetep enggan mengambil barang-barang lamanya, yang memang sangat banyak. Jadi, terpaksa barang-barang milik si prostitute ini dipindahkan ke halaman depan setelah ruangan itu dibuka secara paksa. Emad adalah seorang guru sastra di sebuah sekolah menengah atas, merangkap sebagai pemain drama/teater bersama istrinya, Rana. Mereka setiap malam memainkan drama Death of a Salesman karya Arthur Miller tahun 1949. Kehidupan mereka yang tanpa dihadiri seorang anak, tampak sederhana dan gitu-gitu saja. Sampai pada suatu malam, Rana harus pulang lebih dulu karena Emad masih harus tinggal di teater karena ada urusan. Saat itu Rana lagi asyik mandi, tiba-tiba ada yang membunyikan bel, dan Rana tanpa pikir panjang untuk membukakan pintu dan balik lagi ke kamar mandi, tanpa melihat siapa yang datang. Iya, tanpa melihat dan memastikan siapa yang datang. Karena dia pikir itu adalah si Emad yang pulang. But we all know, in this kind of movie surely it's not Emad, it was never Emad. Sampai saat di mana beneran Emad yang pulang dan langsung bergegas naik ke flat, karena liat darah berceceran di tangga dan menemukan pintu terbuka, mengecek kamar mandi, dan di situ sudah merah bersimbah darah. Namun tak ada Rana di situ. Tenang, tenang. Rana rupanya sudah dibawa ke rumah sakit oleh tetangga karena mereka dengar suara teriakan dan langsung menghampiri. Laki-laki (dikonfirmasi langsung oleh Rana) yang menyerang dan melukai Rana sudah tak ada ketika para tetangga tiba di flat. Rana terluka parah di bagian kepala. Bukan hanya fisik aja, tapi juga mental dia yang trauma. Tidak berani lagi untuk mandi, tak berani lagi untuk mandi di kamar mandi yang sama, tidak berani untuk tinggal di flat sendiri. Pokoknya, Rana menjadi benar-benar cupu dan menjadi buah bibir para tetangga, dan di sinilah konflik dimulai. Emad mulai frustasi mengurus Rana yang rewel, bahkan merambat ke drama teater yang mereka mainkan bersama. Bahkan juga terbawa saat Emad mengajar di sekolah. Pasangan suami-istri ini mengalami masa-masa berat setelah kejadian itu. Apalagi Emad, yang tetap tidak terima atas kejadian yang menimpa istrinya, terus mencoba mencari pelakunya But somehow, Emad menemukan kunci mobil di flat mereka, yang diyakini milik si laki-laki yang menyerang istrinya. And against all the odds, mobil dari si kunci ini juga dia temukan. Sebuah mobil pick-up, diparkir tak jauh dari flat mereka. Usaha sang suami akan pencarian terhadap sang pelaku perbuatan keji itu pun dimulai. Dan kalian tak akan bisa menduga, pelaku sebenarnya siapa. Sudah cukup lama saya tak menonton film drama-thriller se-powerful film ini. The Salesman pembawaannya tenang, tidak terburu-buru. Asghar Farhadi sebagai sutradara dan penulis skrip memang juara kalau bikin film tipe seperti ini. Semua adegan dibuat sesederhana mungkin, tiap-tiap scene bakal kalian liat bahwa semuanya itu natural. Semua pemeran dalam film ini kayak bukan akting sama sekali. Ya, kayak lagi hidup biasa saja. Ketika akhirnya ada tensi yang naik pun juga tidak dibuat lebay dengan scoring yang membahana, tetap slow tapi dengan dialog yang pas, juga mimik pemeran yang oke. Kalian akan jatuh cinta sama film ini.
Jadi, untuk yang mengira film ini bakal cepat dengan tensi memburu membabi-buta, mungkin kalian kurang pas dengan film ini. But for me, it's a truly beauty. Kredit harus saya berikan kepada semua pemeran, khususnya tentu buat Shahab Hosseini dan Taraneh Alidoosti sebagai pemeran utama. Emosi, frustasi dan rasa marah dalam film ini benar-benar disalurkan dengan baik. Salute! Saya hampir tak bisa menemukan kekurangan dalam film ini, semuanya ditakar secara baik. Ada beberapa perpindahan di satu scene ke scene lainnya yang agak maksa tapi bisa dimaafkanlah. Kekurangan lainnya mungkin film ini bukan di produksi Hollywood kali ya. Kalau di trilogi film Taken, kalian bakal disajikan dengan kepuasan batin yang benar-benar nikmat, ketika ngeliat pembalasan dendam oleh Liam Nesson. Di The Salesman ini sepenuhnya berbeda, premis revenge sebagai hal yang diidam-idamkan penonton dihadirkan lebih kompleks. Kompromi dengan moralitas, mental serta emosi menjadikan kalian gregetan di satu sisi, dan di satu sisi lainnya malah memihak nurani. Film ini dari fase awal hingga tengah akan di-build-up sedemikian rupa hingga nanti batin kalian siap untuk menghadapi 20 menit terakhir yang benar-benar "makanan utama". Hingga kalian pelan-pelan menyadari bahwa Emad yang frustasi dan marah ke si pelaku kejahatan. Alasannya bukan karena kejahatan yang menimpa istrinya, lebih dari itu, jauh lebih dari itu. Dan mirisnya, apa yang mereka mainkan di roleplay dalam drama "Death of a Salesman", mirip dengan kisah hidup mereka berdua. This movie is that simple and that complex. Really deserved that Oscar. Rating: 9/10 - Edhim, Malang (Penulis adalah pemilik blog Litmotion) Silakan cek Tulisan Pembaca untuk melihat tulisan lainnya dari Kawan Kutu. |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|