Sejak abad ke-18, kisah-kisah fiksi ilmiah telah menghipnotis dan membawa audiensnya ke angkasa luar. Namun tentunya, tidak semua kisah sesuai dengan kenyataan, beberapa ceritanya bahkan lebih mendekati fiksi daripada ilmiah.
Seorang Astrofisikawan dari Swinburne University of Technology, Australia, Prof. Alan R. Duffy, mengungkapkan bahwa salah satu kesalahan terbesar dalam film fiksi ilmiah masa kini adalah terlalu membesar-besarkan. Dia bahkan cukup sebal jika menemukan sebuah permainan luar angkasa yang wahana antariksanya tidak bisa menembak ke belakang. “Itu adalah salah satu hal paling sederhana yang selalu mengangguku. Melawan musuh dari belakang di luar angkasa bukan masalah, Anda hanya perlu melepaskan uap air ke depan untuk berputar 180 derajat dan menghadapi musuh yang mengejar,” katanya. Dia menambahkan, Anda juga bisa menembak ke belakang dan terus-terusan berputar hingga kembali ke rute awal tanpa mengurangi kecepatan. Walaupun demikian, Duffy tetap mengakui bahwa film fiksi ilmiah bisa menjadi sumber inspirasi bagi ilmuwan. Penulis Arthur C Clarke, misalnya, adalah pencetus ide satelit yang mengelilingi bumi. “Kita menerima satelit televisi begitu saja, tetapi untuk penemuan-penemuan macam ini, cara pengaplikasiannya selalu disadari lebih dulu oleh penulis fiksi ilmiah, walaupun kita telah mengerti cara kerjanya,” ujar Duffy. Lalu, Duffy juga memuji kemampuan supercomputer yang digunakan untuk menggambarkan lubang hitam dalam film Interstellar (2014). Berkat film tersebut, para peneliti menemukan bahwa cahaya di balik lubang hitam sebenarnya dibelokkan oleh gravitasi dan menciptakan efek halo. Namun, film fiksi ilmiah tidak harus menggunakan grafis yang luar biasa atau ide-ide yang belum pernah ada sebelumnya untuk memperagakan sains. Film favorit Duffy, 2001: A Space Odyssey (1968), membuktikan hal ini dengan menjadi film fiksi ilmiah paling akurat sepanjang masa. “Hukum fisikanya dipraktikkan dengan luar biasa. Film tersebut mengenal dasar (fisika) dengan sangat baik dan cara kerja roketnya hanyalah masalah-masalah fisika seperti penggunaan momentum,” ucapnya. Dia melanjutkan, lalu juga ide bahwa perjalanan ke luar angkasa menghabiskan waktu berbulan-bulan, dan manusia harus bekerjasama dengan kecerdasan buatan untuk mengontrol kapalnya. Hal-hal tersebut merupakan pemikiran-pemikiran NASA saat ini. -- Kalau Kawan Kutu, sudah nonton "Interstellar" dan "2001: A Space Odyssey" belum? Atau punya film Fiksi Ilmiah favorit yang lain? Sumber: Kompas - Kutu Butara
0 Comments
Sutradara: Patty Jenkins Penulis: Allan Heinberg, Jason Fuchs, Zack Snyder Pemeran: Gal Gadot, Chris Pine, Robin Wright, Danny Huston, dan David Thewlis Genre: Action, Drama, Superheroes Durasi: 141 Menit Bagi sebagian kita, kecewa adalah perasaan sakit yang amat dalam, yang membuat kita sulit untuk kembali percaya. Untuk sebagian yang lain, kecewa adalah sebuah tanda bagi sesuatu untuk diakhiri. Namun ada sebagian kecil yang memendam kecewa, dan berharap dinyanyikan "Kali Kedua"-nya Raisa untuk kemudian menghapus segala kelam dan kembali belajar percaya. Bagi saya, Wonder Woman menyanyikan "Kali Kedua" dengan amat merdu untuk membuat saya kembali jatuh cinta dan memiliki harapan kepada "rumah" bagi sang kelelawar Gotham favorit saya, DC. Setelah kurang greget dalam Man of Steel (2013), hancur lebur dalam Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), dan porak poranda dalam Suicide Squide (2016), Patty Jenkins seolah memberi "nyawa ekstra" bagi DC melalui Wonder Woman nya. Sejujurnya saya sempat skeptis dan merasa deja-vu setelah dalam beberapa pekan terakhir, Wonder Woman melakukan promo besar-besaran dengan merilis banyak teaser, tv spot beragam judul, serta beberapa poster tambahan. Saya masih ingat bagaimana Suicide Squad melakukan itu untuk kemudian malah menggali kuburan mereka sendiri. Mendapuk nama Patty Jenkins sebagai sosok sutradara, Wonder Woman mampu menampilkan sisi keperkasaan wanita dengan sentuhan yang amat berkesan. Cukup banyak poin yang saya kagumi dan gandrungi dalam film ini. Tone film, penggambaran Themyscira, wujud sang villain, dan tentu saja penampilan Gal Gadot sebagai Wonder Woman sendiri. Namun dari beberapa poin tersebut, satu poin yang membuat saya jatuh hati kepada film ini adalah bagaimana Allan Heinberg mampu menyusun sebuah skrip untuk origin superheroes dengan amat apik serta bagaimana Wonder Woman mampu dengan smooth memposisikan diri sebagai "jembatan" antara Batman V Superman dan film Justice League yang akan datang. Cerita yang juga disusun bersama oleh Zack Snyder dan Jason Fuchs cukup solid dan mampu memberikan fan service mumpuni serta gambaran terperinci tentang karakter Wonder Woman. Meskipun tidak terdapat post-credits scene, beberapa easter eggs serta hint untuk film Justice League pun menjadi pesona lain yang menambah daya tarik dalam film ini. Berjalan dengan alur yang lambat, film ini menceritakan secara detail story arc dari karakter Wonder Woman. Setting utama yang diambil saat perang dunia pertama membuat Petty Jenkins dan Gal Gadot sukses bahu membahu membuat film ini menjadi film superhero dengan karakter utama wanita pertama yang menggebrak box office. Namun sejujurnya saya kurang sreg menyebut WW sebagai film superhero. Film ini dikembangkan dengan skrip yang cukup dalam sehingga memiliki elemen drama serta action dengan latar belakang peperangan yang kental. Saya seolah menyaksikan gabungan film 300 (2006), Hackshaw Ridge (2016), dan Fury (2014), sekaligus disajikan drama yang cukup mengharu biru ala A Walk To Remember (2002). Chemistry Steve dan Diana terasa begitu dalam, mereka tidak memberi banyak ciuman ala Reza Rahadian dan Adinia Wirasti, tidak pula saling melempar puisi ala Chicco Jeriko dan Pevita Pearce. Gal Gadot dan Chris Pine hanya memainkan 3 adegan "romantis" yang sudah cukup menunjukkan dalamnya hubungan antara karakter Diana dan Steve. Chris Pine memainkan perannya sebagai Steve Trevor dengan baik dan meninggalkan kesan mendalam. Selain itu unsur komedi yang dihadirkan pun cukup pas dan renyah untuk dinikmati. Akting dari Gal Gadot pun sudah tidak perlu saya sangsikan. Gal nyaris tanpa cela disini. Terlepas dari banyaknya pro dan kontra dengan pemilihan sosoknya untuk memerankan Diana di awal-awal pengumuman. Saat ini saya meyakini tidak akan ada yang meragukan kapabilitasnya untuk berteriak lantang, "I am Diana of Themyscira, daughter of Hippolyta. In the name of all that is good, your wrath upon this world is over".
Gal mampu memberikan hawa segar bagi DC saat ini. Satu hal yang patut ditegaskan, bahwa karakter Wonder Woman di film ini, berbeda 180° dengan karakternya di Batman V Superman. Dalam film ini, kita diajak untuk melihat perkembangan karakter seorang Diana Prince dari seorang Putri Amazon, menjadi seorang "Godkiller", dari seorang yang lugu menjadi kesatria yang mampu carried the world on her shoulders. Kita pun diajak untuk lebih realistis. Meskipun Wonder Woman memiliki kekuatan super, tidak berarti serta merta ia dapat terjun ke tengah peperangan dan menyelesaikan semua permasalahan begitu saja. David Thewlis pun mampu memberikan sedikit twist yang cukup mencengangkan dalam perannya. Robin Wright, Danny Huston, Connie Nielsen, dan Elena Anaya turut memberi warna beragam ke dalam film ini. Namun tentunya tidak ada gading yang tidak retak. Meskipun skrip dari WW cukup solid, film ini terasa cukup terburu-buru saat memasuki 1/3 akhir cerita. CGI yang ditampilkan pun terkadang terasa kurang halus, terlebih ketika momen pertarungan Diana, yang menunjukkan sosoknya seperti Alien dalam episode Invasion! di Arrowverse nya CW. Selain itu ada beberapa percakapan yang cukup cheesy, dan yang amat saya sayangkan, penempatan scoring yang kurang tepat. Wonder Woman akan terasa lebih hidup apabila scoring yang dilakukan tepat sasaran. Namun sayangnya Rupert Gregson-Williams melakukan tugasnya dengan kurang maksimal. Musik tema "Is She With You" yang bagi saya begitu megah pun terasa terlalu diobral sehingga kurang memberi efek "merinding" yang diberikan kala pertama diputar saat kemunculan perdana Diana dalam BvS. Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, Wonder Woman akhirnya mampu memutus "rantai kutukan" dan kembali memberi DC posisi untuk berdiri. Film ini pun membuat Gal Gadot, bakal selalu memberikan sensasi "takjub" akan kharisma yang dipancarkannya dalam memerankan sang Amazon Princess. As Steve said to Diana, "I will save the day, and you will save the world", and Wonder Woman, definitely saved DC's world. A really good movies, a kind of movies DC should have in a long time. Rating: 8.8/10 - Kutu Klimis Adam Wingard, yang namanya melambung berkat You're Next (2011) dan The Guest (2014), resmi menahkodai salah satu film dari Monsterverse, Godzilla vs Kong.
Skrip film ini akan dibuat oleh tim penulis yang diketuai Terry Rossio (co-writer seri film Pirates of the Caribbean), yang berisikan Patrick McKay dan J.D. Payne (Star Trek Beyond), Lindsey Beer, Cat Vasko, T.S. Nowlin (Maze Runner), Jack Paglen (Transcendence), serta J. Michael Straczynski (kreator Babylon 5). Detail dari proyek ini tentunya masih ditutup rapat, namun telah menetapkan jadwal rilis pada 22 Mei 2020. Sumber: THR - kutu butara Sutradara: Joachim Rønning & Espen Sandberg
Penulis: Jeff Nathanson Pemeran: Johnny Depp, Javier Bardem, Brenton Thwaites, Kaya Scodelario, Kevin McNally, dan Geoffrey Rush Genre: Action, Adventure, Fantasy Durasi: 129 Menit Awalnya tidak ada rencana saya dari jauh hari untuk menonton film bertema bajak laut ini, padahal saya sangat mengikuti empat film Pirates of the Caribbean terdahulunya. Entah kenapa sepak terjang promo Dead Men Tell No Tales, tidak terlalu membuat saya ingin menonton film ke-5 yang dibintangi oleh Johnny Depp ini. Namun di hari libur saat ingin rasanya ke bioskop, buka aplikasi tiket online, scrolling down, tap, tap, tap & Voila! Ya, begitu singkatnya kenapa pada ahkirnya saya menonton film ini. Johnny Depp sudah tidak usah diragukan lagi. Karakter Jack Sparrow sudah sangat melekat pada dirinya, dan tidak perlu dinilai kembali, ya begitu, PAS! Javier Bardem juga karena acap kali memerankan karakter psikopat, sudah cukuplah untuk memerankan karakter Salazar. Yang patut dipantau adalah Kaya Scodelario & Brenton Thwaites. Sebelumnya saya sudah mengetahui Kaya dari serial Skins yang disiarkan BBC sebagai Effy Stonem, lalu dia muncul di Maze Runner, dan ahkirnya di Pirates ini. Yes, she's good enough for the movie. Brenton Thwaites, I don't even know him, for sure. Jadi sebenarnya, mereka hanya pemanis saja. Savvy? Secara alur film, Pirates seperti biasa, dari film ke film selalu memberikan adegan aksi yang cepat dengan baluran komedinya yang khas. Plot hole? tentu saja ada. Tapi semua itu tertutupi oleh adegan spektakular dengan CGI yang rapi. Rapi ya, bukan bagus. Entah kenapa yang masih belum terjawab adalah mengapa di USA film ini berjudul Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales, dan di beberapa negara lain diberi judul Pirates of the Caribbean: Salazar's Revenge? Kalau menurut hemat saya, Dead Men Tell No Tales menjadi Salazar's Revenge itu menghemat 5 font, ditambah juga ini film ke 5. Berkaitan? Only God knows. Oh ya, terakhir sebagai penutup, perhatikan Disney Castle opening di awal film, itu biasa saja memang, tapi indescribable. Ada Paul McCartney sebagai cameo, dan ada after credits juga. Yes, they have after credits! ps: Tonton terlebih dahulu 4 film pendahulunya. Rating: 7.5/10 - Kutu AntMan |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|