Sutradara: Lenny Abrahamson Penulis: Emma Donoghue Pemeran: Brie Larson, Jacob Tremblay, Joan Allen, Sean Bridgers, William H. Macy Genre: Drama, Thriller Durasi: 118 min "Survive is only the beginning" adalah tagline dalam Room yang saya rasa sangat cocok mengambarkan film tersebut. Kenapa cocok? Saya tidak akan memberikan informasi secara detail menceritakan tentang apakah film ini dan mengapa tagline tersebut cocok menurut saya. Kawan Kutu cukup browsing di internet untuk tahu tentang sinopsis film tersebut. Yang jelas di saat semua film di bioskop beberapa bulan belakangan ini menceritakan tentang hubungan ayah dan anak, Room menceritakan tentang hubungan Ibu dan anak. Film ini saya klasifikasikan ke dalam film keluarga, sangat cocok ditonton oleh orang tua yang sudah memiliki anak, para remaja yang nantinya akan punya anak, atau remaja yang belum sama sekali kepikiran akan punya anak. Singkatnya, saya merasa nyaman menonton film ini, tanpa ada prasangka-prasangka tebak-tebak buah manggis di sela-sela film berjalan, dan tanpa rasa penasaran yang berlebih, itu tidak ada sama sekali, enak. Ya, enak-enak sajalah menontonnya.
Sedikit trivia, Brie Larson pun dalam memerankan film ini, sempat melakukan eksperimen pendalaman karakter selama 1 bulan dengan sangat total. Eksperimen apa? saya rasa Kawan Kutu tahu kenapa saya tidak menjelaskan perihal ini. Menonton film ini tentunya akan membuka mata kalian terhadap isi dunia, keluarga, dan kenyataan kehidupan yang ada, walau film ini diangkat dari sebuah novel, tapi nyatanya banyak kejadian nyata yang serupa dan sejalur dengan cerita dalam film Room. ps: Before y'all watch Room, please do not browsing anything about it. Rating: 9/10 - Kutu AntMan
0 Comments
Sutradara: Asghar Farhadi Penulis: Asghar Farhadi Pemeran: Taraneh Alidoosti, Shahab Hosseini, Babak Karimi Genre: Drama, Thriller Durasi: 124 menit "My absence is out of respect for the people of my country." - Asghar Farhadi Kutipan di atas adalah sepotong kalimat dari speech yang Asghar Farhadi tulis saat The Salesman menang di Oscar, Februari 2017 kemarin, untuk kategori Best Foreign Language Film. Ini merupakan Oscar kedua buat dirinya, setelah menang juga di kategori yang sama melalui A Separation (2012). Beliau sengaja gak hadir, sebagai bentuk protes atas kebijakan #MuslimBan yang menutup pintu masuk AS buat 7 negara, termasuk negaranya om Farhadi, Iran. Entah kebetulan atau emang sengaja, The Salesman garapannya dia, menang di perhelatan bergengsi itu. The Salesman sendiri adalah film bergenre drama-thriller dan mengambil setting di kota Tehran. Alkisah suatu malam, Emad (Shahab Hosseini) dan istrinya Rana (Taraneh Alidoosti), bersama penghuni lainnya terpaksa harus keluar dari gedung apartemen mereka yang goyang. Seperti terkena gempa dan mau runtuh, karena bangunannya memang sudah tua. Walaupun akhirnya tidak benar-benar runtuh, gedung apartemen itu udah tak layak dihuni lagi karena rusak. Alhasil, sepasang suami istri ini harus mencari tempat tinggal lain. Tak memakan waktu lama, mereka menemukan flat yang lusuh dan kumuh. Kebetulan flat ini pemiliknya juga teman Emad sendiri, Babak Karimi (Babak). Emad beserta istri memutuskan untuk tinggal di situ. Masalah tak berhenti sampai sana. Waktu mereka pindahan ke flat yang baru, di suatu ruangan yang terkunci masih ada banyak barang-barang milik seorang wanita yang sebelumnya tinggal disitu. Dan setelah ditelusuri, rupanya wanita ini seorang prostitute. Walaupun udah dihubungi berkali-kali, si wanita ini tetep enggan mengambil barang-barang lamanya, yang memang sangat banyak. Jadi, terpaksa barang-barang milik si prostitute ini dipindahkan ke halaman depan setelah ruangan itu dibuka secara paksa. Emad adalah seorang guru sastra di sebuah sekolah menengah atas, merangkap sebagai pemain drama/teater bersama istrinya, Rana. Mereka setiap malam memainkan drama Death of a Salesman karya Arthur Miller tahun 1949. Kehidupan mereka yang tanpa dihadiri seorang anak, tampak sederhana dan gitu-gitu saja. Sampai pada suatu malam, Rana harus pulang lebih dulu karena Emad masih harus tinggal di teater karena ada urusan. Saat itu Rana lagi asyik mandi, tiba-tiba ada yang membunyikan bel, dan Rana tanpa pikir panjang untuk membukakan pintu dan balik lagi ke kamar mandi, tanpa melihat siapa yang datang. Iya, tanpa melihat dan memastikan siapa yang datang. Karena dia pikir itu adalah si Emad yang pulang. But we all know, in this kind of movie surely it's not Emad, it was never Emad. Sampai saat di mana beneran Emad yang pulang dan langsung bergegas naik ke flat, karena liat darah berceceran di tangga dan menemukan pintu terbuka, mengecek kamar mandi, dan di situ sudah merah bersimbah darah. Namun tak ada Rana di situ. Tenang, tenang. Rana rupanya sudah dibawa ke rumah sakit oleh tetangga karena mereka dengar suara teriakan dan langsung menghampiri. Laki-laki (dikonfirmasi langsung oleh Rana) yang menyerang dan melukai Rana sudah tak ada ketika para tetangga tiba di flat. Rana terluka parah di bagian kepala. Bukan hanya fisik aja, tapi juga mental dia yang trauma. Tidak berani lagi untuk mandi, tak berani lagi untuk mandi di kamar mandi yang sama, tidak berani untuk tinggal di flat sendiri. Pokoknya, Rana menjadi benar-benar cupu dan menjadi buah bibir para tetangga, dan di sinilah konflik dimulai. Emad mulai frustasi mengurus Rana yang rewel, bahkan merambat ke drama teater yang mereka mainkan bersama. Bahkan juga terbawa saat Emad mengajar di sekolah. Pasangan suami-istri ini mengalami masa-masa berat setelah kejadian itu. Apalagi Emad, yang tetap tidak terima atas kejadian yang menimpa istrinya, terus mencoba mencari pelakunya But somehow, Emad menemukan kunci mobil di flat mereka, yang diyakini milik si laki-laki yang menyerang istrinya. And against all the odds, mobil dari si kunci ini juga dia temukan. Sebuah mobil pick-up, diparkir tak jauh dari flat mereka. Usaha sang suami akan pencarian terhadap sang pelaku perbuatan keji itu pun dimulai. Dan kalian tak akan bisa menduga, pelaku sebenarnya siapa. Sudah cukup lama saya tak menonton film drama-thriller se-powerful film ini. The Salesman pembawaannya tenang, tidak terburu-buru. Asghar Farhadi sebagai sutradara dan penulis skrip memang juara kalau bikin film tipe seperti ini. Semua adegan dibuat sesederhana mungkin, tiap-tiap scene bakal kalian liat bahwa semuanya itu natural. Semua pemeran dalam film ini kayak bukan akting sama sekali. Ya, kayak lagi hidup biasa saja. Ketika akhirnya ada tensi yang naik pun juga tidak dibuat lebay dengan scoring yang membahana, tetap slow tapi dengan dialog yang pas, juga mimik pemeran yang oke. Kalian akan jatuh cinta sama film ini.
Jadi, untuk yang mengira film ini bakal cepat dengan tensi memburu membabi-buta, mungkin kalian kurang pas dengan film ini. But for me, it's a truly beauty. Kredit harus saya berikan kepada semua pemeran, khususnya tentu buat Shahab Hosseini dan Taraneh Alidoosti sebagai pemeran utama. Emosi, frustasi dan rasa marah dalam film ini benar-benar disalurkan dengan baik. Salute! Saya hampir tak bisa menemukan kekurangan dalam film ini, semuanya ditakar secara baik. Ada beberapa perpindahan di satu scene ke scene lainnya yang agak maksa tapi bisa dimaafkanlah. Kekurangan lainnya mungkin film ini bukan di produksi Hollywood kali ya. Kalau di trilogi film Taken, kalian bakal disajikan dengan kepuasan batin yang benar-benar nikmat, ketika ngeliat pembalasan dendam oleh Liam Nesson. Di The Salesman ini sepenuhnya berbeda, premis revenge sebagai hal yang diidam-idamkan penonton dihadirkan lebih kompleks. Kompromi dengan moralitas, mental serta emosi menjadikan kalian gregetan di satu sisi, dan di satu sisi lainnya malah memihak nurani. Film ini dari fase awal hingga tengah akan di-build-up sedemikian rupa hingga nanti batin kalian siap untuk menghadapi 20 menit terakhir yang benar-benar "makanan utama". Hingga kalian pelan-pelan menyadari bahwa Emad yang frustasi dan marah ke si pelaku kejahatan. Alasannya bukan karena kejahatan yang menimpa istrinya, lebih dari itu, jauh lebih dari itu. Dan mirisnya, apa yang mereka mainkan di roleplay dalam drama "Death of a Salesman", mirip dengan kisah hidup mereka berdua. This movie is that simple and that complex. Really deserved that Oscar. Rating: 9/10 - Edhim, Malang (Penulis adalah pemilik blog Litmotion) Silakan cek Tulisan Pembaca untuk melihat tulisan lainnya dari Kawan Kutu. Sutradara: Patty Jenkins Penulis: Allan Heinberg, Jason Fuchs, Zack Snyder Pemeran: Gal Gadot, Chris Pine, Robin Wright, Danny Huston, dan David Thewlis Genre: Action, Drama, Superheroes Durasi: 141 Menit Bagi sebagian kita, kecewa adalah perasaan sakit yang amat dalam, yang membuat kita sulit untuk kembali percaya. Untuk sebagian yang lain, kecewa adalah sebuah tanda bagi sesuatu untuk diakhiri. Namun ada sebagian kecil yang memendam kecewa, dan berharap dinyanyikan "Kali Kedua"-nya Raisa untuk kemudian menghapus segala kelam dan kembali belajar percaya. Bagi saya, Wonder Woman menyanyikan "Kali Kedua" dengan amat merdu untuk membuat saya kembali jatuh cinta dan memiliki harapan kepada "rumah" bagi sang kelelawar Gotham favorit saya, DC. Setelah kurang greget dalam Man of Steel (2013), hancur lebur dalam Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), dan porak poranda dalam Suicide Squide (2016), Patty Jenkins seolah memberi "nyawa ekstra" bagi DC melalui Wonder Woman nya. Sejujurnya saya sempat skeptis dan merasa deja-vu setelah dalam beberapa pekan terakhir, Wonder Woman melakukan promo besar-besaran dengan merilis banyak teaser, tv spot beragam judul, serta beberapa poster tambahan. Saya masih ingat bagaimana Suicide Squad melakukan itu untuk kemudian malah menggali kuburan mereka sendiri. Mendapuk nama Patty Jenkins sebagai sosok sutradara, Wonder Woman mampu menampilkan sisi keperkasaan wanita dengan sentuhan yang amat berkesan. Cukup banyak poin yang saya kagumi dan gandrungi dalam film ini. Tone film, penggambaran Themyscira, wujud sang villain, dan tentu saja penampilan Gal Gadot sebagai Wonder Woman sendiri. Namun dari beberapa poin tersebut, satu poin yang membuat saya jatuh hati kepada film ini adalah bagaimana Allan Heinberg mampu menyusun sebuah skrip untuk origin superheroes dengan amat apik serta bagaimana Wonder Woman mampu dengan smooth memposisikan diri sebagai "jembatan" antara Batman V Superman dan film Justice League yang akan datang. Cerita yang juga disusun bersama oleh Zack Snyder dan Jason Fuchs cukup solid dan mampu memberikan fan service mumpuni serta gambaran terperinci tentang karakter Wonder Woman. Meskipun tidak terdapat post-credits scene, beberapa easter eggs serta hint untuk film Justice League pun menjadi pesona lain yang menambah daya tarik dalam film ini. Berjalan dengan alur yang lambat, film ini menceritakan secara detail story arc dari karakter Wonder Woman. Setting utama yang diambil saat perang dunia pertama membuat Petty Jenkins dan Gal Gadot sukses bahu membahu membuat film ini menjadi film superhero dengan karakter utama wanita pertama yang menggebrak box office. Namun sejujurnya saya kurang sreg menyebut WW sebagai film superhero. Film ini dikembangkan dengan skrip yang cukup dalam sehingga memiliki elemen drama serta action dengan latar belakang peperangan yang kental. Saya seolah menyaksikan gabungan film 300 (2006), Hackshaw Ridge (2016), dan Fury (2014), sekaligus disajikan drama yang cukup mengharu biru ala A Walk To Remember (2002). Chemistry Steve dan Diana terasa begitu dalam, mereka tidak memberi banyak ciuman ala Reza Rahadian dan Adinia Wirasti, tidak pula saling melempar puisi ala Chicco Jeriko dan Pevita Pearce. Gal Gadot dan Chris Pine hanya memainkan 3 adegan "romantis" yang sudah cukup menunjukkan dalamnya hubungan antara karakter Diana dan Steve. Chris Pine memainkan perannya sebagai Steve Trevor dengan baik dan meninggalkan kesan mendalam. Selain itu unsur komedi yang dihadirkan pun cukup pas dan renyah untuk dinikmati. Akting dari Gal Gadot pun sudah tidak perlu saya sangsikan. Gal nyaris tanpa cela disini. Terlepas dari banyaknya pro dan kontra dengan pemilihan sosoknya untuk memerankan Diana di awal-awal pengumuman. Saat ini saya meyakini tidak akan ada yang meragukan kapabilitasnya untuk berteriak lantang, "I am Diana of Themyscira, daughter of Hippolyta. In the name of all that is good, your wrath upon this world is over".
Gal mampu memberikan hawa segar bagi DC saat ini. Satu hal yang patut ditegaskan, bahwa karakter Wonder Woman di film ini, berbeda 180° dengan karakternya di Batman V Superman. Dalam film ini, kita diajak untuk melihat perkembangan karakter seorang Diana Prince dari seorang Putri Amazon, menjadi seorang "Godkiller", dari seorang yang lugu menjadi kesatria yang mampu carried the world on her shoulders. Kita pun diajak untuk lebih realistis. Meskipun Wonder Woman memiliki kekuatan super, tidak berarti serta merta ia dapat terjun ke tengah peperangan dan menyelesaikan semua permasalahan begitu saja. David Thewlis pun mampu memberikan sedikit twist yang cukup mencengangkan dalam perannya. Robin Wright, Danny Huston, Connie Nielsen, dan Elena Anaya turut memberi warna beragam ke dalam film ini. Namun tentunya tidak ada gading yang tidak retak. Meskipun skrip dari WW cukup solid, film ini terasa cukup terburu-buru saat memasuki 1/3 akhir cerita. CGI yang ditampilkan pun terkadang terasa kurang halus, terlebih ketika momen pertarungan Diana, yang menunjukkan sosoknya seperti Alien dalam episode Invasion! di Arrowverse nya CW. Selain itu ada beberapa percakapan yang cukup cheesy, dan yang amat saya sayangkan, penempatan scoring yang kurang tepat. Wonder Woman akan terasa lebih hidup apabila scoring yang dilakukan tepat sasaran. Namun sayangnya Rupert Gregson-Williams melakukan tugasnya dengan kurang maksimal. Musik tema "Is She With You" yang bagi saya begitu megah pun terasa terlalu diobral sehingga kurang memberi efek "merinding" yang diberikan kala pertama diputar saat kemunculan perdana Diana dalam BvS. Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, Wonder Woman akhirnya mampu memutus "rantai kutukan" dan kembali memberi DC posisi untuk berdiri. Film ini pun membuat Gal Gadot, bakal selalu memberikan sensasi "takjub" akan kharisma yang dipancarkannya dalam memerankan sang Amazon Princess. As Steve said to Diana, "I will save the day, and you will save the world", and Wonder Woman, definitely saved DC's world. A really good movies, a kind of movies DC should have in a long time. Rating: 8.8/10 - Kutu Klimis Sutradara: Joachim Rønning & Espen Sandberg
Penulis: Jeff Nathanson Pemeran: Johnny Depp, Javier Bardem, Brenton Thwaites, Kaya Scodelario, Kevin McNally, dan Geoffrey Rush Genre: Action, Adventure, Fantasy Durasi: 129 Menit Awalnya tidak ada rencana saya dari jauh hari untuk menonton film bertema bajak laut ini, padahal saya sangat mengikuti empat film Pirates of the Caribbean terdahulunya. Entah kenapa sepak terjang promo Dead Men Tell No Tales, tidak terlalu membuat saya ingin menonton film ke-5 yang dibintangi oleh Johnny Depp ini. Namun di hari libur saat ingin rasanya ke bioskop, buka aplikasi tiket online, scrolling down, tap, tap, tap & Voila! Ya, begitu singkatnya kenapa pada ahkirnya saya menonton film ini. Johnny Depp sudah tidak usah diragukan lagi. Karakter Jack Sparrow sudah sangat melekat pada dirinya, dan tidak perlu dinilai kembali, ya begitu, PAS! Javier Bardem juga karena acap kali memerankan karakter psikopat, sudah cukuplah untuk memerankan karakter Salazar. Yang patut dipantau adalah Kaya Scodelario & Brenton Thwaites. Sebelumnya saya sudah mengetahui Kaya dari serial Skins yang disiarkan BBC sebagai Effy Stonem, lalu dia muncul di Maze Runner, dan ahkirnya di Pirates ini. Yes, she's good enough for the movie. Brenton Thwaites, I don't even know him, for sure. Jadi sebenarnya, mereka hanya pemanis saja. Savvy? Secara alur film, Pirates seperti biasa, dari film ke film selalu memberikan adegan aksi yang cepat dengan baluran komedinya yang khas. Plot hole? tentu saja ada. Tapi semua itu tertutupi oleh adegan spektakular dengan CGI yang rapi. Rapi ya, bukan bagus. Entah kenapa yang masih belum terjawab adalah mengapa di USA film ini berjudul Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales, dan di beberapa negara lain diberi judul Pirates of the Caribbean: Salazar's Revenge? Kalau menurut hemat saya, Dead Men Tell No Tales menjadi Salazar's Revenge itu menghemat 5 font, ditambah juga ini film ke 5. Berkaitan? Only God knows. Oh ya, terakhir sebagai penutup, perhatikan Disney Castle opening di awal film, itu biasa saja memang, tapi indescribable. Ada Paul McCartney sebagai cameo, dan ada after credits juga. Yes, they have after credits! ps: Tonton terlebih dahulu 4 film pendahulunya. Rating: 7.5/10 - Kutu AntMan Sutradara: Owen Harris Penulis: John Niven Pemeran: Nicholas Hoult, James Corden, Georgia King, Craig Roberts Genre: Comedy, Crime, Thriller Durasi: 103 menit Walaupun pada dasarnya musik adalah sebuah seni, setiap orang memaknainya dengan cara berbeda-beda. Ada yang menganggap musik sebagai sesuatu yang bernilai, bagaimana musik dapat menjadi sebuah sarana untuk menyiratkan pesan yang ingin disampaikan oleh si pencipta kepada pendengarnya. Ada juga yang menjadikan musik sebagai hiburan semata, sejauh ia dapat menikmati hasil karya komposer kesukaannya, ia merasa bahagia. Lalu, ada segelintir orang yang menjadikan musik sebagai alat untuk mengejar tujuan pribadinya. Film Kill Your Friends, memperkenalkan sosok Steven Stelfox (Nicholas Hoult), yang merupakan bagian dari segelintir orang tersebut. Stelfox berkecimpung di industri musik dengan bekerja sebagai manajer A&R bagi salah satu perusahaan label rekaman di Inggris, UNIGRAM. A Tough Job Terlibat di industri musik, terlebih lagi bekerja di dalamnya, tak semudah atau semenarik yang dikira. Orang A&R bertanggung jawab terhadap hadirnya lagu-lagu mendadak terkenal di publik, serta munculnya bintang baru yang tiba-tiba menarik perhatian media. Oleh karena itu, mereka haruslah visioner, (dituntut) memiliki selera musik yang bagus, punya kemampuan untuk melihat kapasitas dari sebuah musik; apakah memiliki selera pasar, atau sulit diterima oleh publik. Hal ini diamini oleh Stelfox. Ia menarasikan tantangan-tantangan yang selalu dihadapi seorang “Artist and Repertoire” secara detail dan interaktif, tanpa membuat penonton merasa digurui–akan selalu ingat betapa seksinya logat British seorang Hoult! Namun, bukannya mencari musisi bertalenta yang sanggup menciptakan lagu-lagu berkualitas, Stelfox hanya peduli bagaimana alunan nada yang disusun sedemikian rupa tersebut dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan label rekaman tempatnya bekerja. Unsur artistik sebuah musik? Bodo amat deh! Lain halnya dengan Parker-Hall, seorang Kepala A&R ternama yang musikalitasnya tinggi, memiliki kharisma, dan selalu bisa menarik perhatian musisi untuk menandatangani kontrak dengan label yang mempekerjakannya. Stelfox mengakui bahwa dirinya kalah jauh dibanding Parker-Hall. Tetapi ia tidak peduli, ia ingin menaklukannya. Ironisnya, pandangan Stelfox ini mempengaruhi kemampuannya dalam “melihat” musik. Ia terlanjur benci ketika harus menyeleksi demo-demo band, dan tidak mengindahkan rekomendasi dari rekan kerjanya. Berbeda dengan Darren, anak didik/bawahannya, yang memiliki prinsip bahwa merekrut musisi bertalenta itu bagian dari makna hidupnya. Tentu saja prinsip lugu ini dicibir oleh Stelfox, seolah Darren baru saja terlibat di dalam industri. A Tough Industry
Film Kill Your Friends menceritakan bagaimana industri musik merupakan dunia penuh persaingan, rekan-rekan bisa menusuk dari belakang kapanpun ketika mereka perlu melakukannya, dan hukum rimba pun juga berlaku. Tidak sanggup bersaing atau bertahan? Bersiaplah tersingkir. Nampaknya sudah menjadi rahasia umum, bahwa industri musik juga merupakan sebuah bisnis, dan akan ada pihak yang rela “mengotori tangan” mereka untuk menggapai sukses. Stelfox berambisi tinggi dan temperamental. Ia akan melakukan segala cara demi mendapatkan apa yang diinginkan, dan bisa menyingkirkan semua yang menghalangi proses untuk mencapai ambisinya. Termasuk menghabisi musuhnya rekannya, dalam arti yang sebenarnya. A Tough Record Performa memukau oleh aktor Nicholas Hoult, layaknya binatang buas yang berusaha memperluas teritori kekuasaannya. Sebagai sebuah film satir mengusung tema industri musik, Kill Your Friends, sedang mencoba membuat hit record menggunakan sudut pandang Steven Stelfox. Baginya, band adalah seburuk-buruknya musisi, dan musik electronic dance merupakan jawaban atas apa yang akan menjadi tren di Inggris. Stelfox menjadi kunci utama dalam menggiring alur cerita. Ia adalah orang serba tahu, dan hal ini tidak jarang menghantarkannya menuju masalah. Meskipun karakternya berkembang sesuai ekspektasi, tetapi sangat disayangkan, Stelfox (baca: sutradara) tidak sanggup mengendalikan cerita agar tetap fokus. Alurnya terpecah-pecah. Di satu waktu, penonton akan dibawa ke realita industri, lalu beberapa saat kemudian berganti ke perkembangan permasalahan yang dibuat oleh para tokohnya. Selain itu, tidak ada “bibit unggul” dari aktor-aktor lain. Peran mereka selain kurang mendapatkan screen-time yang layak, aktingnya juga tidak cukup kuat membentuk karakter tokoh yang mereka perankan. Dengan kata lain, Owen Harris menjadikan Hoult anak kesayangannya. Film Kill Your Friends juga hanya sebatas mencemooh, tanpa memperlihatkan “sisi terang” industri tersebut. Sebagai film suspense dengan adegan kekerasan, film hanya sanggup memberi perasaan tegang yang terkesan setengah-setengah. Setidaknya, percakapan pada film ini menarik, banyak perkataan Stelfox yang cukup quotable. Kehadiran Junkie XL sebagai komposer merupakan pilihan yang tepat. Hasilnya? Musik yang dibuat dan dipilih olehnya sanggup membentuk atmosfir dalam suatu adegan. Kepiluan seorang Stelfox terasa bermakna melalui lantunan “Karma Police” oleh Radiohead, ketika ia berada di titik terendah dalam karirnya. Kill Your Friends, a film which taking one man’s perspective about music industry that is so bad in thrilling you even murder scene wasn’t enough. Rating: 4.5/10 - Amelia, Yogyakarta (Penulis adalah pemilik blog Marry the Fiction) Silakan cek Tulisan Pembaca untuk melihat tulisan lainnya dari Kawan Kutu |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|