Sutradara: Ridley Scott
Penulis: John Logan, Dante Harper Pemeran: Michael Fassbender, Katherine Waterston, Billy Crudup, Danny McBride, dan Demián Bichir Genre: Horror, Sci-Fi, Thriller Durasi: 123 Menit Setelah lama menanti, akhirnya saya berkesempatan juga untuk menyaksikan salah satu film yang saya tunggu-tunggu di tahun ini. Sebagai penikmat film-film Alien, kabar bahwa akan ada seri terbaru yang akan disutradarai oleh si Bapak (baca: Ridley Scott), berhasil menyita perhatian saya sejak jauh-jauh hari. Alien: Covenant hadir sebagai kelanjutan cerita dari film Prometheus (2012), di mana judul keduanya diambil dari nama kapal luar angkasa yang digunakan dalam misi di masing-masing film. Cerita yang "sekuel-able" di Prometheus, nampaknya dijadikan modal awal si Bapak untuk membangun cerita di Alien: Covenant, yang menurut saya, film ini sebenarnya sudah punya modal cerita yang kuat untuk menciptakan cerita orisinalnya sendiri tanpa harus menggunakan "ke-sekuel-able-an" Prometheus. Setidaknya itu yang saya rasakan pada sepertiga awal menonton Alien: Covenant. Dengan mengusung misi mulia, Kapal Covenant membawa sejumlah aset penting kehidupan demi kelanjutan peradaban manusia, yang bertujuan mencari tempat seperti Bumi di galaksi nun jauh di sana. Nuansa thriller pun tersaji sejak awal film ini dimulai, dengan sebuah kejadian misterius khas luar angkasa yang dampaknya lumayan parah untuk James Franco. Alhasil, dalam 10 hingga 15 menit duduk di bioskop, kita sudah diberi asupan-asupan drama, yang dampaknya cukup mengena di hati melankolis saya. Kedekatan dan rasa kekeluargaan yang disuguhkan oleh para awak Covenant pun, tak disangka berhasil menciptakan dinamika hubungan yang asyik di atas kapal. Perdebatan seketika hadir sesaat setelah seorang awak menemukan sebuah sinyal acak dari sebuah planet, yang diyakini berasal dari manusia yang tersesat dan memerlukan bantuan. Konflik ringan kemudian mencuat guna menetapkan sebuah keputusan, mau tetap melanjutkan misi atau mengecek tempat yang tak dikenal untuk menemukan asal sinyal tersebut. Kemudian mereka semua tidak peduli dengan sinyal-sinyalan serta memilih untuk tetap melanjutkan misi dan film ini pun habis dalam waktu 25 Menit. Yakali. Karena bukan opsi tersebut yang dipilih, sebagian besar awak kemudian melakukan penerbangan ke sebuah planet misterius dan melakukan ekspedisi darat guna mencari sumber sinyal yang mereka terima. Saat di planet inilah, transisi antara cerita Covenant dan Promotheus terjadi. Porsi nuansa horor resmi masuk dan mulai mendominasi cerita. Para Awak yang notabene excited dan kaget dengan suasana serta kondisi planet yang mereka jelajahi ini, menjadi lengah dan tak sadar bahwa ada kru yang tak "beres". Beberapa adegan khas film Alien juga tersaji, sebut saja adegan kejang-kejang hebat yang cenderung rusuh, gerak gemulai iconic Marc Marquez (baca: baby alien), hingga teriakan annoying dari si Makhluk. Membicarakan Alien, rasanya tak afdol jika tak memperhatikan peran dari karakter wanita utama. Sebut saja Ripley (Sigourney Weaver) dalam installment awal seri film ini, Elizabeth Shaw (Noomi Rapace) dalam Prometheus, dan kini Daniels (Katherine Waterston). Menurut saya, Daniels masih melanjutkan formula yang dibawa dari seri film terdahulu, di mana si karakter perempuan utama secara perlahan namun pasti akan menjadi vital seiring berjalannya film. Pemilihan Waterston rasanya cukup tepat untuk menggambarkan sosok wanita tangguh dan berani, yang entah mengapa di setiap adegan close-up, wajahnya sejenak menjadi terlalu baby face dan mengingatkan saya dengan pemeran Tina di Fantastic Beasts. Mirip sekali rasanya. Dari segi dukungan serta tatanan visual, film ini berhasil menyajikan CGI nomor wahid yang saya rasa mampu memanjakan mata siapa saja yang menyaksikannya. Dalam beberapa kesempatan, adegan jarak dekat Neomorph dan Xenomorph pun terasa nyata dan tidak kaku. Secara keseluruhan, Alien: Covenant mampu menuntaskan rindu dan penasaran saya atas lanjutan dari seri film Alien, dan kendati meninggalkan beberapa plot hole, film ini nyaman untuk disaksikan meski Kawan Kutu belum menonton Prometheus pun, film ini cukup berhasil memberikan cerita yang proporsional dalam melanjutkan kisah Prometheus. Endingnya juga dibuat twist, dengan rasa-rasa akan ada film lanjutannya. ps: Sebelum menonton film ini, ada baiknya menonton 2 Prolog videonya yang bisa kalian tonton di Youtube. pps: Film ini menggunakan rating R Rating: 7.3/10 - Kutu Butara
0 Comments
Sutradara: Roxanne Benjamin, Sofia Carrillo, Karyn Kusama, St. Vincent, Jovanka Vuckovic Penulis: Roxanne Benjamin, Jack Ketchum, Jovanka Vuckovic Pemeran: Natalie Brown, Melanie Lynskey, Breeda Wool, Christina Kirk Genre: Horror Durasi: 80 menit Sebuah film horor dikatakan sukses apabila film tersebut berhasil membuat penonton ketakutan, terganggu, dan terbayang-bayang akan gambar yang ditampilkan, meskipun film telah usai. Sebut saja The Shining (1980) dengan gadis kembarnya, Ring dengan hantu yang keluar dari layar kaca, dan adaptasi ulang dari novel Stephen King yang akan datang, It, dan badutnya yang akan terpatri erat di benak para penonton film. Selain aktor yang berperan dan dialog yang dimainkan dalam film, sutradara pun tak lepas dari aspek sukses film horor tersebut. Namun, jika anda perhatikan baik-baik, film-film horor yang beredar di pasaran ataupun menjadi cult classic, jarang sekali diprakarsai oleh seorang wanita. Sutradara pria datang dan pergi memberikan karya yang terbaik dan mencekam, namun sedikit sekali wanita yang berhasil menorehkan nama sebagai sutradara film horor. XX adalah jawaban feminis untuk film horor yang dinanti-nantikan. Jika melihat daftar sutradara film ini, maka anda akan terheran akan jumlahnya yang begitu banyak untuk satu film dengan durasi 80 menit. XX merupakan film antologi, di mana beberapa cerita pendek disatukan menjadi sebuah film, biasanya dengan suatu tema yang menghubungkan cerita-cerita tersebut. XX memiliki empat cerita utama, dengan satu cerita selingan berhubungan, yang disisipkan setiap sebelum sebuah cerita dimulai. Mungkin anda pernah menonton 4bia (2008), film horor antologi dari Thailand? XX memiliki format yang serupa dengan film tersebut. Bedanya? Semua sutradara cerita yang ada pada film XX adalah wanita, dan memiliki peran utama wanita. Mari kita bahas satu-persatu. XX dibuka dengan cerita "The Box", yang disutradarai oleh Jovanka Vuckovic. Sebagai cerita pembuka, The Box memiliki unsur misteri yang kuat, dan akan membuat anda penasaran. Selanjutnya cerita "The Birthday Party", yang disutradarai oleh St. Vincent (ya, penyanyi itu). Horor yang disajikan pada cerita ini bukanlah bersifat jumpscare atau supranatural, melainkan hal yang dengan mudah terjadi di kehidupan nyata.
Pada cerita ketiga, "Don’t Fall" (disutradarai oleh Roxanne Benjamin), unsur-unsur yang sering ditemukan pada film horor lain akan mudah ditemukan pada cerita ini. Sebagai penutup, "Her Only Living Son" akan meninggalkan kesan ngeri namun bittersweet ketika klimaks cerita ditampilkan. Cerita ini disutradarai oleh Karyn Kusama, yang juga menyutradarai film horor cult classic, Jennifer’s Body pada tahun 2009. Dari eksekusi, saya rasa keempat sutradara telah menjalankan dengan baik. Aktor dan aktris yang ada juga memberikan performa yang patut diacungi jempol. Beberapa gambar dan plot twist yang disajikan akan membuat anda teringat dan terkejut. Namun, selama duduk menonton film ini, saya merasa ada sesuatu yang kurang menggugah. Masing-masing premis cerita memiliki daya tarik tersendiri, namun saya tidak merasakan rasa takut ataupun terganggu selama cerita berlangsung. Selain itu, XX memiliki hambatan berupa durasi, di mana memasukkan empat cerita dalam satu film akan memangkas beberapa aspek yang sebenarnya diperlukan dalam penceritaan. Dengan 4 sutradara wanita, hal ini malah memberikan kesan gimmick agar orang ingin menonton film ini. Sangat disayangkan, rasa tidak nyaman dan sedikit ngeri hanya saya rasakan saat saya menonton cerita selingan stop motion tentang rumah berjalan yang ada sebelum setiap cerita dimulai. Saya patut memberikan applause bagi rumah produksi film ini, karena telah memberikan platform bagi sutradara wanita yang berkecimpung pada genre horor. Namun, jika XX merupakan jawaban feminis untuk film horor, maka saya akan menantikan jawaban selanjutnya yang lebih megah, lebih mencekam, dan lebih memberikan ketakutan, meskipun film sudah berakhir. Rating: 5/10 - Yuscha Anindya (Penulis adalah pemilik akun Instagram @yuscha.a dan juga Letterboxd: freetosay) Silakan cek Tulisan Pembaca untuk melihat tulisan lainnya dari Kawan Kutu Sutradara: Monty Tiwa, Robert Ronny
Penulis: Monty Tiwa, Jenny Jusuf, Ika Natassa Pemeran: Adinia Wirasti, Reza Rahadian, Astrid Tiar, Hamish Daud, dan Hannah Al Rashid Genre: Drama Durasi: 135 menit Reza Rahadian akhirnya kembali meramaikan belantika perfilman tanah air setelah vakum selama kurang lebih 2 minggu sejak Kartini dirilis. Dua minggu? Tentu dua minggu itu waktu yang lama bagi seorang Reza Rahadian. Saya ingat di tahun lalu film yang ia bintangi atau paling tidak ia ikut terlibat, hampir bersahut-sahutan di bioskop, terlebih sebelum Kartini dirilis, cukup lama nama Reza tidak tercatat dalam kredit para pemeran. Critical Eleven menjadi salah satu dari 3 film yang tercatat akan ia bintangi di tahun ini. Dipasangkan kembali bersama Adinia Wirasti setelah sebelumnya berpasangan dalam film Kapan Kawin, mereka disebut-sebut sebagai pasangan on screen dengan chemistry melebihi Mickey dan Minnie Mouse. Critical Eleven adalah film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Ika Natassa. Novel? Hmm, tentu Kawan Kutu yang terbiasa membaca review saya akan tahu bahwa saya tidak akan membandingkan buku dan novelnya. Jadi tenang saja, saya tidak akan menghabiskan waktu membedah adegan untuk menyandingkannya dengan deskripsi dalam halaman. Satu hal yang tertangkap dari film ini, bahkan ketika baru berjalan selama 10 menit, film ini dibuat hanya untuk mereka yang peka. Ya, hanya untuk mereka yang memiliki daya investigasi mendalam serta intuisi untuk mengaitkan adegan demi adegan dengan detail. Bagaimana tidak? Ketika film masih dalam periode prolog, kita mendadak sudah ditarik dalam untuk berpindah setting cerita. Saya bahkan sempat terperanjat ketika adegan pembuka langsung berpindah ke adegan inti tanpa ada pengantar sebelumnya. Saya sempat merasa bahwa sepertinya ada bagian film yang terhapus sehingga alur melompat begitu jauh. Bahkan saya sempat berharap 30 menit film berlalu, itu adalah khayalan dari salah satu pemeran utama untuk kemudian penonton ditarik kembali ke adegan awal dan diberi penuturan cerita yang lebih santai. Tetapi ternyata tidak. Betul-betul membutuhkan analisa tajam dan daya investigasi kuat sekelas Kogoro Mouri untuk tetap mengikuti alurnya. Menit-menit berikutnya pun dibalut dengan adegan yang begitu "berwarna", sehingga setiap adegan yang terjadi seolah menyaksikan Cover Story dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti ketika mereka sedang liburan di New York. Skrip yang disusun patut diacungi jempol karena mampu menghadirkan percakapan Bahasa Inggris dasar nan cheesy yang dapat digunakan sebagai bahan referensi anak sekolahan bila mereka ingin terlihat keren di depan gebetannya. Dari segi kualitas pemeran serta akting tentu tidak perlu diragukan lagi, selain dua orang yang saya sebut-sebut di atas, masih ada Astrid Tiar, Hamish Daud, Hannah Al Rashid, Widyawati, Slamet Rahardjo, Revalina S Temat, hingga Anggika Bolsterli yang turut meramaikan Cover Story Reza Rahadian dan Adinia Wirasti ini. Para pemeran pendukung tersebut memiliki peran yang cukup sentral. Bahkan saking sentralnya peran salah satu pendukung, yakni Hamish Daud, saya yakin bila Ia dan Raisa menyaksikan film ini bersama di gala premiere, Raisa akan menatap lekat-lekat mata Hamish Daud setelah film ini selesai, dan berkata "Babe, mending kemaren kamu jadi koordinator pengadaan air mineral galon buat aku mandi pas aku tur". Betul-betul sentral sekali. Akting Reza dan Ardinia Wirasti sebagai pasangan pun amat luar biasa. Tidak salah memang menyebut chemistry mereka amat kuat. Bagaimana cara menguatkan chemistry ala mereka? Give each other a kiss. Tercatat ada sekitar 20 adegan ciuman yang membuat film ini menjadi salah satu film lokal dengan adegan ciuman terbanyak. Gerak dikit cium, nengok dikit cium, senyum dikit cium, pulpen jatoh cium, laper cium, makan cium, liat-liatan cium, update insta cium, ciuuuuummmm terus hingga ketika saya nengok ke atas, penonton pun ikut-ikutan cium. Luar biasa. Adegan emosional yang ditampilkan oleh mereka berdua pun begitu menguras emosi saya, terbukti ketika mereka menangis tersedu-sedu saya tidak dapat menahan diri untuk tertawa geli. Betul-betul adegan yang menguras emosi. Tetapi ada dua hal yang akhirnya dapat diterima oleh orang awam macam saya, yaitu tone cerita dan scoring/soundtrack yang disajikan terasa cukup megah. Sejujurnya apabila dikemas dengan rapi film ini memiliki makna yang cukup dalam. Hanya saja tim penyusun naskah seolah tenggelam dalam cerita mereka sendiri, sehingga membuat kisah Ale dan Anya tidak ubahnya menjadi sebuah potongan-potongan kisah yang tidak terajut dengan baik. Konflik yang ada terkesan terlalu dipaksakan, karena sejujurnya film ini seolah tidak dibuat untuk mendapat konflik. Cukup disayangkan "modal" besar film ini disia-siakan dengan skenario yang kurang tertata. Namun sepertinya modal tersebut tidak besar-besar amat, mengingat film ini seperti baliho digital untuk memaksa menyelipkan iklan telkomsol, lone, bank mausendiri, dan aplikasi nonton yook dalam beberapa adegannya. Critical Eleven pun menjadi tambahan bukti, bahwa jajaran aktor mumpuni tetap membutuhkan arah yang jelas. Karena menyaksikan film ini dengan para pemerannya namun dipadu dengan skrip yang ada, seolah mengantri "cheese cake yang happening", namun setelah sudah di tangan dan kita makan, ternyata kue tersebut sudah basi. A really, really, huge waste. Rating: 3,5/10 - Kutu Klimis Sutradara: John Lee Hancock
Penulis: Robert D. Siegel Pemeran: Michael Keaton, Nick Offerman, John Carroll Lynch, Patrick Wilson, dan Laura Dern Genre: Drama, Biografi Durasi: 115 Menit Salah satu film underrated tahun 2016 lalu yang kurang mendapat apresiasi dan tidak menghasilkan pendapatan yang baik dalam bioskop. Saya pun sempat heran padahal film periodik biografi tentang Mcdonald's pasti banyak orang yang akan menonton. Michael Keaton pun bersinar dengan baik dalam film ini dan salah satu performa terbaiknya setelah film Birdman (2014). Entah kenapa, begitu selesai menonton film ini saya langsung berpikir "Gw harus beli McDonald's habis ini!" Bila Kawan Kutu sempat tahu sejarah McDonald's, pasti sempat mendengar nama Ray Kroc, yang diceritakan sebagai protagonis film ini dan dibintangi oleh Michael Keaton). Namun setelah selesai menonton The Founder, pasti Kawan Kutu akan terkejut dengan sejarah "sebenarnya" dari McDonald's. Bagaimana peran Ray Kroc sangat penting dalam sejarah dan kemajuan McDonald. Perlu diperhatikan, Ray Kroc adalah sosok kunci dalam film ini. Film dibuka dengan adegan Roy Kroc menjual mesin milkshake dan melihat kalau restoran baru McDonald sangat laku dan laris dengan menggunakan "speedy sistem". Sebuah sistem yang menjadi cikal bakal lahirnya istilah "Fast Food". Pertemuan Ray Kroc dengan Dic McDonald's dan Mac McDonald bersaudara dipadu dengan begitu baik. Plot dibawa mengalir dengan semenarik mungkin bahkan dari 30 menit pertama. Seolah kita terus dibawa penasaran dan tidak bisa menebak bagaimana jalan ceritanya. Dari restoran kecil sampai menjadi restoran franchise terbesar yang paling diketahui dan terkenal di seluruh dunia. Film berbudget 25 juta dolar ini juga meningatkan betapa kerasya kompetisi bisnis dan ketatnya persaingan. Saya pun sangat mengagumi kutipan Ray dalam film ini: "If my competitor were drowning I'd walk over and I'd put a hose right in his mouth." Rating: 8/10 - Kutu Kamar Sutradara: Fernando Coimbra Penulis: Chris Roessner Pemeran: Nicholas Hoult, Logan Marshall-Green, Tommy Flanagan, Glen Powell, dan Henry Cavill Genre: Drama, War Durasi: 113 Menit Terkadang memang sulit untuk melihat sisi lain dari suatu hal. Karena kita seringkali enggan untuk repot-repot mencari hal yang tak terlihat. Atau sisi lain tersebut tertutupi oleh hal yang jauh lebih besar, dan tentu tak semua orang bisa setuju atau menerima. Dalam film Sand Castle, sebenarnya banyak hal menarik yang ditawarkan. Pertama adalah fakta bahwa cerita film ini dibuat berdasarkan pengalaman sang penulis skrip, Chris Roessner. Chris memang pernah ditugaskan di Irak, lebih teparnya di area yang dikenal dengan Sunni Triangle pada Juli 2001. Chris akhirnya pulang dengan jurnal dan foto-foto yang berisi pengalamannya ketika berada di Irak. Lalu ia memutuskan untuk mengembangkan cerita berdasarkan pengalamannya. Namun ia telah menegaskan bahwa ini bukanlah biografi. Dia hanya ingin menuangkan emosi dan memori terkait pengalamannya sebagai prajurit perang. Ya, dan cerita Sand Castle memang fiktif. Sand Castle bercerita tentang Matt Ocre (Nicholas Hoult), prajurit muda yang bersama timnya dipindahkan ke Baqubah. Di sana mereka diberi tugas untuk membantu memperbaiki pompa air yang rusak akibat perang. Menariknya dari Sand Castle adalah kisah yang ditawarkannya sedikit berbeda jika dibandingkan film-film perang kebanyakan. Protagonis utamanya bukanlah seperti dongeng yang mengisahkan seorang amatir yang tiba-tiba jadi pahlawan dan menjadi pembeda yang krusial, bukan seperti itu. Ya Matt Ocre adalah orang seperti pada umumnya, dia hanyalah bagian kecil dari sesuatu yang bahkan belum usai ketika dia dipulangkan. Selain itu, Sand Castle juga bukanlah tipe film perang yang mengandalkan baku tembak atau aksi-aksi lainnya. Film ini seolah ingin benar-benar menggambarkan bagaimana suasana perang dari kacamata prajurit. Ya, meski terkesan keras dan kejam, toh nyatanya mereka juga manusia. Yang mereka inginkan hanyalah menyelesaikan masa bakti dan pulang untuk bertemu keluarga dan kekasihnya. Ada banyak adegan yang menurut saya dilakukan dengan hati-hati. Karena di film ini terlihat sekali bahwa Chris memang membuat skrip yang unik. Dia tidak mencoba menyusun cerita yang pada akhirnya membelah opini mana yang benar dan salah. Namun dia membuat cerita yang menempatkan para karakternya berada di area abu-abu. Selain Matt, Chris juga mencoba mengembangkan para karakter pendukung, dan hal itu memang terlihat hasilnya. Seperti Harper (Logan Marshal-Green) si pragmatis, yang terlihat di beberapa adegan bahwa dia adalah tipe orang yang bisa mengesampingkan emosi untuk fokus ke misi dan hal yang akan datang. Lalu ada Chutsky (Glen Powell) yang tak kenal rasa takut namun cenderung sembrono. Juga ada Syverson (Henry Cavill) yang tegas dengan aturan militer. Itu semua adalah sisi lain yang bisa saya dapatkan dari film Sand Castle. Lalu apa sisi utama yang begitu terlihat dari film ini? Satu hal yang sangat jelas terlihat dari Sand Castle, membosankan. Ya, saya rasa bagi Kawan Kutu yang sudah menontonnya akan sadar dari 20 menit awal bahwa film ini terlalu membosankan. Menurut saya, ini adalah hal yang fatal.
Salah satu alasannya adalah Matt Ocre, sang pusat cerita malah menjadi protagonis yang terlalu membosankan dan tidak menarik. Entah itu dari dialog atau ekspresi yang dia buat, kita bisa melihat Ocre sendiri kebingungan dengan jati dirinya. Ya kita tak bisa melihat atau bahkan menebak bahwa Ocre itu sebenarnya orang yang seperti apa. Dugaan saya, hal itu mungkin ada pada sutradara Coimbra yang gagal mengeluarkan kemampuan terbaik Hoult. Selain itu Sand Castle adalah tipe film yang temponya lambat. Ya karena tak ada adegan baku tembak dan aksi lain yang intens seperti pada umumnya. Nah, biasanya tipe film seperti ini akan mengandalkan dialog yang padat. Namun kenyataannya, dialog yang ditampilkan ya biasa-biasa saja. Oleh karena itu konflik yang timbul pun seolah tidak mencuat ke permukaan. Hal itu jugalah yang membuat Sand Castle tak berbeda dengan film-film sejenisnya. Karena sebenarnya memang tak sedikit film-film seperti ini. Formula yang familiar dengan balutan yang kurang istimewa membuat film ini tak ada pembeda yang signifikan. Secara keseluruhan, film ini memang menarik dari ide cerita. Namun sayang ide-ide itu harus tertutup oleh suatu tembok yang begitu besar dan sulit ditaklukan, yang bernama membosankan. Rating: 5/10 -Kutu Kasur |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|