Saya sangat menunggu-nunggu film ini sejak pertama kali melihat trailernya. Bagaimana tidak? Film ini first-person !! untuk yang belum tau apa itu first person, gampangnya sih kayak main Counter strike itu loh, game tembak2an di PC, yang cuma keliatan tangan sama senjatanya doang. Nah jadi kalau untuk Hardcore Henry, kita yang menontonnya seakan akan merupakan pemeran utama di film tersebut.
Ahkirnya saya pun berkesempatan untuk menonton film ini. Awal yang santai, perkenalan dan bla bla bla, buyar seketika. Film ini langsung mengajak kita merasakan adrenaline pemeran utamanya, tanpa istirahat, benar-benar tanpa istirahat, aksi penuh darah, tembak sana tembak sini, jatuh dari ketinggian, ledakan, it's totally full action movie guys ! Kita yang menonton adalah Henry, sang pemeran utama dan Henry tidak bisa berbicara, hanya mengangguk, menggeleng2kan kepala, menembak, memukul, menendang, dan aktivitas lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan bicara. Untuk mengetahui apa sebenernya tujuan cerita di film ini, akan kita dapatkan dari lawan main Henry, mereka memberi arahan, menceritakan kisah, dan percakapan2 lainnya yang akan membuat kita tahu, "oooh, jadi sebenernya tuh begitu tooh". Memang film ini film sedikit aneh, gak jelas juga engga sih, ceritanya lumayan bagus, untuk mengisi waktu senggang kawan Kutu sih boleh lah, yang jelas film ini susah banget dibuatnya. Walau beberapa adegan tampak dibuat dengan CGI murah. Overall: 6,5/10 -Kutu AntMan
0 Comments
John Turturro diketahui telah dalam masa produksi sebuah projek spinoff 'The Big Lebowski' bertajuk 'Going Places'. Sebelumnya, Turturro memang berkeinginan untuk menciptakan spinoff yang berpusat pada karakter 'The Jesus'.
'Going Places' saat ini sedang melakukan proses syuting di New York, dan nampaknya tanpa kontribusi langsung dari Coen Brothers (Sutradara dan penulis 'The Big Lebowski'). Sumber: IndieWire - Kutu Butara Sekuel dari sci-fi klasik tahun 1982 ini akan mengambil setting beberapa dekade setelah film pertamanya. Harrison Ford juga akan kembali sebagai Rick Deckard.
Selain Jared Leto, deretan pemeran juga akan diisi oleh Ryan Gosling, Robin Wright, Ana de Armas, Sylvia Hoeks, Carla Juri, Mackenzie Davis, Barkhad Abdi, David Dastmalchian, Hiam Abbass, Lennie James dan Dave Bautista. Ridley Scott yang menyutradarai film pertamanya akan duduk di bangku Executive Producer, sementara Sutradara akan dipegang oleh Denis Villeneuve. Sekuel dari Blade Runner ini akan rilis 6 Oktober 2017. Sumber: The Wrap - Kutu Butara Tak ada yang bisa mengalahkan pedihnya ditinggal oleh orang dicintai. Apalagi jika ia atau mereka meninggalkan kita untuk selamanya. Efek yang timbul juga tidak bisa dianggap remeh. Mulai dari hancurnya mental bahkan hingga kematian. Itulah yang hadir di The Broken Circle Breakdown. Felix Van Groeningen akan membawa penonton untuk bersedih dengan nuansa yang tidak konvensional, musik Bluegrass. Musik yang identik dengan Appalachia, seperti halnya musik country lainnya. Film ini bercerita tentang Didier (Johan Heldenberg) dan Elise (Veerle Baetens). Pasangan yang telah dikaruniai seorang putri bernama Maybelle (Nell Cattrysse). Namun malang, kehidupan indah mereka menemui jalan terjal, Maybelle ternyata menderita kanker. Mengendalikan Emosi dengan Plot Non-Linier Johan Heldenberg yang bertindak sebagai penulis bersama Mieke Dobbels sepertinya memang tak ingin membuat penonton bersendu tiap menitnya. Karena itu dia dan Van Groeningen mencobanya dengan membuat jalan cerita yang non-linier. Jika melihat secara keseluruhan cerita, film ini memiliki dua sisi yang berbeda. Kedua sisi ini dipisah oleh satu peristiwa penting, kematian Maybelle. Satu sisi menunjukkan sebelum peristiwa tersebut, sisi lainnya bercerita tentang pasca meninggalnya Maybelle. Meski dengan naratif yang non-linier, inti dari The Broken Circle Breakdown tak hilang. Justru nuansa tragis yang dibangun menjadi lebih kental. Emosi kita akan dikendalikan melalui potongan-potongan adegan yang kadang mengharukan, kadang suasananya yang gembira. Inilah salah satu alasan yang membuat film ini tak membuat kita cepat lelah menontonnya. Kesan tragis yang disajikan memang harus memiliki impresi yang kuat. Ini dibutuhkan untuk menjaga warna kelam dalam cerita, dan juga sebagai pendukung plot non-linier yang berfungsi sebagai memory call. Hasilnya adalah meski sedang berada dalam adegan yang bernuansa riang, rasa ironi akan terus mengiringi. Harus diingat juga, meski dengan plot yang “lompat-lompat”, film ini tetap mudah dimengerti. Musik tak Hanya Menjadi Pengiring Sah saja jika mau menyebut The Broken Circle Breakdown sebagai film musikal. Nyatanya memang film ini bercerita tentang musisi, dan para aktor menampilkannya dengan bernyanyi dan memainkan alat musik. Namun, musik tak hanya sekadar menjadi pemanis di film ini. Melainkan menjadi elemen yang penting. Sang tokoh utama, Didier adalah musisi Bluegrass. Poin ini telah ditunjukkan sejak menit pertama, ketika Didier bersama bandnya sedang tampil di sebuah kafe. Jika diingat, cukup banyak adegan yang menampilkan band Bluegrass tersebut. Musik Bluegrass di sini tak hanya sekadar menjadi tema atau pengiring saja. Berbeda dengan film-film musik kebanyakan. Film ini tidak bercerita tentang seseorang yang mendunia lewat musik seperti kisah N.W.A. di Straight Outta Compton ataupun keinginan mendapat pengakuan melalui kemampuannya seperti Whiplash. Para penulis lebih mengeksplorasi kehidupan seorang musisi dan pengaruh musik pada pelakunya.
Entah mengapa, saya suka sekali setiap musik yang dialunkan ternyata menggambarkan situasi yang sedang terjadi. Termasuk saat mereka konser di sebuah panggung besar, mengenakan pakaian putih-putih, dan melantunkan If I Needed You. Salah satu momen sentimental, emosi yang tercipta begitu terasa. Johan Heldenberg dan Veerle Baetens Ada satu kebiasaan yang saya lakukan ketika menonton sebuah film. Saya sering membayangkan, “Kalau aktornya diganti dengan orang lain, apa filmnya masih menunjukkan hasil yang sama?”. Namun saya cenderung untuk mengatakan, “tidak akan sama persis”. Dalam beberapa situasi, seorang aktor kadang terlalu melekat dengan perannya. Ambil contoh Mark Hamill sebagai Luke Skywalker atau Daniel Radcliffe di Harry Potter. Nah, kesan itulah yang saya dapatkan ketika melihat penampilan Johan Heldenberg dan Veerle Baetens. Mereka berdua-Johan dan Veerle-memberikan penampilan yang solid sebagai Didier dan Elise. Chemistry di antara mereka terbilang sangat membantu dalam menyampaikan isi film ini. Hal ini bisa dilihat mulai dari dua orang yang baru kenal, saling jatuh cinta, hingga bertengkar karena berbeda pendapat. Menjadikan hal-hal sepele menjadi sentimental, tentu bukan hal mudah. Secara keseluruhan, The Broken Circle Breakdown merupakan perpaduan musik dan emosi. Sebuah film tentang memori kepedihan dan kebahagiaan yang dirangkai melalui passion bernama Bluegrass. Overall: 8/10 -Kutu Kasur Pada hari Rabu, 3 Agustus 2016 lalu. Kutu Film berkesempatan untuk menyaksikan Screening film “Pantja-Sila: Cita-cita & Realita” di Epicentrum XXI Jakarta. Film ini merupakan karya Tino Saroengallo dan Tyo Pakusadewo serta didukung oleh Djarum Foundation Bakti Pendidikan. Dalam kesempatan itu juga, dilakukan peluncuran buku dengan judul yang sama. Sejarah seperti halnya hari ini dan masa depan, merupakan perjalanan dari sebuah kehidupan yang penuh keajaiban, dan patut diisi dengan semangat, rasa syukur, serta sebagai bahan introspeksi diri. Begitu pun Indonesia yang lahir dari sebuah perjuangan tak kenal lelah dari tenaga, kesabaran, keberanian, dan kejelian melihat situasi yang terakumulasi pada 17 Agustus 1945. Seorang Negarawan bernama Ir. Soekarno merupakan salah satu yang paling visioner. Ketika kemerdekaan Indonesia merupakan hal yang begitu dielu-elukan pada masa penjajahan, Bung Karno justru telah berpikir melampaui itu, dengan mencoba merumuskan suatu dasar negara yang orisinil, untuk keberlangsungan Indonesia di masa mendatang. Film ini mengusung gaya monolog dalam penyampaiannya, dengan menitikberatkan pada satu pemeran. Dalam hal ini, karakter yang diangkat adalah Presiden pertama Indonesia, Bapak Ir. Soekarno yang diperankan secara luar biasa oleh Tyo Pakusadewo. Dipersembahkan oleh rumah produksi Jakarta Media Syndication & Geppetto Productions, film ini merupakan bentuk penggambaran kembali terhadap isi pidato Bung Karno pada sidang BPUPKI tahun 1945. Dalam Pidatonya, Bung Karno dengan lantang menyuarakan kemerdekaan Indonesia yang perlu dilandasi nilai-nilai serta prinsip dasar negara yang sesuai dengan kemajemukan Indonesia, tanpa harus mengikuti paham atau dasar negara yang telah ada. Bagi Kawan Kutu yang mau menonton film ini nanti, kami peringatkan bahwa film ini bukan film yang biasa Kawan Kutu tonton, seperti film-film dengan aksi dan scene yang menyegarkan mata, melainkan Film ini sungguh "membosankan". Ya, sangat membosankan untuk Kawan Kutu yang tidak tertarik dengan sejarah bangsa ini dan bagaimana Pancasila dirumuskan dan tersusun sedemikian rupa hingga seperti sekarang, dan diajarkan kepada kita sebagai dasar negara. Bahkan kami yakin, beberapa orang yang menonton film ini akan sibuk dengan smartphonenya ditengah-tengah film, atau bahkan tertidur. Saran dari kami adalah, fokus, dan jangan anggap kalian sedang menonton sebuah film, tetapi anggaplah kalian sedang menyaksikan pidato Bung Karno secara langsung. Kami jamin anda akan terbuai masuk ke dalam suasana dan kondisi yang tentu sangat fenomenal di masa itu.
Untuk Kawan Kutu dan siapa pun anda yang mulai atau sudah khawatir dengan kondisi negara ini, film ini akan mengingatkan kita kembali tentang cita-cita didirikannya Indonesia. Semoga dengan menontonnya, kita bisa kembali menjadi manusia Indonesia yang merdeka seutuhnya. Merdeka pemikiran, perbuatan, juga keinginan untuk selalu bekerja keras demi Indonesia yang lebih baik. Film sepanjang hampir 80 menit ini akan ditayangkan serentak pada 17 Agustus 2016. Rating: 7,5/10 -Kutu Film |
SEARCH
GET NOTIFIED
Archives
August 2017
|